Konstitusionalitas Kedaulatan Lingkungan

Konsensus sejawat kesepahaman para ahli hukum tata negara dari dulu hingga sekarang lebih banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi kedaulatan rakyat. Bahkan jika dirunut dalam konteks sejarahnya kedaulatan rakyat sudah dianggap sebagai fase pembentukan negara yang sudah mencapai puncak kesempurnaannya. Berbagai kritik tajam oleh kedaulatan rakyat; telah menggugurkan masanya daulat Tuhan, daulat raja, dan daulat negara.

Adapun perkembangan lebih lanjut kedaulatan rakyat memunculkan banyak pengembangan dalam segala struktur sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Inilah fase yang memunculkan beberapa istilah untuk kedaulatan, diantaranya kedaulatan sosial, kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, dan kedaulatan kebudayaan. Titik taut kedaulatan pada akhirnya menemui power legacy dalam setiap perkembangan negara modern.

Negara modern pada dasarnya bersintesa dalam simbiosis mutualisme konsepsi negara hukum. Intervensi negara memegang peranan penting untuk maju dan beradabnya suatu negara dalam menciptakan kehidupan yang sejahtera, merata untuk rakyat yang telah terakui sebagai embrionya negara. Dalam situasi inilah masalah lingkungan juga menjadi peran timbale balik antara negara yang dipegang oleh segala fungsi-fungsinya untuk menciptakan keseimbangan dan kesejahtareaan yang berdimensi lingkungan bagi rakyat,

Jika pada awalnya isu lingkungan yang disandarkan pada deklarasi Stockholm 1972, hanya menjadi pusat perhatian internasional. Kini dengan frekuensi kemajuan tekhnologi yang melintasi batas-batas negara. Isu lingkungan bukan hanya menjadi masalah internasional, tetapi juga telah menjadi isu nasional pula. Sudah pasti hal ini semua disebabkan oleh berdirinya perusahaan dalam bentuk Multi-National Corporation (MNC), yang tidak hanya memberi insentif baik bagi negara sebagai penambah devisa negara saja, sebagai embrio terciptanya banyak lepangan kerja, tetapi ternyata pada operasionalnya menyebabkan; munculnya kerusakan lingkungan.[1] Hingga pada hakikatnya juga manusia yang terakui sebagai subjek hukum akan terganggu atas kerusakan lingkungan tersebut.

Oleh karena itu istilah kedaulatan lingkungan pada akhirnya menjadi keniscayaan untuk dirumuskan dalam sebuah konstitusi. Tat kala konstitusi sudah menjadi pengakuan bersama dalam dia tipe/ sistem hukum negara, terakui di dunia, baik civi law maupun common law mengakui konstitusi sebagai norma tertinggi. Artinya jika saja konstitusi sudah memuat daulatnya lingkungan demi kepentingan manusia yang terpecah dari satu kesatuan yang bernama individu, dengan sendirinya menjadikan alat pemaksa, agar segala perundang-undangan yang “berwarna” lingkungan tunduk pada konstitusi yang telah mempertahankan bahagian lingkungan hidup sebagai sesuatu yang berdaulat lagi konstitusional.[2]

Sudah terbukti dari berbagai negara telah menjadikan lingkungan sebagai konsepsi kedaulatan yang harus disematkan kepadanya. Diantaranya adalah Portugal (1976), Spanyol (1978), Polandia (1997), Prancis (2006), dan Ekuador (2008). Sedangkan untuk negara Indonesia sendiri, oleh karena akibat arus reformasi yang menjadikan konstitusinya terjadinya empat kali, maka bisa dikatakan konstitusi kita baru mengakomodasi kedaulatan lingkungan setelah fase empat kali amandemen tersebut, tepatnya pada amandemen kedua UUD NRI 1945.

Itupun jika dicermati lebih lanjut, UUD NRI 1945 belum bisa dikatakan lengkap mengadopsi kedaulatan lingkungan dalam beberapa ketentuannya. Masih tergolong minim, hanya terdapat dalam pasal 28 H dan Pasal 33 ayat 4 UUD NRI 1945.

Lebih jauh jika ditelusuri kedaulatan lingkungan dalam UUD NRI 1945 hanya diambil dari lembaran hak asasi yang terakui sebagai isu lingkungan. Maka dari itu, berdasarkan minimnya dan masih kurang terperhatikannya konsepsi kedaulatan lingkungan dalam UUD NRI 1945, tentu memerlukan telaah lebih lanjut melalui anasir konstitusional. Baik dalam UUD NRI itu sendiri maupun dalam UU sektoral lingkungan hidup, guna menciptakan lingkungan yang benuansa pembangunan berkelanjutan.

 

Sumber Gambar: 1.bp.blogspot.com

Sumber Gambar: 1.bp.blogspot.com

Rumusan Kedaulatan Lingkungan dalam UUD NRI 1945

 

If justice douglas has his way

O come not that dreadful day

We’ll be sued by lakes and hills

Seeking a redress of ills

Great mountain peaks of name prestigious

Will suddenly become litigious

Our book will babble in the court, seeking damages for torts

How can I rest beneath a tree

If it may soon be suing me?[3]

Petikan puisi di atas menjadi peristiwa monumental untuk hukum lingkungan ketika hakim Douglas di Amerika memutus kasus Sierra Club Versus Merton, “great mountain peaks of name prestigious, will suddenly become litigation.”

Puncak-puncak gunung tiba-tiba menjadi pihak dalam perkara di pengadilan. Kita bisa digugat oleh danau-danau dan bukit-bukit yang menuntut ganti rugi, bahkan bagaimana mungkin katanya kita dapat beristirahat dengan tenang di bawah pohon yang rindang, jika kelak pohon itu ternyata dapat menuntut kita ke pengadilan. “how can I rest beneath a tree, if it may sson be suing me? Semua ini menunjukan bahwa dalam diskursus akademik hingga kehidupan sehari-hari masyarakat barat, sudah terbiasa membayangkan adanya hak-hak hukum dari alam sekitar, dalam hubungannya dengan masyarakat manusia.

Inilah masa ketika alam yang dahulunya hanya dipandang sebagai “benda mati” lantaran dapat berdampak terhadap kelangsungan hidup manusia, akhirnya dipersonifikasi seolah-olah sebagai manusia yang dapat menuntut atas terganggunya keseimbangan ekosistem dengan segala habitasinya.

Memang alam tidak mampu berbicara dengan sendiri, tetapi efeknya yang terganggu atas “kedigdayaan” manusia, kini tiba saatnya memaksa “manusia” untuk melindunginya, termasuk dalam hal menuntutnya ke pengadilan. Pun sejarah kedaulatan tidak terhenti hanya pada limitasi daulat rakyat semata, namun “lingkungan” menjadi faktor penting untuk terus diperhatikan dalam tata kelola bernegara.

Tampaknya memang hukum lingkungan dalam arti kedaulatan menemui sasarannya. Jika beberapa bentuk kedaulatan lahir dalam nuansa doktrin sejarah para filsuf ketatanegaraan, hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan cikal bakalnya sedemikian rupa dengan bentuk kedaulatan lainnya. Kedaulatan Tuhan merupakan kedaulatan yang lahir dari doktrin teokrasi. Kedaulatan kerajaan terkait dengan doktrin monarki. Kedaulatan rakyat kental dengan teori demokrasinya. Maka secara beruntun kedaulatan lingkungan juga memiliki kejadian/doktrin yang sama, yaitu ekokrasi.

Sehingga amat pantas saat Clare Kendall dari The Gardia Inggris pada 24 September bersoloroh pada dunia, “A new law nature equador next week votes on giving legal right to rives, forest and air. Is tihis the end of damaging development.” Bahwa inilah pertama kalinya Undang-Undang Dasar suatu negara memberikan hak-hak hukum kepada sungai-sungai, hutan-hutan, udara, yang mau tidak mau harus diperhitungkan dalam lalu lintas hukum.[4]

Maka bersamaan dengan itu lahirnya konsepsi kedaulatan lingkungan, konstitusi sebagai norma tertinggi negara dianalogikan sebagai konstitusi yang harus mengidentikan diri dengan warna hutan belantara, pepohonan rindang yang menghijau. Semuanya terkonsepsi sebagaimana apa yang dimaksud konstitusi hijau (green constitution).

Bahwa dengan digunakannya frasa “hijau” merupakan pemahaman semiotik, tanda dan simbol-simbol lingkungan yang menunjukan warna “hijau”. Bukankah warna dari pohon, hutan belantara dan dedaunan pepohonan dominan warna hijau yang mencolok? Demikianpun dengan segala beleid di bidang lingkungan untuk melakukan reboisasi hutan, sering pula terdengar istilah “penghijauan”.[5]

Pemenuhan hak-hak lingkungan pada asalinya relevan dengan lingkungan itu sendiri. Lingkungan diistilahkan dengan ecology. Sehingga jika mau ditarik dalam makna kedaulatan lingkungan maka Ia terkait dengan ekologi.

Dalam telaah yang agak berbeda, studi-studi keagamaan kontemporer juga sudah lama dikenal kata teosentris dan anthroposentris,[6] maka bukan kesalahan jika ecology disepadankan dengan aspek batiniah dari masing-masing “subjek hukum” tersebut.

Manusia telah lama diakui sebagai subjek hukum, begitupun “Tuhan” dalam tulisan Jerome Frank “Law and Modern Mind” juga telah menyepadankannya dengan sosok “Ayah” dalam reduksional sang hakim yang harus melindungi banyak kepentingan.[7] Maka lingkungan hidup juga sudah saatnya diakui sebagai subjek hukum.

Dalam tataran filsafat dapat diterapkan kebijakan lingkungan sebagai salah satu hak dasar yang mesti mendapat jaminan dalam konstitusi, karena terbukti kedaulatan lingkungan itu pada hakikatnya terakui keberadaannya. Tuhan, manusia, dan lingkungan berada dalam strukturnya masing-masing untuk menciptakan harmonisasi dintara ketiga subjek hukum tersebut, demi mewujudkan “keadilan tertinggi” yang selalu didambakan. [8]

Bahkan hak-hak dasar yang melahirkan adikodrati hak asasi manusia, keterkaitan fungsi antara alam/ lingkungan dengan manusia di situlah hak bagi manusia untuk mendapatkan “lingkungan yang sehat”. [9]

Sebelum Indonesia mengadopsi kedaulatan lingkungan dalam konstitusinya yang tertuang sebagai hak yang harus terperhatikan oleh negara. Jauh sebelumnya beberapa negara di dunia sudah lebih awal menuangkan “hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk semua warga negaranya”. Diantaranya: Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan Philipina.[10]

Amerika Serikat menuangkan dalam The National Enviromental Policy Act 1970, section 101 (c) “The congres recognizes that each person should enjoy a healthfull enviromen and that each person has responsibility to contribute to the preservation and anchancement of the environment.” Formulasi hak ini terdapat pula dalam konstitusi negara bagian The Constitution of Illionois: “Each person has the right to a healthfull environment”. Dalam The Constitution Of Rhode Island juga mencantumkan “The right to use and enjoyment of the natural resources of the state with due regard for the preservation of their values. Hingga pada The Constitution of Pennsylvania juga menuangkannya: the people have aright to clean air, pure water and to the preservation of the natural, scenic, historic and aesthetic values of the environment.

Sedangkan Belanda sendiri yang banyak memberi “legacy” atas sistem hukum kita, jauh hari telah pula menisbatkan “hak atas lingkungan yang sehat” dalam konstitusinya, tertuang dalam Art. 21 Grondwet yang direvisi pada 17 Februari 1983; “De zorg van de overhead is gericht op de bewoonbaarheid van het land en de bescheming en verbetering van het leefmilleu.”

Untuk kawasan Asia Timur, salah satunya Jepang juga memberi perhatian yang besar seputar hak-hak di bidang lingkungan, yakni melalui The Basic Law For Environmental Protection, tertuang dalam article: “Environmental right. Every citizen has aright to secure and healthy environment. According to the provisions of the law, every citizen is entitled to exercise the environmental right against the state, its agent, public corporation, and other private persons.”

Terakhir, Philipina memuat ketentuan hak setiap orang terhadap lingkungan hidup yang sehat sejajar dengan tugas serta kewajiban untuk berperan serta terhadap pelestarian dan peningkatan lingkungan hidup. Lebih jelasnya hal ini tertuang daam Section 3 Philliphine Enviromental Policy: “In furtherance of these goals and policies, the government recognizes the right of the people to healthfull environment. It shall be the duty and responsibility of each individual to contribute to the preservation and enhancement of the phillippine environment.”

Lantas bagaimana dengan Indonesia menaruh perhatian terhadap masalah lingkungan, terutama penguatan hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dalam konstitusinya? Apakah sudah demikian “hijau” konstitusi kita, untuk memperjuangkan hak-hak dalam segala bentuk kerusakan lingkungan?

Hanya konsepsi kedaulatan lingkungan yang tersubtitusi sebagai bentuk perwujudan hak oleh UUD NRI 1945 mengakomodasinya dalam beberapa ketentuan yakni pada Pasal 28 H ayat 1 dan Pasal 33 ayat 4 UUD NRi 1945.

Pasal 28 H ayat 1 UUD NRI 1945 menegaskan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik, merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, UUD NRI 1945 sudah jelas sangat pro-lingkungan hidup, sehingga dapat pula disebut sebagai konstitusi hijau.

Hadirnya ketentuan Pasal 28 ayat 1 UUD NRI 1945 merupakan penegasan bahwa norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian segala kebijakan dan tindakan pemerintah dalam setiap pembangunan harus tunduk pada ketentuan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh lagi ada kebijakan yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan.

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat 4 UUD NRI 1945 juga termuat frasa yang berbasiskan pada hak-hak di bidang lingkungan. Ketentuan tersebut menegaskan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Dalam ketentuan Pasal 33 ayat 4 UUD NRI 1945 pada sesungguhnya terdapat dua konsep yang berkaitan dengan ide tentang ekosistem yaitu perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi haruslah mengandung prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[11]

Dengan hadirnya dua pasal dalam UUD NRI 1945 yang bermuatan kedaulatan lingkungan, sebenarnya konstitusi kita masih terlalu minim “hijaunya”. Hijaunya bahkan masih muda, sehingga masih memerlukan penguatan agar lebih hijau lagi.

Oleh karena itu, kirnya jika UUD NRI 1945 kelak mengalami amandemen yang kelima kalinya, sudah harus memuat ide-ide baru tentang kebijakan lingkungan hidup, terutama ditempakannya hak warga negara untuk mengajukan gugatan hak konstitusional tat kala negara dianggap terlibat dalam terjadinya kerusakan lingkungan. Gugatan yang dimaksud di sini adalah gugatan melalui MK dalam bentuk constitutional complain dari warga negara, agar negara yang diwakili oleh pemerintah dapat memenuhi tuntutan kerugian atas kerusakan lingkungan, termasuk menuntut peran negara untuk melakukan “perbaikan” jika saja terjadi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh badan-badan negara itu sendiri.

Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan Menjadi Dasar Penentu Arah Terhadap Undang-Undang Sektoral Lingkungan

Dalam pembahasan sebelumnya telah diuraikan salah satu prinsip yang populer dalam hukum lingkungan yakni terdapat dalam Pasal 33 ayat 4 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa lingkungan pada intinya harus dikelola berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Hal demikian tidak berarti bahwa prinsip hukum yang berlaku untuk kajian hukum lingkungan hanya pada poin itu saja. Masih banyak prinsip hukum lingkungan lainnya, yang dikembangkan lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), diantaranya: (1) Prinsip tanggung jawab Negara, hak atas lingkungan hidup adalah bagian dari HAM; (2) Prinsip konservasi; (3) Prinsip keterkaitan, berkelanjutan, pemerataan, security dan risiko lingkungan, pendidikan dan komunikasi yang berwawasan lingkungan; (4) Prinsip kerja sama internasional.[12]

Oleh karena hukum lingkungan merupakan bidang pengkajian yang multi aspek dan multi disipliner serta berorientasi pada pelestarian fungsi dan kemampuan lingkungan hidup dengan pendekatan utuh menyeluruh (holistik), tak pelak dari setiap prinsip hukum lingkungan merupakan turunan dari prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Sebagaimana dalam hukum lingkungan internasional dikenal beberapa prinsip hukum lingkungan, yaitu:[13]

  1. Duty To Prevent Reduce And Control Environmental Harm: Hukum internasonal mewajibkan setiap negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengontrol dan menangani  sumber pencemaran global yang serius atau sumber perusakan lintas batas  yang ada dalam jurisdiksi mereka. Untuk model prinsip hukum ini masih terbagi dalam beberapa bagian: (a) Due diligence and harm prevention: Prinsip due diligence ini menentukan bahwa setiap pemerintah yang baik, hendaknya memasyarakatkan ketentuan-ketentuan hukum administratif  yang mengatur tindakan-tindakan publik maupun privat demi melindungi negara lain dan lingkungan global. Keuntungan dari standar ini adalah fleksibilitasnya, dan negara tidaklah menjadi satu-satunya penjamin atas pencegahan kerusakan; (b) Absolute Obligation Of Prevention: Ketentuan ini mengharuskan setiap negara untuk berusaha semaksimal mungkin melakukan pencegahan terhadap terjadinya pencemaran, dan bahwa negara bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang tidak terhindari atau tak terduga sebelumnya. Akan tetapi prinsip ini dianggap terlalu jauh membatasi kebebasan negara dalam menentukan kebijksanaan mengenai lingkungan di wilayahnya sendiri; (c) Foreseeability of harm and the “preacutinary principle”: berdasarkan prinsip ini, maka negara diharuskan untuk menghitung setiap kebijakannya yang berkenaan dengan lingkungan. Negara wajib untuk mencegah atau melarang tindakan  yang sebelumnya telah dapat diduga akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.;
  2. Transboundary Co- Operation In Causes Of Environmental Risk: Prinsip kedua dalam hukum lingkungan adalah bahwa setiap negara harus bekerja sama dengan negara lain, dalam hal penanggulangan pencemaran lintas batas negara. Hal ini sejalan dengan adanya pengakuan bahwa ada kalanya negara tersebut mempunyai “Shared Natural Resources” yang harus dimanfaatkan bersama. Prinsip ini dituangkan dalam Deklarasi Stockholm Tahun 1972;
  3. The “Polluters Pays” Principle: Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi  dari pada segi hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai kerusakan dan pembebanannya;
  4. Equal Access And Non-Discrimination: ketentuan dasar dari prinsip ini adalah bahwa pihak asing dapat juga menggunakan ketentuan-ketentuan ganti rugi yang ada dalam hukum nasional suatu negara berkenaan dengan adanya pencemaran lintas batas yang  disebabkan oleh negara yang bersangkutan. Prinsip ini harus diterapkan secara sama tanpa adanya tindakan yang diskriminatif. Prinsip ini meminta perlakuan yang sama baik kepada subyek hukum nasional maupun subyek hukum asing tanpa adanya perbedaan.

Khusus untuk dalam makalah ini, hanya akan difokuskan pada satu prinsip hukum lingkungan, sebagaimana yang telah dituangkan dalam UUD NRI 1945, hanya akan membahas prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Jika dirunut awal mulanya prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sudah lama lahir dari sejak tahun 1970-an. Jauh sebelum hadir dalam UUD NRI 1945 (dalam amandemen kedua UUD pada tahun 2000).

Melalui hasil Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan  Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 telah disepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup.

Dari hasil konfrensi tersebut sudah jelas muncul istilah prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Lantas kemudian, apa yang dimaksud dengan prinsip pembangunan berlkelanjutan dan berwawasan lingkungan? Ada banyak defenisi atas prinsip hukum ini, terutama pada istilah pembangunan berkelanjutan, diantaranya: [14]

  1. Emil Salim mengemukakan pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan;
  2. Ignas Kleden mengemukakan Pembangunan berkelanjutan di sini untuk sementara didefinisikan sebagai jenis pembangunan yang di satu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumber daya manusia secara optimal, dan di lain pihak serta pada saat yang sama memelihara keseimbangan optimal di antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumber daya tersebut;
  3. Sofyan Effendi mengemukakan Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang pemanfaatan sumber dayanya, arah invesinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan kelembagaannya dilakukan secara harmonis dan dengan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan masa depan dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Agak jauh berbeda, dengan istilah prinsip berwawasan lingkungan tidak ada defenisi yang banyak diuraikan oleh para pakar. Oleh karena itu untuk mencari defenisi apa yang dimaksud berwawasan lingkungan, cukup dengan mencermati dalam UUPPLH. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya dalam UUPPLH dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan.

Sebagai suatu kelaziman, peraturan peundang-undangan merupakan bangunan hierarki yang teridiri dari berbagai norma. Maka UUD NRI 1945 sebagai norma tertinggi yang sudah menuangkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, berarti harus ada jaminan terhadap perundang-undangan di bawahnya agar memuat pula prinsip ini.

Penting untuk ditegaskan bahwa ketentuan yang terdapat dalam UUD NRI 1945 merupakan ketentuan yang sifatnya masih general dalam membahas konsepsi kedaulatan lingkungan. Oleh sebab itu norma yang terdapat dalam UUD NRI 1945 sudah pasti akan melahirkan norma dalam bentuk UU, yaitu Undang-Undang Lingkungan Hidup.

Dalam sejarah peraturan hukum kita, sudah tiga kali UU Lingkungan Hidup mengalami perubahan. Pertama, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Satu hal yang contradictio intermenis dari UU Lingkungan Hidup mengalami perubahan. Dalam setiap perubahannya selalu mengalami pula perubahan nama. Padahal jauh lebih sederhana dan cocok dari penamaan UU yang pertama yaitu Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam hemat penulis, mengatakan ini lebih cocok digunakan, karena pada beberapa pengkajian hukum lingkungan yang memang multiaspek, UU Lingkungan hidup masih memiliki banyak UU sektoral lingkungan seperti UU Sumber Daya Air, UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Penataan Ruang, UU Kehutanan, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, UU Minyak Gas Bumi, dan UU Perindustrian.

Jika ditelaah satu-persatu UU sektoral lingkungan tersebut, terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-Undangnya yang memuat Prinsip hukum pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Itu artinya dalam setiap UU sektoral terkait lingkungan harus berpedoman pada UU Pokok yakni UU Lingkungan Hidup. Taruhlah misalnya dalam Pasal 3 UU No 7 Tahun 2004 tentang Pengairan, menegaskan “Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Demikian halnya dalam Pasal 3 huruf (d) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. “Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.”

Berdasarkan temuan beberapa prinsip hukum lingkungan yang tertuang dalam beberapa UU sektoral lingkungan hidup. Dengan demikian strategi untuk mendapatkan dasar penentu arah terhadap undang-undang sektoral lingkungan harus dilakukan melalui sinkronisasi dan harmonisasi UU Lingkungan Hidup sebagai umbrella act atas segala UU sektoral lingkungan di atas. Caranya adalah dengan melakukan perumusan “Paket Undang-Undang Lingkungan Hidup” ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk mengatur pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup.

 

REFERENSI:

Abdul Munir Mulkhan. 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakrta: Kanisius.

Christhoper D. Stone. 1974. Should Trees Have Standing? Toward legal Right For Natural Object. Los Altos: William Kuffman.

Damang. “Benarkah Kedaulatan Lingkungan Ada? (Suatu Pendekatan Filsufis)”. Gorontalo Post. 13 Januari 2012.

Jerome Frank. 2013. Hukum dan Pemikiran Modern. Bandung: Nuansa media.

Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution. Jakarta: Rajawali Pers.

______________. 2009. Kini Saatnya Membumikan Konstitusi Hijau, Konstitusi Hijau dan Hak Asasi Manusia”, sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kekayaan alam di Indonesia. Sarekat Hijau Indonesia (SHI).

Koesnadi Hardjasoemantri. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gaja Madha University Press.

Otong Rosadi. 2012. Hukum, Ekologi, & Keadilan Sosial. Semarang: Thafa Media.

Siti Sundari Rangkuti. 1997. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press.

Suparto Wijoyo. 2009. Konstitusionalitas Hak Atas Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

 Internet:

http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/04/pengantar-umum-sumber-prinsip-hukum.html

http://indrasfc.blogspot.com/2012/05/pembangunan-berkelanjutan-dalam-rangka.html

[1] Otong Rosadi. 2012. Hukum, Ekologi, & Keadilan Sosial. Semarang: Thafa Media. Hlm 93.

[2] Suparto Wijoyo. 2009. Konstitusionalitas Hak Atas Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Hlm 3.

[3] Christhoper D. Stone. 1974. Should Trees Have Standing? Toward legal Right For Natural Object. Los Altos: William Kuffman. Page 5.

[4] Jimly Asshiddiqie. Op.cit. Hlm. 95

 [5] Damang. “Benarkah Kedaulatan Lingkungan Ada? (Suatu Pendekatan Filsufis)”. Gorontalo Post. 13 Januari 2012.

[6] Abdul Munir Mulkhan. 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakrta: Kanisius. Hlm 43.

[7] Jerome Frank. 2013. Hukum dan Pemikiran Modern. Bandung: Nuansa media. Hlm. 240.

[8] Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 31 s/d. 37.

[9] Koesnadi hardjasoemantri. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gaja Madha University Press. Hlm. 93

[10] Siti Sundari Rangkuti. 1997. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press. Hlm. 275.

[11] Jimly Asshiddiqie. 2009. Kini Saatnya Membumikan Konstitusi Hijau, Konstitusi Hijau dan Hak Asasi Manusia”, sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kekayaan alam di Indonesia. Sarekat Hijau Indonesia (SHI).

 [12] http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/04/pengantar-umum-sumber-prinsip-hukum.html

[13] Ibid.

[14] http://indrasfc.blogspot.com/2012/05/pembangunan-berkelanjutan-dalam-rangka.html

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...