Mengapa (Harus Membela) KPK?
Di tengah kisruh Polri dan KPK yang tidak jelas, entah kapan berkesudahan juntrungnya, terdapat ketidakadilan atas perlakukan publik terhadap dua institusi hukum itu. Publik pada intinya lebih dominan menaruh dukungan dan simpati kepada KPK saja. Terlebih setelah Mabes Polri melakukan penangkapan secara “diam-diam” terhadap salah satu komisiener KPK, Bambang Widjojanto (BW) karena diduga “menyuruh atau mengarahkan” saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010.
Pasca penangkapan BW, tampaknya makin saja menguatkan dukungan publik hanya terhadap KPK semata. Sementara di sisi lain, institusi Bhayangkara itu terkesan dipandang sebelah mata.
Ada apa sesungguhnya dengan Polri? Kenapa lebih banyak orang yang mendukung KPK dibandingkan Polri? Apakah institusi ini sudah demikian mengalami defisit kepercayaan, dan sebaliknya hanya KPK menjadi satu-satunya institusi hukum yang dapat dipercaya? Apakah kita tidak membutuhkannya lagi untuk menjaga ketertiban, keamanan dan memberi pengayoman terhadap masyarakat? Ataukah banyak juga orang yang mendukung (#save KPK) hanya karena persoalan eforia pemberantasan korupsi saja?
Sejumlah pertanyaan-pertanyaan ini mestinya ditanyakan kepada diri kita, dan selanjutnya perlu disikapi secara jernih, dengan menggunakan akal sehat, agar kita tidak gampang menyerang secara membabi buta. Tidak boleh ada keberpihakan kepada dua institusi hukum itu, karena sejatinya kita tetap masih butuh keduanya. KPK perlu diamankan, dan jangan lupa untuk memperkuat pula Korps Bhayangkara.

Sumber Gambar: matranesw.com
Kenapa KPK?
Dalam menyikapi pemberitaan terakhir, secara pribadi saya berkali-kali mencoba melawan arus, sama sekali menutup mulut untuk memberi dukungan terhadap dua institusi hukum yang saling bertikai itu. Pun kemudian, saya berpikir hingga merenunginya berkali-kali. Apa yang terjadi dengan “hati” publik, ada puluhan hingga ratusan orang turun ke jalan berteriak, begitu lantang hanya untuk mengamankan KPK, tidak untuk Polri? Mengapa (harus membela) KPK?
Tak lama kemudian terlintas di benak saya, mungkin ini fenomena psikologis yang mengena pada pepatah: “siapa yang pernah membuang hajat di tengah jalan, lantas ketahuan, maka orang tersebutlah yang akan tertuduh sebagai pelakunya.” Itulah pepatah, rasanya pantas dialamatkan untuk Polri yang terlanjur ketahuan boroknya, yang tidak hanya terjadi di organisasi sentralnya, pun buruk citranya di daerah sudah menjadi rahasia umum, sering menyalahgunakan jabatannya, dan pada akhirnya mencederai hak-hak publik itu sendiri.
Mulai dari persoalan kecil hingga kasus-kasus besar sebetulnya telah “menggerogotinya.” Dan mau tidak mau akhirnya terstigmatisasi sebagai lembaga; tidak lagi mengayomi masyarakat, tetapi malah terkesan hanya membinasakannya.
Simak saja dalam sebuah contoh kecil, saat anda ditindak sebagai pelanggar lalu lintas, tak kurang pihak Polisinya, ogah menyelesaikannya ditempat dengan lembaran rupiah. Belum lagi kasus yang seringkali menimpa rakyat kecil; kasus-kasus pencurian, penganiayaan, pengeroyokan, aksi geng motor, tiap kali diadukan/dilaporkan ke instansi yang berwajib atas nama Kepolisian, tak urung Polisinya mau turun lapangan, kalau tidak mendapat untung “bayaran amplop” sebelum bekerja.
Itu baru kasus kecil yang sudah terinjeksi dipemahaman masyarakat luas, kalau Polisi tidak dapat diharapkan, agar efektif dalam penegakan hukum. Dalam kasus-kasus besar, beberapa perizinan di daerah juga menjadi “lahan basah” Kepolisian sering mendapat untung. Bahkan sampai kasus “gelap” pun menjadi lahan bisnis mereka. Ada lagi, dalam setiap menangani perkara, kadang kasus dibarter dengan pasal-pasal yang setidaknya dapat menguntungkan tersangka, asal tersangka siap membayar oknum polisi bersangkutan. Termasuk sampai pada kasus yang benar-benar merusak sendiri citra kepolisian dalam upaya penindakan kasus korupsi, kadang kasus tersebut diendapkan, karena tersangka telah “bermain” dengan pihak penyidiknya.
Kalau sudah demikian jadinya, jangan salahkan rakyat, ketika lebih membela KPK dari pada Polri. Sekian tindak-tanduk di institusi bersangkutan amat pantas menjadi ukuran kalau tidak pernah “serius” dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Sementara KPK meski hanya konsentrasi dalam perkara tindak pidana korupsi, publik begitu percaya dengan keseriusan KPK dalam menjalankan kinerjanya. Ini tidak terlepas dari “keberanian” KPK menangkap, menahan, dan menjaring koruptor kelas kakap, bahkan sampai yang memegang kekuasaan pun tak lepas dari “radar” lembaga anti rasuah itu.
Itulah penyebabnya, kendatipun komisiener KPK ada yang terkena kasus pidana dan dapat merusak nama baik institusi pula, publik jauh lebih memaklumi kesalahan-kesalahan tersebut, jika dibandingkan dengan dominannya kesalahan pada institusi Polri.
Berbenah Diri
Oleh karena itu, apa yang terjadi di institusi Polri, tat kala publik jauh lebih percaya pada KPK, lalu seolah “menganaktirikan” peran Polri. Kejadian tersebut mesti menjadi bahan renungan bersama baginya untuk kembali introspeksi diri.
Bagaimana mungkin publik akan menaruh kepercayaan, membentengi, dan melindungi Polri, kalau institusinya tidak pernah memiliki tekad bulat, bersungguh-sungguh menjalankan tugas/kewenangannya, mengayomi masyarakat, dan transparan dalam setiap penanganan kasus-kasus yang telah dipercayakan kepadanya. Sejumlah kesalahan-kesalahan yang sering diperbuat oleh “oknum” Kepolisian, sepantasnya seluruh pemangku jabatan dalam institusi ini, agar kembali berbenah, koreksi diri hingga pada mengintrospeksi atas sejumlah kesalahannya yang berakibat pada citra buruk institusinya.
Jikalau Polri berhasil “membersihkan” institusinya, menegakkan etika dan moralitas keanggotaan, tidak lagi memalak pelanggar lalu lintas; tetapi memilih menyelesaikannya secara hukum di pengadilan, tidak perlu menunggu bayaran dari masyarakat agar menjalankan keamanan dan ketertiban, hingga berani menerapkan transparansi anggaran di lingkungannya. Maka tak perlu institusi terhormat ini “mengemis” ke masyarakat luas, agar kiranya mendapat juga perlindungan dari serangan yang dapat melemahkannya.
Harus diakui bersama, kita tetap membutuhkan peran besar Polri. Janganlah karena eforia pemberantasan korupsi, lalu kita melupakan peran dan andilnya di segala lini, sebab juga banyak berperan untuk melayani kepentingan umum.
Memang insttusi Polri banyak salahnya, tetapi bukan berarti KPK terdapat komisiener yang melakukan “pelanggaran hukum” lalu dengan serta merta memberi “imunitas” kepada KPK, dan akhirnya memutihkan pelanggaran hukumnya. Bahwa yang namanya institusi hukum, semuanya harus diperlakukan sama, kalau bersalah silahkan ditindak, kalau benar mari kita dukung. Save KPK, Perkuat Korps Bhayangkara.*