Inilah pesta yang kita tunggu-tunggu semua, namanya pesta hajatan demokrasi. 9 April besok adalah pasar lima tahunan bertujuan mencari calon wakil rakyat, yang akan berjuang atas nama daulat rakyat. Hanya lima menit saja, kita sebagai pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS), lalu lima tahun kita akan menyerahkan nasib diri dan bangsa ini ke depannya.
Di tengah hiruk pikuk ajang kampanye yang sudah berlalu kemarin. Terbersit kecurigaan, kekhawatiran. Jangan-jangan pemilihan anggota legislatif kali ini, justru angka Golput akan semakin meningkat.
Cukup mencemaskan, jika angka Golput benar-benar semakin meningkat jumlahnya. KPU bisa saja dituding tidak efektif bekerja, bahkan dapat dianggap “tidak becus” sebagai penyelenggara pemilu, kalau tidak mampu menembus angka pemilih 75 persen sebagaimana sering dijanjikan akhir-akhir ini.
Di samping itu, kontestan pemilu juga akan merasa dirugikan karena adanya pengurangan potensi suara. Ditimbang-timbang “andai saja mereka yang Golput itu memilih dirinya, pasti dia akan terpilih”. Namun itulah demokrasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mau tidak mau harus diterima.
Kenapa Golput?
Jika dirunut sejarahnya ke belakang, Golput pertama kali muncul menjelang pemilu 1971, gerakan Golput merupakan bentuk gerakan menggunakan hak pilih dengan cara mencoblos bagian kertas suara yang berwarna putih. Kelompok ini tetap mencoblos, tapi diluar dari gambar yang disediakan pada waktu itu. Mereka datang di TPS, namun mencoblos kertas suara yang tidak seharusnya. Karena tidak ada jalan lain, mau tidak mau tetap harus hadir di TPS. Dari pada di cap melakukan “makar”, alih-alih datang memilih, tetapi hanya mencoblos di luar dari gambar yang disediakan.
Nampaknya, argumentasi gerakan Golput sengaja dilakukan untuk melawan legitimasi kekuasaan rezim orde baru. Karena semua orang tahu, bahwa di zaman itu, kekuasaan Soeharto selalu mengintimidasi agar orang hanya memilih Golongan karya.
Seharusnya di era reformasi saat ini, untuk ketiga kalinya kita pemilihan umum dilaksanakan secara demokratis. Ketika tidak ada lagi paksaan, agar datang di TPS dan harus memilih satu gambar yang sudah dianjurkan dari awal. Jumlah angka Golput mestinya sudah menurun. Bahkan kalau perlu, sudah tidak ada lagi pihak-pihak yang menyuarakan Golput. Faktanya, justru berbanding terbalik. Keran demokrasi yang makin terbuka, ancaman Golput kembali semarak disuarakan. Pun angka Golput, cenderung menguat, terutama menjelang penyelenggaraan pemilu 9 April, besok.
Ternyata kemudian, alasan orang menyerukan Golput mengalami dinamisasi, mengikuti pendulum demokrasi yang tidak hanya dimaknai untuk melawan, calon-calon terpilih yang itu-itu saja. Pendulum demokrasi, juga menghendaki agar wakil rakyat yang terpilih mampu memberikan perubahan terhadap keadaan rakyat. Rakyat menghendaki terjadi pembangunan secara merata. Peningkatan kesejahteraan bukan sekedar janji, tetapi kerja yang nyata.
Fenomena ini semakin diperjelas ketika rata-rata wakil rakyat yang sudah diberikan kepercayaan pada periode pemilihan sebelumnya justru menyimpang dan menghianati dari janji-janji sebelumnya. Sejarah ketatanegaraan, membuka katup mata pemilih, hampir semua partai politik yang memiliki kekuasan tersangkut masalah korupsi. Walaupun dengan bahasa halus, selalu dikatakan bahwa mereka yang terendus hingga diciduk oleh komisi anti rasuah adalah oknum-oknumnya saja. Namun mustahil dilepaskan antara kader dan partai politik yang menaunginya. Toh partai politik sedikit banyak malah menjadikan kader-kadernya yang sudah terpilih, baik dijabatan legislatif, maupun kementerian, sebagai ATM penghasil dana parpol. Karena itu, sekalipun pemilih datang memberi suara. Sudah pasti yang terpilih adalah mereka yang akan berbuat dan berperilaku sama pula yaitu penyamun uang Negara.
Jangan Golput
Sepintas lalu, logika Golput seolah-olah ada benarnya. Tapi tunggu dulu, apa jadinya jika aksi demikian terus menerus dibiarkan? Justru akan menyebabkan dampak negatif. Alih-alih berharap agar mereka yang terpilih tidak memiliki legitimasi, karena mereka hanya calon-calon koruptor masa depan, malah dengan gampang terpilih. Hal ini disebabkan, pemilih Golput yang rata-rata adalah kelas terdidik, diharapkan mencari calon alternatif, karena mampu membuka rekam jejak calon yang akan dipilih, dan memberi penilaian calon-calon berintegritas, tidak menunaikan tugasnya. Berharap kalaupun calon terpilih dari calon-calon buruk, minim pengalaman, minim integritas, agar legitimasinya tidak kuat, jawabannya tidak juga. Sebab oleh konstitusi kita, kekuatan mereka tetap kuat, karena ditopang oleh demokrasi berdasarkan atas hukum.
Satu dan lain hal, mereka yang sama sekali tidak datang di TPS. Entah dengan alasan malas datang karena lebih mengutamakan pekerjaannya. Akhirnya Golput juga namanya. Tindakan ini malah lebih besar bahayanya.
Surat suara yang tidak ada bekasnya sama sekali. Berpotensi besar, membuka “pintu kecurangan” oleh pihak tertentu yang memili niat menghalalkan segala cara demi memberi kemenangan kepada mereka yang “bermain-main” dengan petugas Komite Pemungutan Suara (KPS).
Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, dari sengketa pemilu yang diperkarakan di MK. Salah satu bentuk kecurangan, karena adanya surat suara yang berlebih. Maka dari itu, saatnya! gunakanlah hak suara anda, jangan lagi berdalih, selalu mau Golput. Anda ikut memilih berarti anda juga berpartisipasi menyelenggarakan pemilu yang jujur dan bersih. (*)