Ambisi Presiden Tiga Periode dan Imajinasi Otoritarianisme

Sumber Gambar: indonews.id
Kendati ditangkis dan ditolak oleh Presiden Joko Widodo, gelombang besar usulan perpanjangan masa jabatan presiden hingga periode ketiga adalah abnormalitas demokrasi. Bersamaan dengan itu adalah ide penundaan Pemilihan Umum 2024 dengan implikasi yang sama dalam memberi ruang dan waktu berkuasa presiden dalam masa jeda tanpa transisi kekuasaan melalui pemilihan umum.
Para elite partai dan kelompok politik yang mendorong gagasan tersebut membawa serta kepentingan yang, bahkan oleh mata yang tak terlatih pun, dinilai sebagai paradoks bernegara. Beberapa dari mereka bahkan menukil riset dan mengatasnamakan rakyat yang menghendaki usul tiga periode sekaligus menjustifikasi klaim bahwa mayoritas dari kita memang ingin pemilihan umum ditunda. Atas dan demi alasan apa pun, justifikasi ini merupakan pertanda kuat bahwa usulan tiga periode masa jabatan presiden bukanlah sekadar usul. Lebih jauh dan terus terang, ia adalah sebuah rencana politik yang rapi.
Obsesi yang dibawa secara kolektif oleh kelompok-kelompok pengusul jabatan tiga periode dan penundaan pemilihan umum tidak bisa lagi dilihat sebagai spekulasi dan eksperimentasi kekuasaan dalam melanggengkan status quo, sebagaimana disampaikan oleh beberapa pengamat. Tulisan ini berkeyakinan bahwa hasrat kolektif itu merupakan artikulasi dari imajinasi otoritarianisme.
Dalam situasi dan variabel yang makin kompleks pada konteks sekarang, penjelasan-penjelasan dari teoretikus dan peneliti klasik spesialis otoritarianisme memang menghadapi batasan. Teori mereka dalam memberi ciri negara otoriter sering kali tidak cukup komplet. Schumpeter (1943), misalnya, secara sederhana menandai rezim otoriter dengan ciri pemilihan umum yang curang dan tak adil. Adapun Dahl (1971) menggarisbawahi absennya kebebasan berbicara dan berekspresi sebagai karakter utama otoritarianisme. Tapi, di antara ulasan klasik ini muncul kesadaran untuk meletakkan dimensi penting dari hadirnya otoritarianisme dalam baju demokrasi.
Kecenderungan yang terakhir ini sering dinamai sebagai rezim hibrida (hybrid regime). Dalam rezim ini ada pertukaran yang intens dan bahkan kooperatif antara nilai-nilai demokrasi dan nostalgia otoritarian. Pers dan kebebasan berserikat dibuka serta pemilihan umum yang demokratis digelar, tapi pada saat yang bersamaan kritik serta beberapa pandangan distempel sebagai terlarang. Penganut religiositas tertentu disebut ilegal, bantahan atas klaim elite politik dapat berakhir di penjara, dan, tentu saja, ide-ide anti-demokrasi, seperti usul perpanjangan jabatan tiga periode dan penundaan pemilihan umum, justru diapresiasi.
Ketika bertahun-tahun orang melawan kekerasan politik sambil mendamba kemerdekaan berdemokrasi, selalu saja ada warisan Orde Baru yang tersisa dan terpelihara. Ada yang tinggal di kepala dan ingatan elite kita tentang standar moral ala rezim otoriter, yang dengannya membuat mereka leluasa untuk meredefinisi aktivitas politik apa saja yang baik dan mana yang tidak. Memang tidak ada glorifikasi, perayaan besar-besaran atau selebrasi politik atas jasa-jasa rezim Orde Baru. Tapi, dalam memori dan imajinasi para elite ini, hidup berdemokrasi sebagaimana kini dipraktikkan dan dihidupi oleh rakyat adalah sebuah cara politik yang tidak sempurna dan bahkan mungkin juga sikap yang dinilai salah kaprah. Mereka terobsesi untuk membenarkan kita semua karena kesalahan yang kita buat, misalnya karena tidak memahami betapa baiknya menunda pemilihan umum demi menghemat anggaran atau betapa terhormatnya memberi kesempatan ketiga bagi presiden yang dianggap begitu teruji dan berjasa. Dari lensa imajinasi otoritarianisme, mereka melihat kita sebagai sekumpulan orang yang cerewet dan dungu.
Replikasi cara berpikir otoritarian pada gilirannya menciptakan tujuan dan visi seorang otoriter. Dengan mempelajari sepintas argumen para pengusul jabatan tiga periode, dapat diketahui sekurangnya tiga hal mendasar yang dijadikan sebagai dasar berpikir. Pertama adalah efisiensi. Negara tidak boleh menghambur-hamburkan anggaran untuk pemilihan umum yang, oleh karena itu, akan menjadikannya mubazir dan tidak bermanfaat untuk rakyat. Kedua, kehendak murni rakyat. Mengajukan ide tiga periode bukanlah keinginan siapa-siapa kecuali rakyat, suara dari bawah, kehendak yang genial, yang seharusnya didukung karena ia merepresentasikan suara rakyat. Ketiga, dimungkinkan secara hukum dengan syarat bahwa konstitusi mesti diubah.
Tiga landasan berpikir ini tidak salah dalam hal substansi, tapi keliru berat dalam visi. Ketiganya dapat dicarikan klaim pembenarannya, dari pemborosan anggaran, pencarian sampel orang-orang yang mendukung tiga periode (dan mengaku sebagai rakyat jelata), atau pencarian pandangan, postulat, hingga argumentasi hukum konstitusi. Tapi, ketiganya mengkhianati langsung visi reformasi birokrasi, visi demokrasi, visi pengembangan negara maju, visi kebebasan, dan visi kepemimpinan yang bermartabat.
Apakah di sana tidak dibayangkan apa kata dunia jika mendapati Indonesia, negeri yang berdarah-darah memperjuangkan transisi kekuasaan demi visi masa depan yang lebih baik, kembali tenggelam dalam lubang yang sama? Adakah pikiran untuk jujur menilai martabat macam apa yang masih dipunyai negeri ini tatkala membiarkan komitmen demokrasi dikoyak sekali lagi? Atau, bagaimana mungkin elite berbicara tentang idealisasi reformasi birokrasi, yang tentu mensyaratkan transparansi dan sirkulasi peran yang rutin dan sehat, ketika pada saat yang sama ia juga mengamini sebuah ambisi anti-demokrasi?
Ada demikian banyak kepentingan yang dibawa oleh agenda perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilihan umum. Di antara yang demikian kompleks dan saling menjalin itu adalah bercokolnya keserakahan—sebuah tanda terkuat dari imajinasi otoritarian.
Oleh:
RENDY PAHRUN WADIPALAPA
Pengajar FISIP Universitas Airlangga dan Mahasiswa Doktoral Bidang Politik University of Leeds
KORAN TEMPO, 5 April 2022
Sumber : https://koran.tempo.co/read/opini/472927/ambisi-presiden-tiga-periode-penundaan-pemilu-dan-imajinasi-otoritarianisme-orde-baru?