Mengapa Harus KPK ? (Catatan singkat kasus korupsi Simulator SIM)
Kasus Simulator SIM memasuki babak baru. Setelah lebaran Idul Fitri, pihak Polri langsung melancarkan jurus. Tersangka Djoko Susilo langsung diperiksa sebagai saksi. Langkah ini pun dianggap sebagai upaya “menyalip” KPK dalam mengungkap kasus korupsi simulator SIM.
Kasus yang disinyalir menjerat petinggi perwira Polri ini, tidaklah mudah dalam pengungkapannya. Selain dibutuhkan kepiawaian dalam hal mengumpulkan alat bukti. Kasus ini juga bisa menjadi tantangan terbesar bagi pimpinan KPK jilid III. Sangatlah beralasan karena kasus simulator ini juga disidik oleh pihak Polri. Mereka berdalih kasus ini telah lama diselidiki oleh Polri. Sehingga Polri lah yang berwenang.
Mengenai siapa yang berwenang menyidik kasus korupsi. Baik KPK maupun Polri sama-sama berwenang. Akan tetapi, bila kasus korupsi kemudian ditangani lebih dari satu lembaga penegak hukum, lain lagi ceritanya. Pertanyaan kemudian siapakah yang berwenang menyidik kasus simulator SIM Polri?
Dasar Hukum
Konflik kewenangan penyidikan kasus simulator SIM masih belum usai. Pihak Polri bersikukuh mempertahankan pendiriannya. Lebih teragis lagi, pihak Polri menuding KPK telah “melanggar perjanjian”. Terlepas dari apa isi perjanjian (baca: MoU) tersebut. Penulis lebih cenderung untuk mengkaji persoalan ini dari segi hukum pidananya. Agar tidak terjebak dari “saling klaim” berwenang menyidik antara pihak Polri dan KPK.
Menurut hemat penulis, penanganan kasus Simulator SIM sangatlah tepat bila ditangani oleh KPK. Pertama, meski Bareskrim Polri mengklaim telah melakukan penyelidikan kasus simulator SIM. Tetapi, KPK ternyata lebih dulu menaikkan statusnya ke tahap penyidikan. Pada tanggal 27 Juli 2012, KPK menetapkan empat tersangka. Sedangkan pihak Polri menetapkan lima orang tersangka tertanggal 1 Agustus 2012. Artinya bila kita merujuk ke UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, maka yang berwenang untuk melakukan penyidikan (menuntaskan) kasus ini adalah KPK. Atau dengan kata lain pihak Polri tidak berwenang lagi (vide: Pasal 50 ayat 3).
Kedua, bila melihat jalannya pemeriksaan kasus simulator SIM. Di mana baik pihak Polri maupun KPK telah melakukan penyidikan. Maka langkah penyidikan yang dilakukan oleh pihak Polri haruslah segera dihentikan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 50 ayat 4 yang berbunyi” Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Ketiga, Dasar hukum pihak Polri tidak menghentikan penyidikan dengan berpegangan pada Pasal 109 ayat 2 KUHAP, sudah tepat. Akan tetapi, terhadap pemeriksaan tindak pidana korupsi selain tunduk pada hukum acara pidana (KUHAP) juga pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Atau dengan kata lain, mulai dari penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, kecuali ditentukan lain (vide: Pasal 39 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2002). Bila dijelaskan lebih jauh apabila penyidikan dan penghentian penyidikan diatur di dalam KUHAP (ketentuan umum) dan juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 (ketentuan khusus), maka ketentuan khususlah yang berlaku. Hal ini karena tindak pidana korupsi tergolong dalam hukum pidana khusus. Dalam hukum pidana khusus asas yang berlaku adalah “ lex specialis derogat legi generalis”. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Termasuk dalam hal proses beracaranya. Inilah pentinya mempelajari asas-asas hukum. Bila terjadi suatu “benturan” aturan/regulasi. Maka kita harus kembali pada asas-asas hukum yang berlaku.
Don’t Stop KPK
Selain dari kuatnya dasar hukum KPK dalam menangani kasus ini. Ada faktor non hukum yang juga bisa mempengaruhi bila pihak Polri yang menyidik kasus ini. Pertama, tingginya semangat membela/melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan. Tidak jarang kasus korupsi yang tersangkanya seorang perwira Polri tidak tuntas dalam penanganannya. Hal tersebut karena dianggap membuka aib sendiri. Seperti kasus Susno Duadji yang akhirnya dicopot sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri. Hal tersebut karena Susno Duadji memberikan informasi tentang makelar kasus (baca: mafia hukum) di tubuh Polri. Boro-boro mengungkap kasus mafia hukum ditubuh Polri justru sebaliknya Susno Duadji di “hotel prodeokan”.
Kedua, dimungkinkan terjadinya praktik kolusi ditengah penyidikan. Kasus yang disidik berujung kepada kesimpulan tidak terbuktinya dugaan tidak pidana korupsi. Bila dikaitkan dengan penyidikan kasus simulator, maka kemungkinan ini sudah terjadi. Penetapan tersangka mantan Kepala Korlantas Mabes Polri Irjen Pol Djoko Susilo oleh KPK, justru di pihak penyidik Polri Djoko Susilo dianggap tidak terlibat. Pemanggilan penyidik Polri terhadap Djoko Susilo baru-baru ini dalam kapasitasnya sebagai saksi saja.
Ketiga, persoalan kepangkatan. Sangatlah sulit bagi seorang penyidik yang berpangkat “rendah” untuk memeriksa seorang tersangka dengan pangkat yang lebih tinggi. Keempat, Upaya melokalisir kasus korupsi. Tindakan penyidik Polri yang sampai sekarang belum berhenti menyidik kasus simulator, merupakan upaya membongsai kasus ini. Tindakan tersebut dilakukan karena bila KPK yang menangani kasus ini, maka tidak menutup kemungkinan akan menyeret petinggi Polri lainnya. Hal tersebut pernah disyaratkan Ketua KPK Abraham Samad, saat melakukan diskusi antikorupsi di Makassar.
Tentunya kita semua mendukung KPK untuk tidak berhenti menyidik kasus korupsi simulator SIM Polri. Kasus yang telah mencoreng wajah penegak hukum (Kepolisian). Atau dengan kata lain, bila Polri ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Maka seharusnya pihak Polri “legowo” menyerahkan kasus ini ke KPK.
*****Salam Antikorupsi.