Hukum Pidana Formil dalam Hak Asasi Manusia
Sejarah telah bercerita bahwa hukum alam (natural law) menempatkan perlakuan yang sama dan adil bagi semua orang, semua yang terlahirkan memiliki harkat dan martabat. Inilah yang disebut Hak Asasi Manusia. Hak yang melekat dan ada sebagai kodrat pemberian Tuhan. Bukan negara yang memberikan atau bukan orang lain (the others) di sekitar menciptakannya. Begitu seorang terlahirkan maka hak itu melekat dan wajib dilindungi oleh orang lain dan negara sebagai sistem yang berdiri di atas tatanan hukum dari hasrat publik.
Maka kalau dibuka banyak literatur yang menyinggung masalah Hak Asasi Manusia, setelah perang 30 Tahun yang diakhiri dengan Perjanjian Westhpalia (1648). Sudah banyak penulis menyinggung masalah Hak Asasi Manusia sebagaimana dikemukakan oleh Antonie Cesese (2005: 3), Penulis tersebut dapat diidentifikasi seperti Vattel (1758), De Martens (1788), Wheaton (1836), dan Heffter (1844).
Hak Asasi Manusia telah diperjuangkan untuk mengakui hak hidup dan perlakuan yang layak kepada setiap orang. Pengakuan Hak Asasi Manusia di abad modern dipertegas oleh Franklin D. Roosevolt (1941) dalam the four of freedom. Yang isinya, kebebasan berbicara (the freedom of speech), kebebasan beragama (the freedom of religion), kebebasan dari kemiskinan (the freedom from want), dan kebebasan dari rasa takut (the freedom of fear).
Banyak diantaranya instrumen hukum internasional yang menjadi dasar penegakan Hak Asasi Manusia (selanjutnya akan disingkat dengan HAM), Scott Davidson (1995: 108) menguraikan diantaranya, ICCPR (International covenant on Civil and Political Right), ICESCR (International Covenant On Economic, Social And Cultural Right), ICRD (international Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination), Torcure Convention, dan UCRC (United Nation Convention On The Right Of The Child).
Pengaruh HAM, tidak dapat dibendung apalagi merupakan embrio dari hukum alam, sejarah pasti menghendaki bahwa dimana dan kapanpun setiap orang harus dihormati hak asasinya. Oleh karena itu dalam pengenaan sanksi pidanapun berkembang praktik dan tata cara tindakan sanksi, sedikit demi sedikit mengurangi perlakuan pemidanaan yang kejam dan tidak manusiawi. Sekalipun orang tersebut bersalah (guilty) tetap harus diperhatikan dan dihormati hak-haknya.
Pernyataan Hak Asasi Manusia (Unifersal Declaration Human Right) ditegaskan dalam Pasal 11 UDHR yang berbunyi “setiap orang yang dituntut karena disangka pelanggaran pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu pengadilan terbuka, dan di dalam sidang itu diberi segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya.”
Dari pencantuman dan ratifikasi beberapa ketentuan/ instrumen hukum internasional (ICCPR, ICESCR, UDHR) berarti negara Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) dan menganut sistem dualisme dalam pengakuan ketentuan hukum internasional. Mutlak menjadikan sistem negara hukum yang mengakui persamaan dan Hak Asasi Manusia (ciri negara hukum formil).
Ketentuan/ regulasi Hak Asasi Manusia dapat ditemukan baik dalam UUD 1945 (Pasal 28), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai prosedur penegakan hukum yang bertujuan mempertahankan hukum materil (hukum pidana), dalam pertimbangan filsufisnya menegaskan “bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ini mengindikasikan bahwa tujuan atau esensi dari hukum acara pidana yang bersinggungan dengan penegakan hak asasi terhadap pelaku tindak pidana terdapat dalam KUHAP. Menurut O. C. Kaligis (L dan jaw law firm, 2010: 6 -8) tujuan hukum acara pidana, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, penegakan hukum dan keadilan, perlindungan harkat dan martabat manusia, penegakan ketertiban dan kepastian hukum.
Nyatanya, memang perlakuan terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana dalam due process of law harus memperhatikan kepentingan dan hak asasi setiap orang, yang menjadi bahagian dari due process of law. Pejabat yang berwenang dalam melakukan penegakan hukum harus sesuai dengan tugas dan kewenangannya dengan yang ditegaskan dalam Undang-Undang (baca: KUHAP). Hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP ditegaskan mulai dari Pasal 50 s/d Pasal 74. Pengakuan/ perlindungan hak asasi tersangka di sini adalah kelanjutan dari Pasal 11 UDHR, Pasal 28 UUD 1945, dan Pasal 18 butir 1 s/d 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system), sebagai bahagian dari due process of law, secara singkat memberi arah, tugas dan tata cara penyelidikan, penyidikan. Pejabat kepolisian sebagai penyidik, sebagaimana ditegaskan dalam KUHAP memilki tugas seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan. Dalam menjalankan tugas tersebut tetap harus sesuai dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan, misalnya harus sesuai dengan mekanisme, syarat dan alasannya (Pasal 16 – Pasal 19). Begitupun penahanan harus sesuai dengan syarat, alasan dan tata cara yang ditetapkan dalam KUHAP (Pasal 20 – Pasal 21).
Namun dalam kenyataannya, penegakan substansi hukum tidak dilaksanakan secara profesional dan proporsional olah pejabat penyidik. Banyak hasil penelitian, seperti karya ilmiah (lih: Rahayu, 2000: 36) menunjukan disparitas oleh karena kesalahan dalam penyidikan. kasus yang memperlihatkan pejabat kepolisian sebagai penyidik (lih: Pasal 6 KUHAP) bertindak sewenang-wenang. Pemaksaan kepada tersangka untuk memberikan pengakuan bersalah. Kelalaian dari penyidik maupun penuntut memberikan hak bagi tersangka untuk memperoleh bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP). Terlebih lagi intervensi media telah mencabut hak asasi tersangka di ranah (baca: ruang) publik sebagai pelaku yang tidak bersalah (presumption of innocence) sebelum putusan pengadilan inkra (incracht van bewijske).
Masih segar diingatan kita, kasus salah tangkap terhadap pembunuhan Asrory. Polisi justru menangkap Kemat, David, Sugik. Ironisnya Pengadilan Negeri Jombang telah memvonis Imam kemat dengan penjara 17 Tahun, David 12 Tahun penjara, Sugik pada waktu itu masih di sidang di Pengadilan Negeri Jombang. Kegemparan terjadi ketika Very Idham Hensyansyah alias Ryian, Sipenjagal dari Jombang, tertangkap. Mr. X, salah satu korban yang dibunuh oleh Ryan akhirnya diketahui bernama Asrory. Kepastian ini di dapat dari hasil tes DNA, dan hasilnya cocok dengan sampel darah orang tua Asrory. Dan Ryan sendiri mengakui dialah pembunuh Asrory
Apa yang dilakukan kepolisian bukanlah sebuah kekeliruan, melainkan kesalahan. Apalagi Polisi juga melakukan penyiksaan terhadap Kemat, David, dan Sugik (berdasarkan wawancara Harian Surya). Tindakan aparat kepolisian jelas, di sini telah melanggar dan bertentangan dengan konvensi anti penyiksaan yang menyatakan dengan jelas jaminan bagi setiap orang orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan (torture) serta perihal kewajiban negara di dalamnya. Mengapa kasus Sengkon dan Karta kemudian masih berulang ? Inilah yang menunjukan aparat penegak hukum, belum teliti dan asal menemukan saja identitas dan titik terang sudah mengatakan bukti permulaan cukup untuk melakukan penangkapan berdasarkan Pasal 17 KUHAP.
Apalagi Polisi sebagai penyidik mempunyai kewenangan diskresi (discretion), untuk mengambil tindakan berupa penangkapan, penahanan dan penggeledahan. Maka muncul legitimasi bahwa tangkap saja, dibelakang persoalan terbukti bersalah atau tidak. Padahal KUHAP sebagai ketentuan, landasan, dan pedoman dalam tindakan upaya paksa, dalam penyidikan, harus memperhatikan dan menjelaskan hak-hak tersangka. Prinsip Miranda Rule sebagai hak tersangka untuk berbicara, memberikan pengakuan, mendapat seorang pengacara, tampaknya gagal dijadikan landasan dalam penyidikan. Apakah ini dilatarbelakangi oleh kurang pengetahuan hukum penyidik ? sehingga KUHAP yang sudah mengakui hak tersangka (Pasal 50 – Pasal 68) tidak dikomunikasikan secara baik kepada tersangka. Sepertinya kekerasan dalam penyidikan telah membudaya sehingga melupakan hak-hak tersangka.
Bahkan kalau diteliti, lebih jauh dokumen yang bercerita tentang disparitas hukuman dalam kekerasan oleh penyidik sudah menunjukan hukum sebagai instrumen untuk dipercayai berada dalam titik nadir. Dengan adanya putusan terhadap terdakwa William Roger dan Surahman (lih, Putusan: Nomor 579/ Pid/ B/ 2007/ PN. BDG dalam Anwar dan Adang, 2009: 310-303) dalam kasus kekerasan terhadap korban AUP, malah hanya diputus dengan pidana penjara masing-masing selama satu Tahun.