Oligarki di Atas Panggung Demokrasi

Sudah enam puluh delapan tahun kita merayakan usia kemerdekaan, dan lima belas tahun usia reformasi, namun kita belum sepenuhnya menjadi negara demokrasi. Bagaimana mungkin kita menyatakan diri sebagai negara demokrasi, jika dalam kenyataanya, oligarki yang berkuasa. Demokrasi hanya menyediakan “panggung” bagi bertakhtanya oligarki.

Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan demokrasi kita. Capaian demokrasi kita sebatas melaksanakan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural dalam kontestasi politik kenegaraan. Namun realitas menunjukan, jika substansi demokrasi-tentang bagaimana kedaulatan rakyat didahulukan-tidak diwujudkan. Yang ada hanyalah kedaulatan partai yang kemudian melahirkan oligarki dan dinasti.oligarki

Pilkada Makassar, Pertarungan Oligarki

Sejak 22 Juli lalu, KPU Kota Makassar sudah menabuh “genderang perang” bahwa pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar dilaksanakan pada 18 September mendatang. Bagi calon yang diusung partai, mesin partai langsung bergerak mempromosikan jagoannya. Bagi calon independen (non parpol), tim sukses menjadi mesin utama untuk melakukan penetrasi strategi ke konstituten; rakyat sebagai pemilik suara. Semuanya berlomba untuk bisa memenangkan persaingan menuju “Kursi Makassar Satu.”

Namun dibalik gegap gempita perayaan demokrasi lima tahunan tersebut, satu fakta lain menyiratkan kondisi yang selalu terulang. Demokrasi prosedural dalam model pemilukada hanya menyediakan panggung untuk para politisi, birokrasi dan pengusaha berduit, tidak untuk rakyat jelata dan kalangan terpelajar yang tidak memiliki modal finansial cukup.

Demokrasi memberikan ruang dan kebebasan bagi oligarki untuk bermain. Karena memang dalam konsep demokrasi modern, hanya mekanisme demokrasi elektoral yang memungkinkan mereka, para oligarki untuk bisa menguasai pemerintahan. Dalam demokrasi prosedural seperti perhelatan pemilu/pemilukada, oligarki menempatkan figur yang dianggap memiliki modal finansial dan pengaruh politik yang kuat untuk ikut pemilihan.

Definisi sederhana oligarki adalah pemerintahan yang dipimpin kalangan berduit dan berpengaruh, yang bekerja dan bertindak atas kepentingan sendiri. Siklus oligarki dimulai saat mereka tidak dalam posisi memimpin. Dalam posisi ini, oligarki-yang merupakan kumpulan orang-orang berduit dan berpengaruh secara politik dan ekonomi- membentuk jaringan partai dan pengusaha untuk menanamkan pengaruhnya.

Ketika pengaruh itu dirasakan sudah cukup kuat, maka misi selanjutnya adalah bagaimana bisa menguasai pemerintahan. Misi ini terlihat mudah karena oligarki memiliki dua modal utama; finansial dan politik sebagai fondasi yang cukup kuat untuk bisa menguasai pemerintahan.

Di tingkat lokal, oligarki yang muncul adalah oligarki lunak (soft oligarchy), mereka tidak sekuat oligarki elit di tingkat pusat yang berciri ekstrim (extreme oligarchy). Namun meskipun demikian, oligarki di tingkat lokal ini juga berbahaya bagi kelangsungan demokrasi itu sendiri.

Oligarki di tingkat lokal adalah “cermin” dari oligarki di tingkat elit pusat, dengan skala yang lebih kecil, namun memiliki pengaruh cukup besar bagi perkembangan demokrasi lokal itu sendiri. Oligarki menutup akses ke sumber-sumber ekonomi dan politik bagi warga masyarakat yang bukan merupakan bagian dari rulling oligarchy itu. Akibatnya, akses hanya berputar disekeliling mereka, para oligarki.

Oligarki menjalankan pemerintahan dengan bersandar pada kepentingan sekompok orang. Kekuasaan dalam oligarki mengikuti postulat kekuasaan Duverger (1993) bahwa kekuasan terdiri dari seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas, yang berarti ada dominasi beberapa orang terhadap orang lain. Ada institusi (jabatan), ada otoritas (kewenangan/kekuasaan) dan ada obyek yang akan dikuasai atau didominasi. Obyek yang dikuasasi itu adalah rakyat, yang kesadaran politiknya masih “hijau”.

Kekuasaan digunakan untuk mengokohkan kepentingan politik oligarki hingga selama-lamanya. Keuntungan politik dan ekonomis dikeruk dan digunakan semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri. Oligarki tidak berpijak pada kepentingan kolektif, tapi kepentingan kelompok atau orang perorang.

Demokrasi bertentangan dengan oligarki. Jika dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi adalah rakyat, maka dalam oligarki, kekuasaan tertinggi berada ditangan elit. Rakyat hanya pada posisi sub-ordinat kekuasaan oligarki. Segala tindakan dan keputusan yang dibuat, semata-mata ditujukan bagi kepentingan mereka, para oligarki itu.

Oligarki berbahaya bagi kelangsungan demokrasi karena memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang sangat luas, terstruktur dan masif. Oligarki memicu pemerintahan yang korup karena tidak bersandar pada prinsip pemerintahan yang baik (good governance).

Tidak terhitung berapa kepala daerah yang ditangkap karena korupsi. Karena oligarki rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan, banyak kepala daerah yang menjadi “tumbal” dari rakusnya oligarki itu.

Namun walaupun sangat berkuasa, oligarki memiliki “cacat” atau kelemahan. Oligarki tidak akan tumbuh dan berkembang sangat kuat dalam masyarakat sipil (civil society) yang kuat. Karena masyarakat sipil paham bahaya oligarki. Oligarki hanya kuat dalam kondisi masyarakat yang lemah secara ekonomi dan politik. Kemiskinan dan keawaman politik masyarakat adalah kunci suskesnya oligarki. Maka tidak ada kata lain, untuk mencegah berkuasanya oligarki, masyarakat sipil harus kuat.***

Tulisan ini Juga dimuat di Harian Warta Timur 3 September 2013

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...