Tuna Demokrasi

Dalam demokrasi, legitimasi politik mencari pembenarannya melalui persetujuan warga negara. Persetujuan ini dilandaskan pada komunikasi. (J Habermas, 1981).

Cita-cita sebagai Negara yang menganut paham demokrasi adalah menempatkan kepentingan rakyat diatas segalanya. Itu jelas. Tetapi realitasnya yang nampak adalah penghakiman atas ketidakberdayaan rakyat dan penindasan struktural yang dilahirkan oleh Negara itu sendiri. Ibarat sebuah lampu, demokrasi di Indonesia sudah dinyalakan tapi aliran atau instalasinya dialirkan oleh sirkulasi uang yang ditopang alat-alat pemaksa kebenaran yang bernama kekerasan, akibatnya, negeri ini menjauhi cita-cita. (Kompas, 13/3/2009). Tidak mengherankan apabila terkadang legitimasi dari periodesasi pemerintahan berkuasa sering diguncang oleh arus penolakan rakyat.

MENYOAL KUALITAS PEMILU

Pemilu tidak sekedar bicara soal menang dan kalah, siapa yang dipilih dan siapa yang memilih, namun yang terpenting adalah pemilu dapat mencerdaskan rakyat melalui pendidikan politik. Saat ini, mulai dari pemilihan kepala desa sampai dengan pemilihan presiden, rakyat disuguhi dengan praktek demokrasi “konyol” yang dilakukan oleh segelintir elit, pengarahan massa dengan “iming-iming” janji politik-uang kemudian massa dipaksa menghadiri silaturahmi,sarasehan, dan dialog yang memang tujuan dasarnya hanya untuk menggiring opini publik dan bukan pada pendidikan politik yang selama ini dibutuhkan oleh rakyat. Hancurnya tatanan demokrasi yang selama ini dibangun dengan semangat reformis mulai dimarginalkan oleh politik transaksional. Seolah-olah uang yang dapat menentukan kehidupan dan kemajuan Negara ini. Secara empiris, situasi ataupun keadaan seperti ini merupakan pertanda bahwa kita sudah terjebak dalam politik pragmatis. Pemilu dianggap sebagai pesta tahunan yang melahirkan pemimpin tanpa profesionalisme. Pemilu yang diselenggarakan 5 tahun sekali seharusnya dijadikan evaluasi terhadap pemilu-pemilu sebelumnya dimana rakyat harus mendapatkan kesempatan untuk memilih secara sadar tanpa paksaan para pejabat publik. Ditutupnya ruang publik atas hegemoni kaum elitis menjadikan rakyat hanya sebagai komoditas untuk memperbesar suara dan memperluas ekspansi partai politik, oleh karenanya sikap apatis yang muncul dari rakyat semakin meningkat, angka golput dari penyelenggaraan pemilu terus naik.

Demokrasi seperti yang kita dambakan diperburuk oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum. KPU yang notabene adalah lembaga independen sangat mudah diintervensi oleh penguasa. Berbagai kepentingan masuk diantara anggota-anggota KPU, rakyat yang merasa tidak puas atas kinerja KPU dengan mudah merusak sampai membakar kantor KPU, ini bisa dilihat dari pengalaman penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pertanyaannya, Kalau elit politik dan penyelenggara pemerintahan kita “Tuna” demokrasi, bagaimana masa depan demokrasi itu sendiri ? pantaskah kita bangga menjadi Negara penganut demokrasi ?

PEMBODOHAN MELALUI MEDIA

Menjelang pemilu, entah pilkades, pilkada, atau pilpres, media seringkali dijadikan alat untuk mempengaruhi pilihan rakyat. Jargon seperti “Harapan Baru”, “Kesejahteraan Untuk Rakyat”, “Pendidikan Gratis”, sering hinggap diberbagai media. “Tipu” muslihat semacam ini yang dijadikan populis oleh mereka yang akan mengikuti kontestasi politik. Kualitas demokrasi perlu dipertanyakan, representasi politik dan kepentingan rakyat hanya diakomodir melalui pencitraan media. Pada Skala nasional, terkadang partai politik dalam menaikan popularitas menggunakan artis sebagai tim kampanye, pemilik modal pun tak luput dari penglihatan kita diberbagai media.  Disinilah mulai terjadi degradasi politik dan demokrasi “diracuni” oleh elit politik yang tidak jelas rekam jejaknya. Pada pilkada, begitu banyak politisi “prematur” yang mulai “kegenitan” untuk meramaikan pilkada, pantaslah beberapa diantaranya menjadi tersangka korupsi setelah terpilih. Ironisnya yang paling menonjol adalah munculnya wadah tambahan dari para politisi semisal “fans club” sebagai tempat penampungan para penggemar dan penghibur. Melalui koran, radio, dan televisi mulai pagi hingga malam diperdengarkan dan dipertontonkan perdebatan simbolik yang penuh dengan kehampaan. Produk simbol pencitraan yang terus diproduksi itu jika kita mengikuti gagasan Guy Debord (1931-1994), adalah mediasi bagi terciptanya relasi diantara orang-orang. Sajian tontonan yang penuh citra itu tidak hanya dapat dimengerti sebagai cara pengelabuan visual yang dihasilkan media massa, tetapi tontonan itu secara nyata juga telah menjadi pandangan dunia yang dimaterialisasikan.

Lihat juga di link ini: http://www.gorontalopost.info/upload/2012/06/02/pwg_high/20120602212752-ba665106.jpg

Novalliansyah Abdussamad, S.IP.

DOSEN FISIP UNISAN GORONTALO

You may also like...