Meluruskan Makna Kriminalisasi

Akhir-akhir ini istilah paling populer dari berbagai media adalah penggunaan kata “kriminalisasi”. Bahkan dapat dikatakan penggunaan terminologi tersebut acap kali menghiasi berbagai laman berita cetak maupun online. Lebih-lebih ketika Komisioner KPK ditetapkan sebagai tersangka dalam beberapa hitungan pekan yang lalu maka dimanapun kita temui, ada banyak orang sering menggunakan kata “kriminalisasi” itu.

Merujuk dari penggunaan kata “kriminalisasi” yang berkembang saat ini, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa kriminalisasi sepertinya dimaknai: “sebagai tindakan aparat penegak hukum menetapkan seseorang melakukan perbuatan melawan hukum atau sebagai pelaku kejahatan atas pemaksaan interpretasi perundang-undangan. Dalam hal ini aparat penegak hukum dianggap seolah-olah melakukan tafsir sepihak atau tafsir subyektif atas perbuatan seorang, lalu kemudian diklasifikasikan sebagai pelaku tindak pidana.”

Harus diketahui, bahwa pengertian kriminalisasi demikian bukanlah arti yang benar dalam sudut pandang ilmu hukum. Sebab kriminalisasi merupakan salah satu studi kriminologi yang mempelajari perilaku individu untuk dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan menelusuri sebab musabab kecenderungan orang melakukan kejahatan. Kriminalisasi tidak lain bagian dari kajian kriminologi itu sendiri.

Oleh karena itu persepsi yang banyak berkembang di kalangan umum atas makna kriminalisasi pada dasarnya terdapat sebuah kekeliruan, jika kita kembali pada makna kriminalisasi yang dilihat dari asal-usul munculnya kata tersebut. Kriminalisasi bukanlah stigma, pelabelan atau bukan kata yang berkonotasi negatif, namun perumusan sebuah perbuatan menjadi perbuatan pidana dalam perundang-undangan yang pada intinya juga menjadi objek studi hukum pidana materil.

Kriminalisasi

Dengan merujuk dalam arti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 1998), kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dikategorikan sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.

Dari segi terjemahan “kriminalisasi” di atas, juga terjadi kekeliruan mendasar. KBBI memberikan defenisi kriminalisasi seolah-olah mengidentikan antara makna “peristiwa pidana” dengan “perbuatan pidana.”

Padahal mereka yang mengerti “Dasar-dasar Hukum Pidana” kedua peristilahan tersebut memiliki makna dan kandungan yang berbeda. Tidak setiap peristiwa atau kejadian dapat disebabkan oleh perbuatan manusia, karena ada saja peristiwa seperti kematian disebabkan oleh peristiwa alam (misalnya karena tertimpa pohon, orang bersangkutan langsung mengalami kematian ataukah orang itu tertimpa tanah longsong lalu tiba-tiba meninggal). Oleh karena itu dari semua peristilahan untuk dapat mencelanya kelakuan itu sebagai tindakan melawan hukum atas kesalahan si pembuat, hanya istilah “perbuatan pidana” paling tepat untuk digunakan.

Dalam konteks inilah pengertian “kriminalisasi” mendapat tempat untuk mengkaji dan menelaah kelakuan manusia, yang pada awalnya perbuatan tersebut belum dirumuskan dalam bentuk norma. Tetapi hanya dicela berdasarkan nilai-nilai kepatutan masyarakat, Hart menyebutnya masih dalam sebatas hukum primer, belum menjadi norma hukum sekunder. Maka dari itu perlu digolongkan sebagai “perbuatan pidana” melalui perumusan dalam norma agar supaya orang yang dianggap melakukan perbuatan kesalahan sesuai dengan prinsip fundamental dalam hukum pidana yaitu asas legalitas.

Lebih dari pada itu, kriminalisasi sebagai proses perumusan perbuatan menjadi perbuatan pidana tidak semata-mata dalam model pembentukan norma atau perundang-undangan baru saja. Melainkan dapat pula berupa penambahan/ peningkatan/ pemberatan hukuman pidana yang telah diatur sebelumnya. Agar lebih gampang memahaminya, bisa diamati melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Bahwa pada awalnya sebelum UU tersebut lahir (sebelum tahun 2008) perbuatan seperti membobol akun rekening bank, dilakukan oleh mereka yang menamakan diri sebagai hacker (lebih tepatnya cracker) bukan dianggap sebagai perbuatan pidana. Tetapi pasca lahirnya UU ITE tersebut, terhadap pelaku yang melakukan pembobolan akun rekening Bank, atas perbuatannya sudah dapat dijerat sebagai perbuatan pidana.

Ada pula dalam UU ITE tersebut, perbuatan pidana yang dapat digolongkan sebagai studi dari para kriminolog sebagai bidang kajian kriminalisasi hanya penambahan hukuman saja, yaitu terletak pada pasal yang mengatur tentang penghinaan (vide: Pasal 27 ayat 3). Pengaturan pasal penghinaan dalam UU ITE hanyalah pengkhususan perbuatan pidana yang dilakukan melalui ITE, jauh hari sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 310 s/d 319 KUHP, namun UU ITE memperberat hukumannya menjadi enam tahun jika perbuatan penghinaannya dilakukan melalui ITE (vide: Pasal 45 ayat 1 UU ITE).

Sumber Gambar: republikblogger.blogspot.com

Sumber Gambar: republikblogger.blogspot.com

Dekriminalisasi

Disamping dalam kajian kriminologi dikenal istilah kriminalisasi juga dikenal istilah dekriminalisasi sebagai pembalikan (antonym) dari kriminalisasi. Yaitu penggolongan suatu perbuatan yang pada awalnya oleh perundang-undangan menggolongkan sebagai perbuatan pidana, tetapi kemudian dianggap bukan sebagai perbuatan pidana lagi. Sebagai contoh yang paling sering dikemukakan dalam “bangku kuliah” adalah perbuatan memperagakan alat kontrasepsi di depan umum diancam pidana paling lama dua bulan (vide: Pasal 534 KUHP). Tetapi untuk konteks sekarang, dengan adanya program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan oleh pemerintah, maka perbuatan mempertunjukan alat kontrasepsi itu di depan umum bukan lagi tergolong sebagai perbuatan pidana.

Lazimnya oleh para kriminolog dalam melakukan kajian kriminalisasi dan dekriminalisasi seringkali terikat dengan dua asas penting yang berlaku dalam hukum pidana. Bila menyangkut kriminalisasi terkait dengan asas legalitas atau dalam bahasa latinnya dikenal postulat nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali——tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali ketentuan pidana dalam UU yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Inilah makna asas legalitas yang menunjukan bahwa UU harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya (moneat lex, piusquam feriat). Sedangkan dalam kajian dekriminalisasi terkait dengan asas subsidiaritas (ultimum remidum principle), bahwa penggunaan hukum pidana sebagai langkah terakhir saja.

Terlepas dari kekeliruan penggunaan istilah “kriminalisasi” yang sudah berkembang saat ini di pemahaman setiap orang, terutama mereka yang bukan dari latar belakang sarjana hukum. Maka dalam menyikapinya cukup disesuaikan saja dengan kontekstualisasinya ketika istilah tersebut diungkapkan oleh siapa, kapan dan tempatnya dimana.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...