Impeachment, Mungkinkah ?

Impeachment atau yang lebih dikenal dengan istilah pemakzulan, adalah jalan atau jalur politik (bukan jalur hukum) untuk memberhentikan presiden dari masa jabatannya. Tetapi jalan untuk memberhentikan Presiden itu harus konstitusional. Tidak bisa dengan jalan kudeta atau dengan revolusi dalam rangka membubarkan pejabat di dalam jabatan tersebut. Tidak bisa dengan cara-cara inkonstitusional.

Berbicara tentang pemakzulan presiden sangat susah dilakukan jika bersandar pada konstitusi kita (UUD NRI Tahun 1945). Oleh karena harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 1945. Yakni Presiden harus terbukti melakukan perbuatan tercela/ melanggar hukum, berupa Korupsi, penyuapan, pengkhianatan negara dan tindakan berat lainnya (vide: Pasal 7 A UUD 1945). Dan ini pun harus melalui proses interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, untuk menguji apakah Presiden/ Kepala negara telah terbukti mengeluarkan kebijakan yang berdampak strategis dan meluas. Hingga dinilai memenuhi kriteria alasan dilakukannya pemakzulan.

Jika kita melihat terhadap beberapa kasus yang sudah berjalan, seperti hak interpleasi yang pernah diajukan oleh DPR dalam kasus impor gula, dan paling mencolok adalah kasus Century. Masih sangat berat, amat susah untuk melakukan pemakzulan itu. Meskipun pada intinya sudah disepakati oleh DPR, bahwa Presiden melalui menteri-menterinya telah melakukan atau mengeluarkan kebijakan yang berdampak strategis dan meluas itu. Hingga kepala negara misalnya melakukan korupsi, penyuapan dan penghianatan terhadap negara.

Alasan kemudian sehingga penulis mengatakan masih berat untuk melakukan pemakzulan di indonesia. Di samping koalisi pemerintahan saat ini yang kebesaran/ kedodoran, maka sangat musthil bagi anggota legislatif yang berada dalam gabungan setgab koalisi untuk sepakat, kelak mengajukan hasil keputusan itu ke MK. Dan lagi-lagi keputusan MK pun harus diuji atau disepakati lagi 2/3 dari ¾ jumlah anggota rapat paripurna MPR yang hadir.

Memang dalam kenyataannya oleh beberapa Pakar hukum tata negara, Saldi Isra mengatakan bahwa kemungkinan ada jalan mudah saat ini untuk melakukan impeachment terhadap presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pembatalan syarat hak menyatakan pendapat  DPR yang harus di hadiri 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR (vide Pasal 184 ayat 4 UU No. 27 Tahun 2009). Dimana sebelumnya harus dihadiri 3/4 dari jumlah anggota DPR (420 anggota dewan) kini kembali ke UUD  1945 menjadi 2/3 dari jumlah anggota DPR (373 anggota dewan)

Tetapi karena sistem Presidensialisme saat ini, yang diintegrasikan dengan Multipartai, juga menjadi alasan beratnya melakukan pemakzulan terhadap kepala negara, meskipun sudah deal berdasarkan hak menyatakan pendapat DPR untuk melakukan penilaian bahwa Presiden memenuhi syarat untuk dimakzulkan.

Hemat penulis pemakzulan terhadap presiden hanya dijadikan sebagai ancaman oleh DPR, gertak sambel semata. Bisa dilihat ketika ada event-event politik seperti pembentukan kabinet atau reshuffle cabinet, partai-partai politik akan melakukan intervensi. Dan tentunya ini akan dijadikan tawar menawar (bargaining position)  mencabut ancaman legislatif untuk alasan pemakzulan.

Karakter Presiden yang akomodatif dan ingin menyenangkan semua pihak juga sangat berpengaruh dalam hal ini. Sistem Presidensial kita tereduksi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis penguasa dan elite politik. Sebagaimana Hanta  Yuda pernah mengemukakan bahwa partai-partai politik mitrakoalisi juga akan menggunakan wewenangnya sebagai alat untuk bernegosiasi dengan presiden. Konklusinya, hak angket dan interpelasi hanya menjadi alat untuk bernegosiasi antara legislatif dengan Presiden.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...