KPK “Goyang” Daerah
KPK lama tak terdengar. Setelah ditelan isu kenaikan harga BBM, lembaga superbody telah kembali. Pimpinan KPK jilid III selalu membuat gebrakan. Awal kemunculannya yang langsung memporak-porandakan kasus-kasus korupsi elit (baca: sarat kepentingan politik). Semua mata terperangah akan sepak terjang KPK jilid III ini. Para elit di negeri ini, merasa terganggu. Hingga skenario penghancuran sering berhembus dinding KPK.
“Di pengasingan” pimpinan KPK tidak tinggal diam. Masyarakat yang telah “terhipnotis” kasus wisma atlet dan cek pelawat terkecoh. Pimpinan KPK ternyata membuat skenario baru. Selain fokus membongkar kasus korupsi elit yang sementara berlangsung. KPK juga membunyikan genderang perang di daerah.
Bidikan senapang KPK langsung menembus “dada” elit lokal di Riau. Anggota DPRD Riau dan pejabat teras Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau ditangkap. Penangkapan mereka atas dugaan korupsi dalam pembangunan venues PON XVIII di Provinsi Riau. Selain melakukan penangkapan, KPK juga mencekal Gubernur dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau. Pencekalan keduanya bersadarkan surat pengajuan Nomor R-1380/01-23/04/2012. Hal tersebut dilakukan agar tidak melarikan diri keluar negeri.
Selain membidik pejabat di Riau, KPK juga memeriksa pejabat daerah di Semarang. KPK menetapkan Walikota Semarang sebagai tersangka. Penetapan tersebut, pengembangan kasus suap yang menjerat Sekretaris Daerah kota Semarang dan dua anggota DPRD Semarang. Mereka diduga telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 21 Tahun 2001. Tentunya gebrakan KPK jilid III yang membidik pejabat daerah menuai tanda tanya. Banyak pengamat yang menganggap pimpinan KPK lari dari kasus korupsi elit (baca: Menteri Penerima fee dan Anas belum tersentuh). Malah lebih ekstrim KPK dianggap “padang bulu” dalam penuntasan kasus korupsi di tanah air.
Bukan Pandang Bulu
Aksi KPK yang “menggoyang” elit lokal, bagi penulis bukanlah melarikan diri. Pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu bukan slogan semata. Perlu kita ketahui indeks persepsi korupsi Indonesia versi Transparency International dan Political and Economic Risk Consultantcy Ltd (PERC) 2011 merupakan kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia. Hasil survey kedua lembaga ini, tidak ada pembagian korupsi elit nasional dan daerah (baca: korpsi elit lokal). Sehingga tindakan KPK jilid III sudah tepat.
Pimpinan KPK kemungkinan sangat tahu betul “perselingkuhan elit lokal” di daerah. Persekongkolan Kepala Daerah-DPRD dalam menilap uang daerah. Politik Desentralisasi telah memberikan kewenangan yang sangat luas bagi penyelenggara daerah. Kewenangan yang bermuarah kepada praktik korupsi berjamaah.
Tepatlah kalimat pendek dari Lord Acton, “kekuasaan yang cenderung korup”. Desentralisasi yang berjalan di daerah menyulap para pejabat daerah (baca: Kepala Daerah) menjadi “raja-raja kecil” di era modern. Kekuasan yang absolut memberikan ruang terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Tumbuh suburnya praktik korupsi di daerah dapat dilihat dari temuan Indonesian Corruption Watch (ICW). Lembaga independen penggiat antikorupsi ini, merilis pada tahun 2010 anggota legislatif/ DPRD yang melakukan praktik korupsi sepanjang tahun 2004-2009 berjumlah 1.243 anggota. Temuan ICW tahun 2011 memperlihatkan tambahan pelaku korupsi di daerah. Pelaku korupsi di daerah yang menempati urutan pertama yakni PNS berjumlah 239 orang, Anggota DPRD berjumlah 99 orang, Kepala Dinas berjumlah 91 orang, panitia lelang berjumlah 67 orang, bendahara Pemda berjumlah 51 orang, Bupati/ Wakil Bupati berjumlah 41 orang, dan Sekda berjumlah 24 orang.
Hal ini sejalan dengan laporan Dr. M. Umar Hasibuan (Staf Khusus Menteri Dalam Negeri). Aktor utama terjadinya praktik korupsi di daerah dilakukan oleh Walikota/ Bupati. Sejak tahun 2004-2011 tercatat 16 wali kota/ plt wali kota menjadi tersangka, 1 wali kota menjadi saksi, dan 8 wakil wali kota terkait dengan dugaan kasus korupsi di masing-masing daerah kekuasaannya. Pada kurun waktu tersebut 84 Bupati dan 19 wakil Bupati tersangkut dengan kasus korupsi. Keseluruhan kepala daerah/ wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dalam kurun waktu 2004-2011 ada 128 orang.
Selain pelaku korupsi di daerah, ICW juga merilis institusi atau lembaga yang korupsi. Lembaga yang paling korup di daerah dilakukan pemerintah daerah berjumlah 264 kasus dan pemerintah kota 56 kasus serta pemerintah Provinsi berjumlah 23 kasus. Pertumbuhan korupsi di daerah sangatlah besar. Para penyelenggara daerah memang lihai dalam merampok uang daerah. Perselingkuhan dalam melakukan mark up anggaran sampai penggelapan uang daerah menjadi modus korupsi yang paling trend.
Tumbuh subur kasus korupsi di daerah menjadi perhatian serius KPK jilid III. Hal tersebut karena korupsi telah tepat dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi telah merambah dari Sabang sampai Merauke. Spirit desentralisasi guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan di daerah, telah berubah menjadi “desentralisasi korupsi”.
Pengokohan “desentralisasi korupsi”, semakin terwujud dengan terlibatnya penegak hukum di daerah. Perselingkuhan eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat dilihat dari banyaknya putusan bebas terdakwa korupsi di pengadilan Tipikor daerah. Putusan bebas kasus korupsi, dapat dilihat dari putusan Pengadilan Tipikor Bandung yang membebaskan Walikota Bekasi (Mochtar Muhammad), Bupati Subang (Eep Hidayat) dan Wakil Walikota Bogor (Ahmad Ru’yat). Selain pejabat eksekutif, Pengadilan Tipikor Samarinda juga membebaskan 7 anggota DPRD Kutai Kartanegara terkait kasus korupsi dana operasional APBD senilai Rp 2,98 miliar.
Langkah maju KPK jilid III yang melirik praktek korupsi di daerah haruslah diapresiasi. Genderang perang anti korupsi haruslah ditabuh. Masyarakat Indonesia jangan terhipnotis dengan kasus wisma atlet dan cek pelawat. Hingga lupa akan kasus korupsi di daerah.