Perkembangan Tindak Pidana Pemilu di Indonesia
Tindak Pidana Pemilu dalam KUHP (UU No. 1 Tahun 1946)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang merupakan Kitab Undang-Undang warisan belanda terdapat lima Pasal yang mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Lima Pasal yang terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana :kejahatan dalam melaksanakan kewajiban dan hak kenegaraan” adalah Pasal 148 yang mengatur tentang “merintangi orang yang menjalankan haknya dalam memilih” dengan ancaman pidana paling lama satu tahun empat bulan. Pasal 149 penyuapan dengan sanksi pidana Sembilan bulan dan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, Pasal150 mengatur perbuatan tipu muslihat diancam pidana penjara Sembilan bulan, Pasal151 yang mengatur tentang tindak pidana yang mengaku sebagai orang lain diancam pidana satu tahun empat bulan, dan Pasal152 memuat tindakan “menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat” diancam pidana dua tahun.
Dimuatnya ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum di dalam KUHP adalah menarik ketika WvS mulai berlaku ditahun 1917, Pasal-Pasal tersebut sudah ada, padahal Indonesia masih dijajah oleh Belanda sehingga praktis pemilihan umum belum ada. Tampaknya ketentuan dalam WvSBelanda diambil begitu saja untuk Hindia Belanda, oleh karena di Negeri Belanda memang sudah dilaksanakan pada masa itu.
Di Negara yang memiliki sistem bikameral itu, konstitusi 1815 menentukan adanya pemilihan langsung yang dilakukan untuk memilih second chamber.Sementara the firs chamber dipilih secara tidak langsung. Adapun di Indonesia sendiri meskipun dimasa penjajahan Belanda sudah ada wakil-wakil bangsa di perwakilan saat itu (volksraad), khususnya sejak 1918 pemilihan umum nasional barulah dilaksanakan sesudah Indonesia merdeka, tepatnya di tahun 1955 yang merupakan pemilu nasional pertama.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953
Meskipun praktik melawan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu sudah diatur dalam lima Pasal KUHP, sebagaimana diuraikan di atas ternyata di dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1953 yang merupakan Undang-Undang Pemilu pertama di muat lagi beberapa Pasal mengenai ketentuan pidana yang dapat disebut tindak pidana pemilu.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 mengatur mengenai tindak pidana pemilihan umum yang diatur pada Bab XV mengenai Pasal-Pasal pidana, mulai dari Pasal 113 sampai Pasal 129 jadi ada 17 Pasal pada bab ini. Dari 17 Pasal tersebut, 14 Pasal berisi tindak pidana (Pasal 113-Pasal 126), satu Pasal mengatur tentang perampasan/ pemusnahan barang-barang bukti (Pasal 127), satu Pasal mengenai hukuman tambahan (Pasal 128), dan satu pasal mengenai jenis tindak pidana (Pasal 129). Dari 14 tindak pidana yang dilarang menurut Undang-undang ini 12 Pasal diantaranya merupakan kejahatan dan 2 Pasal tindak pidana merupakan pelanggaran.
Dari 14 tindak pidana, 9 diantaranya diancam dengan pidana maksimal 5 tahun penjara, sedangkan 5 tindak pidana yang lain diancam hukuman denda dan hukuman penjara antara tiga bulan hingga 3 tahun penjara. Dengan demikian, dibandingkan dengan Pasal-Pasal mengenai tindak pidana pemilu di dalam KUHP yang berjumlah lima tindak pidana, ketentuan tentang tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 adalah lebih banyak yaitu 14 tindak pidana.
- 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969
Tidak banyak perbedaan antara pengaturan mengenai tindak pidana pemilu di dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1975, UU No. 2 Tahun 1980 dan UU No. 1 Tahun 1985 yang kesemua ini merupakan Undang-Undang Pemilu pada masa orde baru.
Khusus mengenai ketentuan pidana pemilu di dalam UU No 15 Tahun 1969 tidak mengalami perubahan meski UU Pemilu itu telah diubah beberapa kali.Perbedaan ketentuan UU Pemilu Orde baru dengan ketentuan pidana pemilu di dalam UU No. 7 Tahun 1953 secara prinsip menyangkut tiga hal yaitu:
- Hilangnya dua tindak pidana yang brekaitan dengan surat palsu.
- Dibuatnya satu tindak pidana baru.
- Perubahan sistematika yang berupa penyederhanaan pasal.
Perbedaan pertama, terlihat dengan hilangnya tindak pidana pemilu berkaitan denga surat palsu yang ada di dalam Pasal 115 dan Pasal 117, yaitu menyimpan surat palsu dengan maksud untuk menggunakan atau supaya dipergunakan orang lain. Substansi dari kedua pasalini tidak ada lagi di dalam UUPemilu orde baru. Adapun mengenai tindak pidana berupa meniru atau memalsu surat (Pasal 114UU No 7 Tahun 1953) dan mempergunakan atau menyuruh menggunakan surat palsu (Pasal 116 UU No 7 Tahun 1953) tetap ada di dalam Undang-undang Pemilu orde baru yairtu diatur dalam Pasal 26 ayat 2 dan ayat 3.
Perbedaan kedua, adalah adanya tindak pidana baru yang sebelumnya tidak ada, yaitu di dalam UU Pemilu orde baru Pasal 27 ayat 6 yang menyatakan barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Pasal 2 ayat 1 sendiri adalah mengenai WNI bekas anggota PKI atau organisasi masalnya, atau terlibat langsung/ tidak langsung dengan G-30 S/PKI, atau organisasi terlarang lain tidak diberi hak pilih. Adapun ayat 2 dari pasalini melarang organisasi mencalonkan orang yang tidak diberi hak pilih itu.Pasal ini tentu tidak ada di dalam UU No. 7 Tahun 1953karena peristiwa G-30 S/PKI sendri baru terjadi pada tahun 1965.
- 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
Dalam Undang-undang Pemilu ini tindak pidana pemilu diatur dalam Bab XIII terdiriatas empat pasal, yaitu mulai dari Pasal 72 sampai dengan Pasal 75.Pasal 72 terdiri dari tiga ayat dan Pasal 73 yang terdiri atas 11 ayat memuat rumusan dari 14 tindak pidana pemilu. Dari 14 tindak ;pidana pemilu itu, 13 diantaranya telah dimuat dalam UU Pemilu orde baru ditambah satu tindak pidana pemilu baru yang berkaitan dengan pemberian dana kampanye melebihi kententuan.
Semntara Pasal 74 memberi informasi bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73 ayat 1 dengan ayat 9 adalah kejahatan, sedangkan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat 10 dan ayat 11 adalah pelanggaran 75 berakiatan dengan perlakuan atas barang-barang bukti dalam tindak pidana pemilu.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-undang sebelumnya, yaitu, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999. Dasar pertimbangan lahirnya Undang-undang ini adalah adanya tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat sebagaimana dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dimana Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota serta memilih presiden dan wakil presiden.
Dibandingkan dengan Undang-undang Pemilu sebelumnya, terdapat sejumlah perbedaan aturan mulai dari pelaksanaan pemilu, peserta pemilu, daerah pemilihan dan jumlah kursi, pendaftaran pemilih, pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan hasil, penetapan perolehan kursi dan calon terpilih, penggantian calon terpilih, pengawasan hingga sanksi pidana.
Di dalam Undang-undang ini juga diatur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XV, yaitu Pasal 137 hingga Pasal140.Demikian juga ketentuan Pasal141 yang terdapat dalam Bab XV mengatur mengenai dasar pemberatan pidana.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD menjadi Undang-undang dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu serta adanya perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat, maka Undang-undang No 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum angota DPR, DPD dan DPRD perlu adanya perubahan.
Untuk hal tersebut maka lahirlah Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah Pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakayt Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan, calon, dan tim kampanye, pejabat Negara, PNS, TNI, dan POLRI, petugas anggota KPU, Bawaslu di semua tingkatan, percetakan, lembaga penghitungan hasil pemilu cepat. Agar memudahkan dalam pengkategorian tindak pidana pemilu dapat dilakukan oleh perorangan maupun instusi.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Mengatur 53 Pasal yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu, mulai dari Pasal 260 sampai Pasal 311, yang dapat menjerat diantaranya terhadap pelaku tindak pidana pemilu kepada perorangan, calon dan Tim kampanye, pejabat Negara, PNS, TNI, dan POLRI, petugas dan anggota KPU, Bawaslu disemua tingkatan, percetakan, dan lembaga penghitungan hasil pemilu cepat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
UU Pemilu ini mengkategorisasi mana yang manjadi tindak pidana pelanggaran dan mana yang menjadi tindak pidana kejahatan.Hal tersebut terkait dengan denda pidana kurungannya.Selain itu, ketentuan pidana menghapuskan pidana minimum guna memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan bagi hakim dalam memberikan putusan.
UU No. 8 Tahun 2012 secara eksplisit memiliki semangat untuk memperkuat peran dan fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagaimana hal serupa telah dilakukan melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Delapan Pengawas Pemilu (meliputi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri) menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Terhadap waktu penyampaian laporan, terdapat perubahan pengaturan dalam UU Pemilu yang baru. Jika sebelumnya diatur bahwa laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu, sekarang batas waktu pelaporan tersebut diperpanjang durasinya menjadi laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 7 hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaranPemilu.
Sedangkan lamanya waktu penanganan laporan pelanggaran pemilu oleh jajaran pengawas pemilu tidak mengalami perubahan, tetap sama dengan pemilu 2009 lalu, yaitu pengawas pemilu wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 hari setelah laporan diterima. Namun, dalam hal pengawas pemilu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor, maka tindak lanjut penanganan laporan pelanggaran pemilu dilakukan paling lama 5 hari setelah laporan diterima. Setelah pengawas pemilu menerima dan mengkaji laporan pelanggaran yang masuk, maka pengawas pemilu akan mengkategorisasikan laporan pelanggaran tersebut menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:
- Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diteruskan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelanggaran kode etik sebelumnya tidak diatur dalam UU Pemilu yang lama.
- Pelanggaran administrasi pemilu diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.
- Sengketa pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Dalam UU Pemilu lama tidak diatur masalah sengketa pemilu sebagai masalah hukum yang penyelesaiannya secara spesifik menjadi otoritas Bawaslu.
- Tindak pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Selain itu, terkait dengan masalah hukum pemilu, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini juga dikenal adanya: (a) Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, dan (b) Perselisihan Hasil Pemilu Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu oleh UU No. 8 Tahun 2012 diartikan sebagai pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Tata cara penyelesaian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pengaturan dan definisi pelanggaran administrasi pemilu diatur lebih kongkrit dalam UU No. 8 Tahun 2012 dibandingkan pengaturan sebelumnya. Pelanggaran administrasi pemilu didefinisikan sebagai pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi Bawaslu, paling lama 7 hari sejak diterimanya rekomendasi tersebut. Sedangkan sengketa pemilu dimaknai sebagai sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Penyelesaian sengketa pemilu ini disinkronkan dengan UU No. 15 Tahun 2011, yakni diselesaikan oleh Bawaslu paling lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan (Pasal 258). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa pemilu diperintahkan untuk diatur dalam Peraturan Bawaslu (Pasal 259 ayat 5) Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Terkait sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, bila tidak dapat diselesaikan oleh Bawaslu maka pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Selain itu UU No. 8 Tahun 2012 mengganti semua terminologi pelanggaran pidana pemilu yang ada dalam UU Pemilu yang lama dengan terminologi baru yang lebih konsisten, yaitu tindak pidana pemilu. Skema waktu penyelesaian tindak pidana pemilu juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu berikutnya. Terkait penanganan tindak pidana pemilu, UU Pemilu baru juga mengatur tentang pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) dengan tujuan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu antara Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sentra Gakkumdu ini akan diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
Sama seperti UU Pemilu sebelumnya, terkait dengan penyelesaian tindak pidana pemilu, UU No. 8 Tahun 2012 kembali memerintahkan untuk dibentuknya Majelis Khusus di Pengadilan Negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu. Majelis Khusus tersebut terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karier pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu.Hakim khusus harus memenuhi syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 tahun. Selain harus menguasai pengetahuan tentang pemilu, hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus ini akan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (Pasal 266).