Ruang Udara

Selain wilayah darat dan laut, sebuah negara juga memiliki yurisdiksi wilayah udara sebagai klaim teritorial atas ruang udara diatasnya. Dalam hubungannya dengan ruang udara sebagai salah saatu unsur wilayah dalam suatu negara, Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menyatakan “Negara­-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiapo negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat diatas wilayahnya“. Konvensi Chicago 1944 menghambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.

Hal ini juga dinyatakan dalam pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 sebagaimana telah disinggung didepan. Ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang di atas wilayah negara, yang disamakan denagan prinsip hak lintas damai (right of passage innocent) di perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara diselat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibatnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang diatas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara yang berada dibawahnya hal ini sering terjadi diatas wilayah udara Indonesia bagian timer oleh pesawat-udara asing terutama setelah bagian kedua tahun 1999.

Masalah penagwasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pewasat udara merupakan aspek sangat penting dalam pengaturan hukum yang dibuat oleh negara-negara. Demikianlah, untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, negara­negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral ataui regional dibidang kerjasama pengawasan ataupun keamanan. Sebagai contoh kerjasama ini adalah Konvensi 13 Desember 1960 di mana sejumlah negara Eropa menyerahkan penanganan masalah-masalah ini kepada Organisasi Eropa untuk Keamanan Navigasi Udara (Eurocontrol) yang direvisi pada tanggal 1981.

Disamping itu, dalam lalulintas udara internasional sering pula terjadi pelanggaran kedaulatan udara suatu negara oleh pesawat-pesawat sipil maupun militer. Dalm hal ini negara yang kedaulatan udaranya dilanggar dapat menyergap pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya telah dilanggar tidak dapat menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bersikap bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat. Ketentuan ini yang mengakomodasikan kedaulatan teritorial negara dan konsiderasi-konsiderasi kemanusiaan yang mendasar dan harus berlaku bagi semua orang, diingatkan dan ditegaskan oleh Protokol Montreal 1983 yang memuat amandemen terhadap Pasal 3 Konvensi Chicago dan diterima pada tanggal 10 Mei 1984, sebagai akibat dari peristiwa penembakan pesawat Boeing 747 Korean Airlines 1 September 1983

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...