Kala Peneliti Berhadapan dengan Hukum

Sumber Gambar: acehtrend.com
Beberapa waktu yang lalu beredar kabar tentang adanya peneliti yang dilaporkan ke aparat penegak hukum atas karya ilmiahnya yang telah dimuat pada suatu jurnal ilmiah. Kabar demikian tentu saja segera memantik reaksi di antara kolega saya yang berprofesi sebagai peneliti.
Mayoritas kolega saya yang merupakan para peneliti dari berbagai bidang bereaksi cukup khawatir atas kejadian ini dan mempertanyakan bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada peneliti serta bagaimana agar kejadian demikian tidak terulang lagi di masa mendatang sehingga peneliti dapat melakukan penelitian dengan tenang tanpa kekhawatiran akan berhadapan dengan penegak hukum atas hasil penelitiannya.
Penelitian sejatinya bertujuan untuk menemukan pemahaman ilmiah atas suatu hal tertentu. Pemahaman ilmiah yang diperoleh melalui penelitian, kelak akan menjadi dasar untuk menjadi solusi permasalahan di masyarakat baik melalui solusi teknologi maupun solusi kebijakan oleh policy maker. Selain menjadi solusi masalah, manfaat sebuah penelitian secara universal adalah menambahkan butir-butir pengetahuan baru pada tubuh ilmu pengetahuan yang telah berkembang sejalan dengan peradaban manusia.
Oleh karena pentingnya manfaat suatu penelitian tersebut, telah menjadi suatu prinsip dasar bahwa peneliti haruslah diberikan independensi dalam menjalankan penelitiannya serta tidak boleh diberikan tekanan yang dapat mempengaruhi objektivitasnya dalam menjalankan penelitian. Dengan tetap terjaganya objektivitas peneliti, diharapkan hasil penelitiannya dapat terjaga kualitasnya sehingga akan memberikan manfaat yang maksimal.
Penelitian yang telah selesai dilaksanakan, pada umumnya oleh penelitinya akan dipublikasikan pada media publikasi ilmiah seperti jurnal ilmiah ataupun buku ilmiah. Penelitian yang telah dipublikasikan pada umumnya akan menuai reaksi dari pembacanya. Reaksi yang muncul atas suatu publikasi ilmiah dapat berupa reaksi yang pro maupun kontra terhadap penelitian tersebut.
Pihak-pihak yang bersikap kontra terhadap suatu hasil penelitian pada umumnya dapat memberikan reaksi dengan aneka ragam bentuknya. Ragam reaksi kontra yang muncul dapat berupa melakukan penelitian bantahan, menerbitkan tulisan bantahan, melakukan mediasi dengan peneliti, melakukan pelaporan pada otoritas sosial di masyarakat hingga pelaporan kepada aparat penegak hukum.
Singkatnya, reaksi publik atas suatu hasil penelitian yang dipublikasikan, adalah salah satu risiko yang dihadapi oleh seorang peneliti dalam menjalankan profesinya. Oleh karena itu perlu dilakukan mitigasi resiko agar peneliti dapat terhindar dari risiko yang tidak diinginkan.
Terkait permasalahan penelitian dan publikasi hasil penelitian ini, mitigasi risiko dapat dilakukan pada tiga sisi. Sisi pertama adalah regulasi. Sisi kedua terkait kepatuhan etik serta sisi ketiga adalah edukasi dan komunikasi.
Sisi pertama yang perlu diperbaiki adalah dari sisi regulasi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sejatinya telah memberikan perlindungan bagi peneliti. Perlindungan tersebut diatur dalam Pasal 57 dan Pasal 58.
Pasal 57 mengatur tentang pelindungan bagi sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dalam hal ini termasuk peneliti. Pelindungan yang diberikan berupa jaminan sosial dan jaminan hukum. Namun demikian pelaksanaan pelindungan sebagaimana diatur oleh pasal ini memerlukan regulasi lebih lanjut berupa peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan lebih lanjut.
Oleh karena itu terkait dengan pelaksanaan Pasal 57 ini, sebaiknya organisasi profesi yang menaungi profesi peneliti maupun komunitas ilmiah secara umum perlu mendorong ataupun menginisiasi pembentukan peraturan pemerintah yang diamanatkan tersebut. Terwujudnya peraturan pemerintah ini dapat memberikan kepastian pelindungan berupa jaminan hukum maupun jaminan sosial bagi para peneliti.
Pasal 58 mengatur perihal tidak dapat diberikannya sanksi kepada peneliti atas penelitian yang telah dilakukannya apabila hasil penelitiannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pengecualian sanksi sebagaimana diatur oleh Pasal 58 tersebut dapat diberlakukan sepanjang penelitian tersebut dilaksanakan sesuai dengan metodologi ilmiah dan rancangan penelitian serta telah lolos dari komisi etik. Pasal 58 ini terkait erat dengan mitigasi sisi kedua, yakni sisi kepatuhan etik.
Kepatuhan etik merupakan sisi kedua yang harus dipenuhi sebagai mitigasi risiko bagi peneliti. Kepatuhan etik dalam hal ini yang dimaksud adalah setiap penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti dipastikan telah memenuhi ketentuan standar etik yang ditetapkan dan demikian juga dengan publikasinya kelak.
Guna menjamin terpenuhinya standar etik dalam pelaksanaan suatu penelitian, institusi riset membentuk komite klirens etik. Keberadaan komite klirens etik inilah yang nantinya akan memberikan penilaian kelayakan etik atas sebuah penelitian sebelum penelitian itu dilaksanakan. Proses klirens etik akan memastikan bahwa metodologi ilmiah, rancangan penelitian dan instrumen-instrumen penelitian yang digunakan telah memenuhi standar etik penelitian sebelum digunakan dalam pelaksanaan penelitian.
Tujuan utama proses klirens etik adalah untuk melindungi partisipan penelitian dan juga peneliti yang melaksanakan penelitian. Melalui proses klirens etik yang baik, risiko atas pelaksanaan penelitian dapat dikelola dengan baik. Dengan demikian peneliti dan partisipan penelitian dapat melaksanakan penelitian dengan tenang.
Mitigasi risiko sisi ketiga yang harus dilakukan adalah terkait dengan sisi edukasi dan komunikasi. Sasaran edukasi dan komunikasi ini utamanya aparat penegak hukum serta otoritas sosial di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain sebagainya. Organisasi profesi yang menaungi peneliti serta komunitas ilmiah pada umumnya perlu menjalin komunikasi dengan pihak-pihak tersebut.
Dalam proses komunikasi yang berlangsung perlu disampaikan edukasi tentang proses penelitian dan keberadaan komite etik sebagai sarana penyelesaian sengketa terkait dengan aktivitas penelitian. Dengan demikian, diharapkan agar penyelesaian permasalahan seputar akitivitas penelitian dapat ditempuh melalui komite etik.
Pelaksanaan mitigasi risiko melalui tiga sisi, yakni regulasi, kepatuhan etik serta edukasi dan komunikasi diharapkan dapat memberikan perlindungan dan ketenangan bagi peneliti dalam menjalankan profesinya. Dengan demikian peneliti dapat menjaga objektivitasnya yang akan berdampak pada kualitas penelitian yang dihasilkan sehingga kelak akan memberikan kontribusi yang baik bagi negara dan masyarakat.
Oleh:
Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma Putra
Peneliti hukum pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
DETIKNEWS, 4 Maret 2022
Sumber; https://news.detik.com/kolom/d-5967361/kala-peneliti-berhadapan-dengan-hukum.