“Pembredelan” TEMPO, Aib Demokrasi?
Senin 15 April pagi itu, disekitar Tebet, saya ingin membeli majalah TEMPO terbaru edisi Senin 15 April 2013 dengan judul cover “Bandar Proyek Partai Beringin”. Namun menurut salah seorang penjual, majalah TEMPO ludes sejak subuh. Saya menanyakan dimana lagi saya dapat menemukan majalah TEMPO. Ia mengatakan sempat mengontak rekannya sesama penjual, namun rekannya tersebut mengabarkan bahwa hampir seluruh tempat penjualan majalah TEMPO di Jakarta kehabisan stok, karena sejak subuh sudah diborong pembeli.
Saya berinisiatif mengontak seorang rekan saya di TEMPO, menanyakan dimana saya bisa mendapatkan majalah TEMPO edisi hari itu. Kabar dari rekan tersebut mengejutkan saya. Ia menyampaikan bahwa dikantornya lagi heboh karena informasi dari agen penjualan bahwa majalah TEMPO habis diborong pembeli sejak subuh.
Dalam kondisi normal, majalah TEMPO laris dibeli pembaca itu hal biasa. Siapa yang tidak kenal TEMPO, media yang sering mengupas isu-isu teraktual, kritis, yang didukung dengan data valid. Segmen pembacanya dari kalangan menengah keatas, dari politikus, hingga pengusaha. Beritanya tidak jarang membuat heboh. Hingga TEMPO pun sering berurusan dengan hukum, dituntut oleh pihak yang merasa “dirugikan” dengan pemberitaannya.
Namun, insting saya menangkap sesuatu yang ganjil. Pasalnya, majalah itu “habis sebelum waktunya”. Dihampir semua lokasi agen penjualan distribusi majalah TEMPO di Jakarta, majalah tersebut tidak dijumpai. Kabar yang beredar, belum juga terdengar kokok ayam jantan dan adzan subuh berkumandang, majalah TEMPO sudah habis “terjual”. Siapa pemborong yang “beruntung” itu, dan apa motifnya belum diketahui. Jika yang memborong itu adalah sesama agen penjual, pastinya majalah TEMPO akan ditemukan di tempat lain di Jakarta. Namun anehnya, setelah kejadian pemborongan itu, majalah TEMPO tidak ditemukan di satu lokasi penjualan pun di Jakarta. Tidak menyisakan satu eksemplar pun.
TEMPO “dibredel”?
Kabar dari rekan TEMPO tersebut semakin menguatkan keyakinan saya bahwa majalah TEMPO bukan di beli, namun diborong. Mengapa? Karena waktu kejadian raibnya majalah TEMPO dari pasaran, hampir bersamaan, sejak subuh dini hari. Siapa pemborongnya dan motifnya apa, saya masih menduga-duga. Saya mencoba mengaitkan dugaan saya dengan berita yang tertulis dalam cover majalah tersebut, yang dimuat dalam koran TEMPO, yang judulnya menyinggung salah satu tokoh salah satu partai besar di republik ini.
Saya juga mengaitkan kejadian ini pada kasus ludesnya majalah TEMPO edisi 28 Juni-4 Juli 2010 lalu yang mengangkat judul “Rekening Gendut Perwira Polisi”. Kasusnya hampir sama dengan majalah TEMPO edisi 15 April 2013 ini. Waktu itu, beberapa jam setelah majalah tersebut terbit, majalah TEMPO ludes terjual. Tidak tanggung-tanggung, jumlah yang dicetak ketika itu sekitar 30 ribu eksemplar. Semuanya “ludes terjual” dalam waktu yang hampir bersamaan. Seperti menangkap gelagat mencurigakan, TEMPO akhirnya mencetak ulang majalah tersebut.
Kedua kasus ini patut dicermati secara kritis. Ada rangkaian fakta yang saling terkait; waktu kejadian ludesnya majalah tersebut dipasaran yang hampir bersamaan, dan keduanya mengangkat topik panas seputar indikasi korupsi. Jika dicermati secara kritis, dua kasus ini tidak terjadi secara kebetulan. Ada motif dan agenda terselubung dari pihak yang merasa dirugikan dan khawatir nama baik institusi tercemar jika majalah tersebut sampai dipasaran dan dibaca oleh khalayak ramai. Ada gengsi institusi, ada aib yang tidak ingin diketahui publik, walaupun publik sendiri sudah menciumnya sejak awal. Saya berkesimpulan, bahwa majalah TEMPO diborong bukan untuk dibeli, namun majalah TEMPO “dibredel” dari pasaran.
Otoritarianisme Institusi dan “Aib Demokrasi”
Dari analisis tersebut, nalar kritis saya meyakini bahwa majalah TEMPO dibredel dari pasaran. Sekalipun Ini bukan pertamakalinya menimpa TEMPO. Saya tetap mencurigai ada pihak-pihak yang tidak ingin nama baik institusi tercemar. Modusnya relatif “aman”, dengan memborong seluruh majalah yang sudah berada ditangan penjual. Mengantisipasi sebelum majalah tersebut sampai ke tangan pembeli. Agar aib institusi tidak terbongkar, meskipun sudah tercium. Ada upaya untuk mengintimidasi TEMPO yang terkenal kritis.
Pertanyaannya kemudian, mengapa di iklim yang serba demokratis ini, cara-cara intimidasi terhadap pers tersebut masih digunakan? Bukankah kita telah meninggalkan lembaran kelam masa lalu disaat kebebasan pers tersebut dipasung, dan menyambut lembaran baru kehidupan demokrasi yang menuntut kebebasan dan transparansi?
Jelas ada alasan dibalik itu semua. Kita tidak ingin berspekulasi dan menuduh yang bukan-bukan. Namun dari rangkaian kejadian yang mengaitkan fakta yang saling terhubung, kuat dugaan jika ada upaya pembungkaman terhadap pers yang melakukan kerja-kerja jurnalistik secara kritis dan merdeka.
Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan isi berita yang mengulas masalah korupsi. Ada kepentingan besar yang ingin dijaga,“diamankan”. Menyangkut reputasi, citra dan nama baik. Reputasi yang teramat mahal harganya jika reputasi tersebut sampai diketahui publik dan dianggap sebagai skandal. Apalagi ini menyangkut institusi besar. Sebuah institusi politik yang menyandarkan napasnya pada suara rakyat. Ini bisa menjadi “aib demokrasi”, jika institusi politik yang seyogyanya menjadi penopang demokrasi, menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat, justeru mengkhianati kepercayaan rakyat dengan melakukan korupsi.
Sehingga sangat keliru jika menggunakan cara intimidasi terhadap pers yang ingin mengangkat hal tersebut ke ranah publik. Pers adalah perpanjangan tangan dari publik (rakyat). Sudah merupakan fungsi pers untuk menyoroti persoalan yang menyangkut kepentingan publik. Dan masalah korupsi menyangkut kepentingan publik. Publik berhak tahu terhadap apa yang menjadi hak dan kepentingan mereka. Bukankah negara ini milik rakyat? Konstitusi sudah menjaimin kedaulatan berada di tangan rakyat.
Publik berhak menuntut tranparansi pengelolaan anggaran negara yang berasal dari pajak yang mereka bayarkan, sehingga sudah sewajarnya publik turut mengawasi pengelolaan anggaran tersebut agar tidak disalahgunakan. Dan salah satu media untuk melakukan pengawasan itu melalui pers. Pers dianggap sebagai jembatan komunikasi antara rakyat (publik) dengan negara. Suara media dianggap mewakili suara rakyat. Ketika rakyat tidak mampu secara langsung berkomunikasi dengan pemimpinnya (penguasa), maka media mengisi ruang itu untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan rakyat kepada penguasa. Pers menjalankan fungsinya untuk mengabarkan apa yang menjadi kepentingan publik. Negara tidak bisa menghalangi itu.
Lagipula, negara ini sudah masuk ke alam demokrasi yang menekankan tranparansi. Dunia internasional sudah memuja kita sebagai negara demokratis. Meskipun demokrasi kita masih menorehkan cacat dimana-mana, namun setidaknya kehidupan bernegara kita sudah lebih demokratis jika dibandingkan dengan kehidupan saat rezim terdahulu yang otoriter. Kita sudah lama hidup di alam “jahiliyah” dimana kebebasan dan transparansi “diharamkan”. Kita sudah lima belas tahun menjalani hidup lebih beradab dan bermartabat di alam demokrasi. Lantas mengapa masih saja ada pihak yang menggunakan cara-cara yang seakan mengajak kita kembali ke alam “jahiliyah”?
Wiwin Suwandi
Penulis adalah mantan aktivis pers mahasiswa. Saat ini sedang menjalani studi Pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.