Nurdin Halid Maju Pilgub Sul-Sel; Tidak Perlu Mengumumkan Dirinya Sebagai Mantan Narapidana

Sumber Gambar: detik.net.id
Ada banyak kalangan yang meragukan integritas salah satu bakal calon yang sudah menyatakan kesiapan dirinya maju di pemilihan Gubernur Sul-sel 2018 mendatang. Dan tak kurang pemberitaan di berbagai media online mengonfirmasi hal itu, bahwa Nurdin Halid (NH) yang berpasangan dengan Aziz Kahar, dituding akan mencederai demokrasi karena statusnya sebagai mantan narapidana.
Dalam perspektif hukum pemilihan kepala daerah menyangkut syarat pencalonan kepala daerah, terdapat dua pertanyaan besar yang harus diterangkan kepada publik mengenai status NH sebagai mantan narapidana. Pertama, apakah NH dalam statusnya sebagai mantan narapidana memenuhi syarat sebagai calon Gubernur?; Kedua, jika NH mendaftar sebagai calon Gubernur, apakah juga menjadi wajib untuk mengumumkan dirinya sebagai mantan narapidana di depan publik?
Memenuhi Syarat
Perihal status mantan narapidana yang hendak mengajukan dirinya sebagai calon kepala daerah dengan berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan), UU a quo tidak dapat dipahami secara inklusif dengan apa yang tertulis dalam ketentuannya saja (literlijk interpretation). Akan tetapi harus ditelusuri pula makna dibalik ketentuan a quo yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
UU Pemilihan yang sudah mengalami perubahan dua kali dalam revisi yang terbatas, secara konsisten syarat calon kepala daerah ditegaskan dalam Pasal 7 huruf g. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, sebelum diuji materilkan di MK memang secara “absolut” tidak membolehkan calon kepala daerah berstatus mantan narapidana yang pernah diancam pidana lima tahun atau lebih. Dan setelah ketentuan tersebut diuji materiilkan di MK, akhirnya dinyatakan inkonstisional bersyarat dengan beberapa catatan yang ditegaskan oleh MK dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015.
Janggalnya kemudian, dalam perubahan kedua UU Pemilihan (UU Nomor 10 Tahun 2016). Alih-alih pembentuk UU hendak mengikuti Putusan MK, justru menetapkan norma baru bahwa bakal calon yang berstatus terpidana tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.
Untunglah, dalam uji materil kedua kalinya Pasal 7 huruf g UU Pemilihan di MK (Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016), ketentuan a quo dikembalikan dalam iherennya. Bakal calon yang berstatus mantan narapidana karena pernah diancam pidana lima tahun atau lebih tetap dapat mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sepanjang memenuhi syarat-syarat formil yang tersebut di dalam Putusan MK.
Spesifik pada kasus NH yang berniat maju pada Pilgub Sul-Sel 2018, jika ditelusuri status hukumnya, apakah pernah sebagai terpidana? Jawabannya, ya pernah. Bahkan dalam perkara yang ancaman pidananya di atas lima tahun, karena kasus yang menyeretnya ke bui selama dua tahun penjara, ialah perkara tindak pidana korupsi.
Kendatipun demikian, bahwa NH adalah mantan narapidana korupsi, dengan berdasarkan syarat calon kepala daerah yang termaktub dalam Putusan MK sebagai satu kesatuan dengan Pasal 7 huruf g UU Pemilihan, status tersebut tidaklah menjadi dasar yang dapat meniadakan haknya untuk dipiih dalam kontestasi elektoral Pilgub Sul-Sel 2018.
Syarat calon kepala daerah bersatus mantan narapidana secara utuh antara Putusan MK dan UU Pemiliihan, hanya membatasi mantan narapidana teorisme, makar, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual anak.
Dalam konteks status hukum NH, sama sekali tidak terkualifikasi sebagai mantan pelaku tindak pidana yang nyata-nyata tidak dapat diberikan hak politiknya dalam pemilihan kepala daerah.
Oleh karena itu, mempertanyakan memenuhi atau tidaknya NH dalam persyaratan calon kepala daerah berstatus mantan narapidana, dengan tegas dalam kacamata hukum saya, berani untuk mengatakan bahwa beliau memenuhi syarat sebagai Cagub Sul-Sel 2018. Dan kiranya KPUD, kelak kalau benar adanya beliau mendaftar sebagai calon Gubernur dalam PIlgub Sul-Sel 2018 nanti, KPUD tidak perlu mempermasalahkan lagi status hukum beliau sebagai mantan narapidana.
Tidak Perlu
Berrdasarkan Putusan MK, ada dua syarat yang berlaku secara alternatif bagi calon yang berstatus mantan narapidana sehingga memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah. Pertama, jika tidak mau mengumumkan dirinya sebagai mantan narapidana maka menjadi wajib bagi dirinya menunggu selama lima tahun sejak selesai menjalani masa hukumannya; Kedua, jika ia tidak mau menunggu masa lima tahun itu, sejak selesai menjalani masa hukumannya, cukup kepadanya sebagai mantan narapidana mengumumkan status dirinya kepada publik sebagai mantan narapidana.
Syarat calon kepala daerah yang berstatus mantan narapidana sebagaimana yang dinyatakan dalam Putusan MK atas uji materil dua kali Pasal 7 huruf g UU Pemilihan, dalam kasus NH tidak perlu mengumumkan status dirinya sebagai mantan narapidana korupsi.
Dasar argummentasinya, yaitu: NH telah menjalankan syarat pertama tersebut. Ia telah melewati masa jeda lima tahun, dari masa selesainya menjalani hukuman. Dalam perkara korupsi pengadaan minyak goreng, NH memang telah divonis inkra dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi dengan selesainya menjalani masa hukuman pada 17 Agustus 2006, maka dari rentan waktu tanggal, bulan dan tahun itulah, ia secara mutatis mutandis harus dianggap telah melewati jeda lima tahun pasca selesai menjalani hukuman, sehingga syarat kedua untuk mengumumkan status sebagai mantan narapidana, tidak berlaku bagi dirinya.
Hitung-hitung antara masa pendaftaran calon dalam Pilgub Sul-Sel 2018 mendatang, NH bukan hanya telah melewati masa jeda 5 tahun, tetapi kurang lebih ia telah melewati masa 11 tahun.
NH tidak perlu ragu untuk maju di Pilgub Sul-Sel 2018 nanti. Tidak perlu pula menyampaikan kepada seluruh masyarakat Sulawesi Selatan dan seluruh sahabat-sahabat NH: “Bahwa saya NH, pernah mendapatkan hukuman dari sebuah kebijakan.”
Cukup saja menyatakan, baik berdasarkan UU Pemilihan, UUD NRI 1945 untuk maju di Pilgub Sul-Sel 2018 saya memenuhi syarat sebagai calon Gubernur. Soal dipilih atau tidak, menang atau kalah, semuanya terpulang kepada rakyat pemilih untuk memberikan suaranya.*