Pencabutan Hak Sang Koruptor

Pelbagai cara pembentasan korupsi dilakukan para penegak hukum. Dari bersifat biasa, sampai luar biasa, dengan menyertakan pasal-pasal pencucian uang (money laundry). Tujuannya hanya satu, agar para penggarong uang negara kapok dan menciutkan nyali calon koruptor.

Pada sisi ini, sanksi pemidanaan menjadi primadona. Terbukti putusan Hakim Agung Artidjo Alkostar melipat gandakan hukuman koruptor sampai tiga kali lipat, telah berhasil memenuhi rasa keadilan masyarakat. Akhirnya sang pengadil mulai garang, bila dibandingkan putusan-putusan kasus korupsi sebelumnya. Berbanding terbalik dengan korps Adhyaksa yang mulai memperlihatkan kompromistis terhadap koruptor. Lewat surat edaran bernomor B-113/F/Fd.1/05/2010, menghimbau seluruh kejaksaan tinggi menerapkan prinsip restorative justice dalam penangan kasus korupsi. Padahal laku korupsi merupakan extra ordinary crime.

Terlepas dari perdebatan terkait penerapan prinsip keadilan restoratif. Penulis ingin menegaskan bahwa dengan ancaman pidana saja laku korupsi masih marak terjadi, apalagi tanpa pemidanaan. Atau dengan kata lain, mau koruptor jenis apapun tetap harus dipidana. Karena tujuan pemidanaan bukan hanya balas denda, Tetapi alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.

Dasar Hukum

koruptor

Sumber Image: waspada.co.id

Kembali kekonteks upaya menimbulkan efek jera kepada pelaku korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan terobosan  dengan menjerat tersangka korupsi pasal tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Tindakan yang dianggap langkah progresif karena selain memperberat hukuman terpidana, disaat yang sama efektif merampas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi. Berujung pada pemiskinan terhadap koruptor.

Bak gayung bersambut, efek positif putusan Artidjo berkembang. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tipikor yang diketuai Roki Panjaitan dalam kasus korupsi Simulator SIM memberat vonis Djoko Susilo dari 10 tahun menjadi 18 tahun penjara dan denda 1 miliar. Djoko juga diperintahkan membayar uang pengganti serta mencabut hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Dari putusan Pengadilan Tinggi Tipikor ini, akhirnya pencabutan hak koruptor diperkenalkan di Indonesia. Walaupun jenis pidana pencabutan hak sudah lama ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan. Pasal 10 KUHP membagi kategori pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan dan kategori pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu-tentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.

Lebih jauh dijelaskan hak-hak terpidana yang dapat dicabut. Pertama, hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu. Kedua, hak memasuki angkatan bersenjata. Ketiga, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

Keempat, hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri. Kelima, hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri. Keenam, menjalankan mata pencarian tertentu.

Secara lex specialis jenis pidana tambahan juga diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Langkah Progresif

Terkait tuntutan pencabutan hak Djoko Susilo dalam kasus Simulator SIM adalah langkah progresif. Suatu perilaku responsif KPK atas aspirasi masyarakat perihal maraknya mantan terpidana korupsi menduduki jabatan publik instansi pemerintahan.

Contonhya Azirwan mantan terpidana korupsi dengan vonis 2 tahun 6 bulan penjara kasus suap anggota Komisi IV Al Amin Nasution. Sebelum menggundurkan diri atas desakan masyarakat, ia menjabat sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Sedangkan di kabupaten Lingga eks terpidana korupsi masih menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan, Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan.

Sehingga ke depan lewat pidana pencabutan hak koruptor, tertutup sudah peluang mantan terpidana korupsi menduduki jabatan publik. Selain menghilangkan budaya permisif pelaku korupsi. Pidana ini mencegah terjadinya potensi mengulangi penyalahgunaan kewenangan/ jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.

Lebih jauh instrument pencabutan hak bisa digunakan untuk mencabut dana pensiun pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara serta bekas pimpinan lembaga tinggi negara dan bekas anggota lembaga tinggi negera sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1980. Masih hangat diingatan, sejumlah anggota DPR terpidana korupsi menerima gaji pensiun. Padahal bukankah koruptor pencuri uang negara.

Artikel Ini Juga Dimuat Diharian Fajar Edisi Sabtu, 8 Februari 2014

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...