Pengawas Pilkada 2020: Bawaslu atau Panwaslu …?

Damang Averroes Al-Khawarizmi
(http://makassar.tribunnews.com)
Pucuk dicinta ulam tiba, pilkada serentak 2020 kini sedang di pelupuk mata. Bulan oktober mendatang kompetisi elektoral lokal sudah mulai dibuka tahapan persiapannya (PKPU Nomor 15 tahun 2019). KPU RI menyatakan pilkada serentak 2020 akan digelar di 270 daerah yang terdiri atas 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.
Namun pilkada serentak dalam episode keempat kali ini, terancam kredibiltas dan akuntabilitasnya. Hal itu disebabkan lembaga Panwaslu Kabupaten/Kota yang akan melakukan fungsi kontrol tidak jelas kedudukannya.
Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan) mengatur mengenai kedudukan Panwaslu Kabupaten/Kota bersifat adhoc yang pembentukan dan penetapannya melalui Bawaslu Provinsi. Sementara dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), menyebutkan bahwa lembaga pengawas pemilu yang berkedudukan di Kabupaten/Kota adalah Bawaslu Kabupaten/Kota yang sifatnya permanen dengan keanggotaan 3 atau 5 orang.
Pertanyaan yuridis yang kemudian mengemuka terkait fungsi pengawasan pemilihan kepala daerah; apakah perlu perekrutan kembali lembaga pengawas pemilihan mengingat nomenklatur, sifat organ, dan keanggotaan berbeda antara yang diatur dalam UU Pemilihan dengan UU Pemilu?
Pengawas Permanen
Dengan bersandarkan pada asas efesiensi, kiranya jauh lebih tepat jika lembaga Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang telah dibentuk berdasarkan UU Pemilu diberdayakan. Selain menghemat waktu, tenaga, sumber daya, dan biaya, juga lembaga pengawas yang telah terbentuk itu memiliki rekam jejak mumpuni dalam kompetensi masing-masing.
Pertama, peran dan urgensi pengawas pemilihan kepala daerah sangat dibutuhkan. Oleh karena itu dalam analogi yang sama dari dua badan antara KPU dan Bawaslu yang berkedudukan di daerah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di bawah regim pemerintahan daerah (Putusan MK Nomor: 72 -73/PUU-II/2004), secara materil menjalankan asas pemilu, Luber dan Jurdil, tetap keduanya dapat difungsikan secara berjenjang.
Kedua, fungsi kemandirian penyelenggara pemilihan telah menempatkan posisi yang setara antara Bawaslu dengan KPU (Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010). Artinya kalau kedudukan Bawaslu di daerah telah diberikan asas perlekatan berfungsi materil dalam postulat Luber dan Jurdil, maka mustahil adanya menghilangkan badan pengawas di daerah untuk perhelatan pemilihan hanya karena persoalan nama, sifat, dan kuantitas keanggotaan yang berbeda antara apa yang diamanatkan melalui UU Pemilihan dengan UU Pemilu. KPU di daerah-daerah tanpa Bawaslu sama saja menyelenggarakan pemilihan yang parsial, ada wasit tapi tidak didampingi oleh hakim garis.
Terkait dengan nama organ yang berbeda, satu bernama Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, satunya lagi bernama Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota. “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi) cetus William Shakespeare. Sekalipun lembaga pengawas pemilihan itu diberi nama lain, ia tetap terdesain sebagai pengontrol tegaknya asas penyelenggara dan asas penyelenggaraan pemilihan.
Terlebih lagi dengan sifatnya yang dulu adhoc kini menjadi permanen. Justru dengan defenitifnya organ tersebut akan lebih baik bagi pelaksanaan fungsi pengawasan pemilihan. Tidak lagi akan dipandang enteng dan sebelah mata oleh lembaga lainnya (baca: KPU Kabupaten/Kota) yang sedari awal sudah dipermanenkan. Kedua-duanya sama kuat, saling mengisi satu sama lain dalam menyelenggarakan pemilihan yang fair dan berkeadilan.
Di tataran praktik betapa dibutuhkannya kehadiran pengawas pemilihan dalam status yang permanen. Acapkali penyelesaian tindak pidana pemilihan tidak dapat terkompromikan dengan masa tenggang pemilihan. Bayangkan saja, jika lembaga pengawas sudah harus dibubarkan dua bulan pasca perhelatan pemilihan, tetapi dalam tugasnya ia masih dibebani kewenangan memonitoring kasus tindak pidana hingga ditingkat eksekusi. Punai sudah harapan akan hadirnya pemilihan yang bertujuan menjaga hak-hak dan keadilan elektoral pemilih, tanpa pengawas laten.
Lalu dengan jumlah keanggotaan yang tidak konsisten, di sebagian daerah terdapat anggota pengawas pemilihan berjumlah lima orang. Itupun tidak ada kerugian yang cukup berarti, sebab kuantitas yang telah ditunaikan tersebut digantungkan pada kualitas dan efektifnya pengawasan pemilihan atas kendala yang melingkupinya, berupa jumlah penduduk dan kondisi geografis daerah setempat.
Pengujian UU
Dan jalan terbaik untuk tercapainya asas kepastian fungsi dan kedudukan lembaga Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, setelah terpenuhi asas kemanfaatannya sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Adalah pengujian UU Pemilihan mengenai sifat, kedudukan, dan keanggotaan Panwaslu Kabupaten/Kota di Mahkamah Konstitusi (MK).
Revisi terbatas UU Pemilihan untuk menguatkan posisi Bawaslu Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pilkada nir-efesien. Penyebabnya, masa jabatan anggota DPR RI periode 2014 – 2019 tinggal satu bulan, kalau diharapkan akan melakukan revisi UU Pemilihan pasti tidak cukup waktu. Selain perlu ada koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri juga dibutuhkan pembahasan yang melibatkan banyak pihak (KPU, Bawaslu, tim ahli). Terlebih lagi kalau harapan perubahan dibebankan kepada anggota DPR RI 2019 – 2024, sudah dapat dipastikan revisi tersebut akan tertunda di bulan oktober saat DPR lagi sibuk-sibuknya menyusun dan memilih pimpinan DPR dan MPR.
Mahkamah Konstitusi tidak mungkin akan menolak pengujian UU Pemilihan terkait pengalihan fungsi dan kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota. Selain sebagai pengawas di pemilu 2019 ex-officio pengawas pilkada 2020 – dst. Dua preseden putusan MK dalam rangka menjaga kemandirian fungsi penyelenggara pemilu dan penegakan asas Luber – Jurdil di Pilkada, adalah konsideransi untuk menyatakan lembaga pengawas pemilihan (Panwaslu Kabupaten/Kota) di pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat permanen dengan keanggotaan 3 atau 5 orang.