Sejarah Konflik Laut Cina Selatan

Akhir-akhir ini Laut Cina Selatan kembali menjadi wilayah yang memiliki potensi konflik yang cukup besar. Potensi konflik mana tidak saja mempengaruhi stabilitas dan keamanan regional negara-negara yang berada disekitarnya, khususnya Asia Tenggara, tetapi dampaknya cukup luas bagi stabilitas dan keamanan regional kawasan Asia Pasifik. Semua negara yang berada dipinggiran Pasifik Barat baik negara­-negara kecil yang sedang berkembang maupun negara-negara yang sudah maju tetap mempunyai kepentingan yang cukup besar bagi stabilitas dan keamanan regional di Laut Cina Selatan. Karena betapapun juga Laut Cina Selatan, adalah merupakan wilayah jalur laut (sea lane) bagi navigasi internasional dan merupakan wilayah pelintasan (cross Dassage) yang paling ramai. Jalur laut bagi navigasi internasional serta sebagai wilayah pelintasan yang paling ramai di Pasifik ditambah dengan bobot konflik sengketa teritorial yang sarat telah menciptakan kawasan Laut Cina Selatan, merupakan kawasan yang rawan dipandang dari sudut stabilitas dan keamanan regional, baik Asia Tenggara maupun Asia Pasifik.

Empat negara besar yang berada di Pasifik; Amerika Serikat, Uni Soviet, Jepang dan RRC merupakan negara-negara yang mempunyai kepentingan besar di kawasan perairan, Laut Cina Selatan. Amerika Serikat bagaimanapun juga tetap menganggap Laut Cina Selatan sebagai jalur laut penting bagi keamanan kapal-kapal komersialnya maupun kapal-kapal militernya menuju ke Samudera India. Mungkin saja bagi kapal tanker Amerika Serikat yang mengangkut minyak dari Teluk Persia mengambil rute pelintasan lewat Terusan Zues masuk ke Laut Mediteranian terus ke Atlantik selanjutnya menuju pantai­-pantai Barat Amerika Serikat, namun operasi-operasi armada mereka lebih banyak di Pasifik dan Samudera India. Dua basis angkatan lautnya yang terkenal yaitu Guam di Samudera Pasifik dan Diego Garcia di Samudera India merupakan dua pangkalan yang selalu meminta perhubungan yang ketat dalam rangka mengontrol kedua samudera yang sangat strategic itu. Armada-armada yang berbobot mati dibawah 300.000 DWT tetap memandalkan perairan Laut Cina Selatan sebagai jalur pelintasan militer (sealane of the militery passage)  yang terdekat. Sementara itu bagi Uni Soviet pusat pangkalan armada Timurnya yang berada di Vladivostok hampir setiap, minggu mereka melintasi kawasan Laut Cina Selatan menuju Samudera India dalam rangka perimbangan kekuatan militer lautan di kedua samudera tersebut. Jepang merupakan negara yang paling banyak menggunakan Laut Cina Selatan sebagai navigasi kapal-kapal tankernya yang berlayar dari Teluk Persia menuju ke pelabuhan-pelabuhan pangkalan minyak di Jepang. Jepang memang tetap menggantungkan nafas industri manufakturnya dari suplai minyak Timur Tengah. Akan halnya dengan RRC yang memang telah mengklaim bahwa Laut Cina Selatan itu adalah wilayah teritorialnya dengan berdasar pada klaim se arah.

Selain munculnya berbagai kepentingan, di kawasan perairan Laut Cina Selatan juga yang paling riskan adalah munculnya sengketa perairan teritorial oleh terjadinya tumpang tindih (overlapping area) di kawasan tersebtut. Akibatnya menimbulkan sengketa teritorial. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa teritorial Laut Cina Selatan hampir seluruh negara yang berada di sekitar kawasan tersebut. Yaitu; Vietnam, RRC, Pilipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Bagi Indonesia sengketa Laut Cina Selatan tentu saja sangat berpengaruh bagi posisi strategik ketahanan nasionalnya serta penegakan. Prinsip-prinsip Wawasan Nusantara. Sebab bagaimanapun juga dan berdasar pada pertimbangan-pertimbangan di atas Indonesia tetap mempunyai kepentingan di kawasan perairan yang sangat strategik itu.

Laut Cina Selatan dianggap perairan yang tidak pernah sepi dari sengketa sekalipun negara-negara yang berada disekitar perairan tersebut menilai obsesinya sebagai wilayah bebas, damai dan netral. Wilayah perairan ini dianggap jaga sebagai perairan tak bertuan karena banyaknya klaim tumpang-tindih di atas pulau-pulau kecil, karang dan atol yang bertebaran di perairan ini.

Sesungguhnya di Laut Cina. Selatan terdapat empat gugus kepulauan yang menjadi sengketa yaitu; Kepulauan Macclesfield, Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Namun yang paling vokal sekarang dan menjadi masalah internasional hanya dua yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Negara­-negara yang terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan adalah RRC, Cina Taiwan, Vietnam, Pilipina, Malaysia dan Indonesia. Dalam sengketa Kepulauan Spratly telah melibatkan negara-neggara Pillpina, Vietnam, Cina dan Malaysia. Sedangkan Kepulauan Paracel, telah melibatkan Cina dan Vietnam dalam sengketa.

Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, menjadi titik perhatian internasional karena memang letak kedua kepulauan itu sangat strategis. Keduanya berada pada titik tengah jalur navigasi internasional di Laut Cina Selatan sehingga siapa yang menguasai kedua gugus kepulauan ini berarti akan mengontrol jalur navigasi internasional di Laut Cina Selatan. Tentu saja selain potensil. sebagai jalur laut internasional adalah potensi sumberdaya alamnya yang cukup tinggi seperti minyak dan potensi perikanan.

Gugus Kepulauan Spratly yang oleh Cina disebut sebagai Nansha Chuntao, Vietnam sebagai Truong Sa. Pada akhir tahun 1974 delapan pulau dari kepulauan ini pada bagian Selatan berada dibawah kontrol Vietnam, tiga atau empat dibawah Pilipina. Sedangkan Pulau itu Ada telah menjadi pangkalan Cina. Pada bulan Mei 1975 tentara komunis Vietnam merebut lagi beberapa pulau di Spratly ini. Kepulauan ini terletak kira-kira 400 kilometer sebelah Timur Laut Kalimantan Utara dan Pulau Palawan Pilipina, dan kira-kira 500 kilometer dari pantai Vietnam bagian Selatan. Jarak antara Spratly dan Paracel kira­kira 700 kilometer, sedangkan jarak Spratly dan Pulau Hainan 1000 kilometer. Kepulauan Spratly ini mempunyai kurang lebih 100 buah pulau, bervariasi, dikuasai Vietnam Cina dan Pilipina Berta Malaysia. Vietnam dan Cina yang paling banyak menghasilkan sengketa di kepulauan ini.

Gagus Kepulauan Paracel, oleh Cina disebut Hsi­sha Chuntao sedangkan oleh Vietnam, disebutnya Hoang Sa. Gugus kepulauan ini berada dibawah kontrol Cina setelah serangannya pada 19 dan 20 Januari 1974 yang mendepak Vietnam keluar dari kepulauan ini. Kepulauan ini terletak antara Pulau Hainan di Teluk Tonkin kira-klra 350 kilometer sebelah tenggara dari pelabuban Yulinkang dari pantai Vietnam Tengah kira-kita 400 kilometer sebelah Timur Da Nang. Luas wilayah kepulauan ini kira-kira 3 kilometer persegi. Dari sudut strategis kepulauan ini panting untuk mengontrol jalur pelayaran utama di Laut Cina Selatan yang merupakan jalur suplai energi dunia dari Samudera India ke Samudera Pasifik. Rute kapal-kapal yang berlayar dari Hongkong ke Singapura melewati antara Kepulauan Paracel dan Kepulauan Macclesfield. Bukan saja dari Hongkong tetapi kapal-kapal lain lewat disini datang dari Vladivostok, Pusan, Yokohama, Shimosheki, Tsingtoo terns ke Singapura selanjutnya ke Selat Malaka dan memasuki Samudera India. Bagi Cina kepulauan ini panting untuk keamanan nasionalnya.

Sementara itu, selain mengangkat permasalahan atas sengketa hukum di perairan teritorial Kawasan Asia Timur maka tentunya menjadi obyek utama pula dalam tulisan ini masalah penerapan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Prinsip-prinsip hukum lain, khususnya Konvensi Jenewa 1958 menjadi bahan perbanding dalam studi ini. Dalam mengkaji sengketa Asia Timur nantinya akan dicoba dianalisa berbagai kasus pulau, kepulauan, laut, selat-selat, teluk dan landas kontinen yang tumpang­tindih di kawasan (overlapping area) . Untuk memudahkan pengkajian dalam studi ini maka kawasan-kawasan yang bersengketa ditelusuri secara khusus. Hal ini dilakukan mengingat begitu luasnya wilayah yang akan dikaji disamping kompleksnya permasalahan. Dalam pengkajian analisa-analisa hukum (laut) internasional memang menduduki porsi yang dominan diberbagai segi, namun tidak berarti persentuhan dengan analisa politik tidak ada. Kasus di Asia Timur memang berbeda dengan kawasan lain, sebab di Asia Timur terdapat kombinasi menarik antara studi sengketa hukum internasional dan politik. Rumitnya penyelesalan sengketa di, Asia Timur karena bukan saja pertentangan wilayah yang saling tumpang-tindih dari dasar tuntutan negara-negara tetapi lebih jauh dari itu pertentangan ideologi yang tajam. Kontroversi perbedaan ideologi dalam sengketa Asia Timur memaksa semua ahli hukum yang melakukan studi atas kawasan itu sukar melepaskan analisa-analisa politik. Sekalipun demikian karena karya ini adalah analisa dalam studi hukum (laut) internasional maka analisa politik sedapat mungkin dikurangi.

SeIain itu dalam obyek penulisan karya ini bertumpu pokok pada dasar-dasar tuntutan wilayah apabila sudah dilakukan pemilahan untuk dikaji. Dasar-dasar tuntutan dapat dilihat pada gambaran berikut; antara Jepang dan Uni Soviet pada Kepulauan Kuril (gugus pulau‑puIau wilayah Utara Jepang), penetapan batas wilayah-tumpang-tindih antara Jepang dan Uni Soviet serta Jepang dan Korea Selatan di Laut Jepang Sementara itu di Laut Cina Selatan, wilayah utama yang menjadi persengketaan antara Vietnam dan Cina meliputi hampir seluruh wilayah, dari Pulau Hainan meluas sampai ke Kalimantan, mencakup Teluk Tonkin Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Tuntutan Cina (RRC) yang meluas sampai ke pantai Kalimantan mengakibatkan wilayah konsesi minyak Malaysia, Tsengmu Reef di pantai Utara Serawak dan Sabah, masuk dalam tuntatan wilayah Cina diatas. Begitupula dengan wilayah konsesi minyak di Pilipina di Reed Bank dekat Spratly. Di Laut Cina Timur, tuntutan Cina terhadap Landas kontinen di wilayah ini, menciptakan beberapa wilayah tumpang-tindih dengan tuntutan landas kontinen negara-negara Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Di landas kontinen yang terbentang dari sebelah Timur pantai Cina wan meluas sampai ke Palung Okinawa (Okinawa Trough), termasuk bagian Barat Daya Selat Taiwan, telah diberikan konsesi-konsesi minyak oleh ke tiga negara tersebut. Dalam wilayah ini 100 mil dari Timur Laut Taiwan terletak Kepulauan Sengaku yang di persengsetakan oleh Taiwan Jepang dan Cina.

Alinea diatas merupakan landasan utama sebagai obyek studi dalam karya ini. Tentunya masih beberapa lagi yang belum dipaparkan dalam pendahuluan yang sempit ini antaranya masalah timpang-tindih di Laut Kuning (Yellow  yea) yang melibatkan Korea Selatan (Republik of Korea –  RCK) dan, RRC, demikian pula masalah status, wilayah yang unik di Teluk Pohai di bagian Barat. Laut dari Laut Kuning yang melibatkan Korea Utara (Republic Democratic  Korea) dengart RRC.

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...