Pelaku Kejahatan tidak Waras

Prof. Reza Indragiri Amriel : Pakar Psikologi Forensik Indonesia
Sumber Gambar: kabar6.com
Ini kisah nyata. Seorang anak balita dibanting sampai tewas oleh tetangganya. Berdasarkan informasi dari warga, si pelaku diketahui kurang waras, tapi tak berobat. Setiap waktu nongkrong saja di pintu depan rumahnya.
Warga juga mengaku tidak pernah melihat petugas dari dinas terkait menyambangi pelaku. Jadi, mengacu keterangan tersebut, pelaku selama bertahun-tahun tidak pernah menerima penanganan medis untuk mengatasi kondisi kejiwaannya.
Sekian pekan setelah kejadian menyedihkan atas balita itu, orangtuanya memberikan kabar. Kasus berhenti karena berdasarkan pemeriksaan rumah sakit, si pelaku mengidap gangguan jiwa. Tak jelas jenis gangguan jiwa dimaksud. Berhadapan dengan keadaan sedemikian rupa, sungguh manusiawi ketika orangtua si balita murka sekaligus putus asa.
“Di mana keadilan?” begitu berulang kali bunyi pesan Whatsapp-nya. Kata-katanya ditulis dengan huruf besar dan sederet tanda tanya.
Khalayak perlu paham bahwa tidak serta-merta kondisi bergangguan jiwa akan membuat pelaku kejahatan lolos dari pertanggungjawaban pidana. Hanya gangguan jiwa tertentu yang pelakunya akan memperoleh dispensasi.
Pemberian dispensasi ini sesuai dengan Pasal 44 ayat 1 KUHP (Terjemahan R Soesilo), Pada KUHP lain, yaitu terjemahan dari R Soesilo, maka bunyi Pasal 44 Ayat (1) KUHP ialah ‘Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum’.
Dalam banyak kasus kejahatan yang pelakunya didiagnosis mengidap abnormalitas psikiatri, proses hukumnya langsung dihentikan di tingkat kepolisian. Juga sebagaimana pada kasus tewasnya balita di atas, begitu proses hukum disetop, dari tahanan polisi, pelaku langsung kembali ke rumahnya seperti sebelumnya. Sudah, begitu saja perjalanan kasusnya.
Pelaku kejahatan yang mengidap gangguan mental memang patut menerima kepedulian. Namun pada saat yang sama, nasib korban (dan keluarganya) juga sama sekali tidak boleh diabaikan.
Di situlah kesenjangan berada; penanganan hukum atas diri pelaku dihentikan begitu saja, tidak ada tindak lanjut, sedangkan pada sisi lain korban dan keluarganya ‘dipaksa’ untuk memberikan pemakluman.
Tidak ada tanggapan barang sedikit pun terhadap kebutuhan korban dan keluarganya akan keadilan. Ketimpangan sedemikian rupa tentu mendatangkan kepiluan bahkan kegusaran susulan dari pihak korban dan keluarganya. Menurut saya, proses hukum yang terpenggal seperti tergambar pada alinea di atas merupakan penerapan Pasal 44 ayat 1 KUHP yang tidak begitu proporsional.
Modifikasi
Sistem hukum di Indonesia memungkinkan adanya persidangan in absentia dengan kriteria tertentu. Penjatuhan putusan, dalam kondisi tertentu, juga dapat dilakukan secara verstek. In absentia dan verstek bermakna bahwa persidangan dan putusan dijatuhkan tanpa dihadiri terdakwa.
Dari perspektif psikologis, pengakuan terdakwa juga ‘bukan’ merupakan keharusan karena itulah terdakwa tidak disumpah. Terdakwa bisa menyangkal, tapi proses pembuktian akan menjadi penentu. Hal yang sama sepatutnya diberlakukan pula di kantor-kantor polisi. Menginterogasi pelaku kejahatan agar mengakui perbuatannya bukan sesuatu yang secara ngotot harus diselenggarakan polisi.
Atas dasar itu, patut dikaji seberapa jauh kemungkinan memberlakukan in absentia dan verstek pada kasus-kasus kejahatan yang pelakunya teridentifikasi mempunyai gangguan kewarasan.
Jika in absentia dan verstek bisa diterapkan, kasus hukum si pelaku tetap diproses. Sementara itu, otoritas terkait mengirim si pelaku ke institusi rehabilitasi mental untuk menjalani pengobatan agar ia nantinya dapat disidang. Pengecekan secara berkala terhadap kesiapan pelaku untuk disidang, dilakukan secara berkala. Begitu kondisi kejiwaannya dinilai siap, maka persidangan dilangsungkan.
Kondisi kejiwaan si pelaku terus dipelihara hingga persidangan rampung. Perlakuan semacam di atas yang tampaknya belum tersedia di sini. Di Indonesia, sekali pelaku dinilai rumah sakit memiliki masalah kewarasan sebagaimana Pasal 44 ayat 1 KUHP, proses hukum apa pun langsung dihentikan untuk seterusnya.
Apabila kondisinya tak kunjung membaik, si pelaku dapat terus ‘ditahan’ dan diwajibkan menjalani pengobatan. Ketentuan ini diberlakukan ketat terutama ketika pelaku bertendensi melakukan perbuatan yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun pihak lain.
Jika persidangan akhirnya diadakan dan jatuh vonis bersalah, baik dihadiri terdakwa maupun verstek, barulah hakim memertimbangkan penerapan Pasal 44 ayat 1 KUHP atas diri pelaku. Artinya, alih-alih harus menghukum penjara si pelaku selama sekian tahun (ujung redaksional pasal tersebut dalam terjemahan R Soesilo ialah kata ‘dihukum’), tersedia opsi bagi hakim untuk mengenakan kewajiban bagi pelaku agar menjalani rehabilitasi selama sekian tahun.
Sekiranya pelaku sembuh sebelum waktu berakhir, program rehabilitasi mental disetop. Lalu, sebagai gantinya, selama sisa waktu ia dikenai hukuman sebagaimana narapidana biasa. Perlakuan seperti itu diselenggarakan, khususnya bagi pelaku berkategori berbahaya.
Demikian gagasan tentang bagaimana penerapan pasal 44 ayat 1 KUHP dilakukan secara lebih proporsional. Intinya, negara tidak lagi dengan gampangnya berlepas tangan selamanya ketika pelaku kejahatan didiagnosis tidak waras.
Tidak hanya bermanfaat bagi pelaku, penerapan yang lebih proporsional atas Pasal 44 ayat 1 KUHP juga akan lebih potensial mendekatkan korban dan keluarganya pada keadilan. Dengan itu pula, jaminan bagi keamanan masyarakat akan lebih tersedia.
Titik berangkat atas itu semua ialah potret publik atas diri pelaku, yakni sebagai individu yang–apa pun jenis kejahatannya–punya potensi mengulangi perbuatannya. Dengan cara pandang itulah, otoritas terkait dipaksa untuk lebih cermat dan tepat memperlakukan para calon residivisme.
Perkara lain
Pascakejadian kejahatan, di samping atas diri pelaku yang tidak waras, sesungguhnya ada pihak lain yang juga bisa dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. Pihak dimaksud ialah orang yang sesungguhnya bertanggung jawab untuk menjaga diri pelaku, tetapi melakukan kelalaian sehingga pelaku lepas dari pemantauan dan apalagi melakukan tindakan berbahaya terhadap pihak lain.
Sayangnya, hingga kini hampir bisa dipastikan belum ada satu pun proses pidana terhadap pihak yang melakukan kecerobohan semacam itu. Penyebabnya ‘sederhana’; jangankan masyarakat awam, petugas penegakan hukum sendiri banyak yang belum tahu-menahu ihwal Pasal 491 KUHP tersebut. Wallahualam.
Oleh:
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
Opini Media Indonesia, 12 Jul 2019