Menjarah Tidak Selamanya Dipidana

Sumber Gambar: konsultasisyariah.com

SEMBAH sujud dengan segala hormat kepada Kanda Edy Abdullah yang menanggapi artikel saya yang berjudul “Menjarah (Tidak) Dipidana.” Dan mohon perkenaannya pula kepada Harian Tribun Timur untuk memberikan kesempatan hak jawab serta hak koreksi seluas-luasnya kepada saya, melakukan tanggapan balik demi terciptanya proporsionalitas di antara kedua pihak, di atas pertanggungjawaban keilmuan dan kesungguhan kita bersama mencari keadilan dan kebenaran.

Kalau tidak salah, ini adalah kali kedua Kanda Edy Abdullah menanggapi tulisan saya. Kendatipun di tulisan sebelumnya, tanggapan balik saya tak kunjung dimuat. Ini adalah diskusi keilmuan, diskusi dalam rangka mencari kebenaran, sehingga tak eloklah kalau saya melakukan reaksi dalam bentuk  argumentum ad hominem.

Oleh karena itu dalam tulisan ini, saya mempertegas tidak akan menanggapi hal-hal yang terkait dengan segala praduga  buruk yang terkait dengan pribadi: akan menyesatkan masyarakat, hanya mengandalkan Google, hanya memandang satu pasal atau ayat dalam undang-undang, tidak membaca lebih dalam makna yang terdapat dalam pasal.

Dengan  berusaha semaksimal mungkin mengerucutkan perbedaan pandangan Kanda Edy Abdullah dalam memahami tulisan saya, dan berpijak dari adagium: “Cogitationis Poenam Nemo Patitur,” terdapat dua pokok permasalahan hukum sebagai vonis yang serta-merta di artikel saya. Pertama, memandang kalau saya memiliki pendapat hukum, bahwa mereka yang melakukan penjarahan ketika terjadi bencana tidak dapat dipidana dengan pidana pencurian pemberatan berdasarkan Pasal 363 ayat 1 sub ke-2 KUHP (saya konsisten menggunakan sub, tidak menggunakan butir ke-2, tidak menggunakan huruf (a), (b), (c) dst). Kedua, memandang kalau saya mencampuradukkan antara teori keadaan darurat dengan pembelaan terpaksa.

Makna Pada Waktu

Pendirian saya yang tepat adalah penjarahan dapat dipidana berdasarkan Pasal 363 ayat 1 sub ke-2 KUHP. Namun pendirian tersebut, berangkat dari hasil perenungan yang mendalam tidak dengan omnipresent in the sky. Sangat jelas, saya menuangkan bahwa dengan terdapatnya frasa “pada waktu” dalam pasal a quo, sebaiknya jangan dipahami secara literlijk, sebab hal itu akan menyebabkan kasus pelaku penjarahan di Sul-Teng hanya akan dikenakan pidana sebagai jenis pencurian biasa berdasarkan Pasal 362 KUHP.

Mari kita menelaah kepentingan hukum yang hendak dilindungi dengan hadirnya pasal tersebut. Yaitu pelaku dianggap rendah budinya, karena pada waktu semua orang mengalami musibah yang sama, sipelaku menggunakan kesempatan itu untuk melakukan kejahatan (Lihat: penjelasan KUHP oleh Sugandi). Ada penjelasan yang lebih konkret lagi, bahwa frasa “pada waktu” dalam pasal a quo berlaku juga untuk keadaan sesaat atau setelah terjadi bencana sebagaimana dikemukakan oleh R. Sianturi (1983: 602): “ketika ada banjir, gempa, gunung meletus harus yang mempengaruhi kejiwaan rakyat di sekitar itu.”

Apa maksud lebih lanjut dari kalimat “mempengaruhi kejiwaan rakyat”? Nalar hukum kita pasti berjalan dan menukik pada preposisi ratio legis, bahwa kalau keadaan-keadaan seperti: gempa, banjir, gunung meletus berpengaruh terhadap kejiwaan rakyat, baik pada waktu, maupun setelah kejadian. Keliru dan tidak cermat kanda Edy Abdullah melakukan “penafsiran logis” dan penafsiran ekstensif pada frasa “bencana alam,” (meskipun dalam terjemahan KUHP oleh Sianturi yang saya baca tidak terdapat frasa bencana alam), sebab saya tidak berada dalam konteks penalaran hukum di unsur tersebut. Orang awampun gampang memahaminya bahwa yang namanya gempa bumi, tsunami atau likuefaksi adalah bentuk-bentuk bencana alam. Sangat berbeda dengan frasa “pada waktu” dalam pasal a quo, orang awam, bahkan dengan menggunakan KBBI, seseorang akan memahaminya bahwa yang dimaksud pada waktu: “hanya pada saat itu, hanya pada saat terjadi gempa, hanya pada saat terjadi likuifaksi, hanya pada saat terjadi tsunami.” Tidak berlaku pasca kejadian.

Saya bukan dalam kerangka memahami pasal a quo, dalam spectrum empirikal. Kenyataan atau fakta-fakta kemudian mengujinya melalui undang-undang, namun sebaliknya. Kendatipun terjadi gempa berkali-kali di Kota Palu, baik ada jeda yang mengantarai maupun sudah dinyatakan aman (tidak ada gempa lagi), harus dimaknai pasal a quo berlaku untuk seluruhnya, sepanjang kejiwaan penduduk di tempat itu masih dalam keadaan terguncang, gelisah, dan takut.

Hukum pidana baik in abstracto maupun in concreto pada dasarnya terikat dengan asas legalitas. Nullum crimen, noela poena sine lege certa yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Dalam konteks itu, entah bisikan dari mana Kanda Edy Abdullah mempersamakan antara pengertian “pada waktu” dalam hal tertangkap tangan dengan pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 sub ke-2 KUHP), padahal dua ketentuan tersebut sangat berbeda bunyi klausulanya. Pasal 1 butir ke-19 KUHAP jelas-jelas menegaskan pengertian tertangkap tangan, bukan pengertian “pada waktu.”

Selain itu, dalam Pasal 1 butir ke-19 KUHAP secara jelas menyebutkan bahwa “…tertangkap tangan adalah pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya….” Sedangkan dalam Pasal 363 sub ke-2 KUHP hanya menyebutkan “…pada waktu ada kebakaran, …banjir, gempa bumi, gempa laut….,” tidak ada kalimat selanjutnya “…sesudah… atau sesaat kemudian.

Sederhana saya memahami Pasal 363 sub ke-2 KUHP, bukan dengan penafsiran sistematis yang tiada berdasar, tetapi berdasarkan tafsir teleologis (bukan penafsiran logis), yaitu dengan tujuan apa ketentuan tersebut dihadirkan, kepentingan hukum apa yang hendak dilindungi, itupun saya tidak mengandalkan Google, namun berdasarkan doktrin dari ahli hukum pidana yang banyak dijadikan literatur karya-karyanya baik di perguruan tinggi maupun di institusi penegak hukum.

Tidak Selamanya Dipidana

Intisari tulisan saya sebelumnya, adalah tidak selamanya menjarah itu dapat dipidana, makanya judulnya diantarai tanda kurung “(Tidak) Dapat Dipidana: bisa dipidana, bisa juga tidak dipidana.” Kapan perbuatan menjarah itu tidak dapat dipidana karena terkualifikasi sebagai keadaan darurat? Adalah kalau pelakunya sudah kelaparan dengan syarat tidak ada pilihan lain lagi, selain mengambil makanan milik orang lain, sekadar untuk menghilangkan rasa laparnya pada waktu itu juga.

Saya tidak mau memukul rata, bahwa semua pelaku penjarahan dapat dipidana dengan delik pencurian berkualifikasi berat (Pasal 363 ayat 1 sub ke-2 KUHP). Alangkah keji dan kejamnya hukum pidana, jika terdapat seorang yang menjarah pada waktu itu hanya sepotong roti di sebuah supermarket, sekadar menghilangkan rasa laparnya, kemudian kita mau menghukumnya juga dengan penjara tujuh tahun, padahal ia melakukannya itu dalam keadaan darurat untuk mempertahankan kepentingan nyawanya.

Sama sekali saya tidak mencampuradukkan antara teori keadaan darurat dengan pembelaan terpaksa. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya tidak pernah menyinggung mengenai pembelaan terpaksa. Namun dengan berusaha memahami kesalahan yang Kanda Edy Abdullah berusaha dicari-cari tanpa berlandaskan kecermatan dan kehati-hatian dalam tulisan saya, yaitu karena terdapatnya asas proporsionalitas dan asas subsidiriatas sebagaimana dalam beberapa literatur hukum pidana menggunakan asas tersebut, hanya untuk teori pembelaan terpaksa.

Dasar argumentasi saya berbeda dengan pendapat para ahli hukum pidana, yaitu Pertama, berangkat dalam sebuah dalil Al-Qur’an: ”Siapa dalam keadaan darurat sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al-Baqarah [2] : 173). Maksud tidak menginginkan adalah tidak ada pilihan lain lagi bagi pelaku, sehingga kepadanya tidak ada niat jahat yang melingkupi batinnya. Maksud tidak melampaui batas, adalah harus seimbang atau sesuai dengan apa yang dibutuhkan saja pada waktu itu. Kedua, kalau kita tidak menggunakan asas tersebut, dengan dasar atau kaidah hukum apa kita bisa mengukur mereka yang menjarah hanya untuk mempertahankan hidupnya, sebagai alasan pembenar hapusnya sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, kalau bukan asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas. Berbanding lurus dengan itu, dengan dasar apa pula kita mau menghukum mereka yang menjarah barang-barang elektronik, kalau yang demikian tidak termasuk alasan pembenar karena keadaan darurat, bukan karena kepentingannya untuk mempertahankan hidupnya dari rasa lapar.

Penutup

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin mempertegas beberapa hal, diantaranya: Pertama, sebagaimana dikemukakan oleh Prof Eddy O.S. Hiariej (2014:223): “dalam KUHP tidak ada aturan mengenai apa yang dimaksud keadaan darurat. Berdasarkan sejarah pembentukan KUHP dan notulen De-Wall, situasi keadaan darurat digolongkan dalam overmacht atau daya paksa sehingga pengaturan keadaan darurat tersendiri dianggap tidak perlu. Demikian juga dalam konteks teori yang memasukkan keadaan darurat sebagai bagian dari daya paksa. Itulah pula sebabnya, dalam tulisan saya sebelumnya, saya menuliskan bahwa keadaan darurat merupakan turunan dari teori daya paksa.”

Kedua, keliru besar Kanda Edy Abdullah dengan menyebutkan tiga syarat keadaan darurat, yaitu: PERTENTANGAN ANTARA DUA KEWAJIBAN HUKUM, pertentangan antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum, dan PERTENTANGAN ANTARA DUA KEWAJIBAN HUKUM. Dua kali Kanda Edy Abdullah menyebutkan syarat pertentangan antara dua kewajiban hukum (saya berprasangka baik kepadanya, mungkin beliau hanya salah tulis), sebab yang benar untuk kategori pertama yaitu PERTENTANGAN ANTARA DUA KEPENTINGAN HUKUM. Sebenarnya, dalam tulisan saya sebelumnya, saya sudah menyebutkan tiga syarat kemungkinan itu beserta dengan contoh kasusnya, hanya karena kebijakan redaksi, sehingga bagian tersebut tidak termuat.

Ketiga, teori tentang perbuatan jasmani, teori alat dan teori akibat yang dikutip oleh Kanda Edy Abdullah dengan maksud untuk menyangga kalimat dalam tulisan saya mengenai “tempus delicti,” adalah tidak tepat sasaran. Hal tersebut disebabkan, ketiga teori itu hanya berlaku untuk locus delicti, tempat terjadinya tindak pidana, bukan waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti). Ketiga teori tersebut berkenaan dengan: (1) Apakah hukum pidana Indonesia berlaku ataukah tidak terhadap suatu perbuatan pidana yang telah terjadi; (2) Untuk menentukan pengadilan manakah yang berwenang mengadili suatu perkara pidana (Eddy O.S Hiariej, 2018: 250-251).

Hal yang berbeda dengan tempus delicti, bertujuan untuk: (1) Menentukan suatu perbuatan terkualifikasi sebagai perbuatan pidana pada saat perbuatan itu terjadi (asas legalitas); (2) Menentukan kemampuan pelaku dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, saat perbuatan itu dilakukan; (3) Menentukan pelaku telah cukup umur pada saat perbuatan itu dilakukan; (4) Menentukan batas lampau waktu atau verjaring dari tindak pidana itu. Empat arti penting dari tempus delicti tersebut, kalau kita berbicara tentang waktu terjadinya tindak pidana, saya menambahkannya bahwa dalam hal tertentu atau dalam perkara tertentu berpengaruh pula untuk menentukan berat ringannya pertanggungjawaban pidana pelaku, seperti Pasal 363 ayat 1 sub ke-2 dan sub ke-3 KUHP.*

You may also like...