Urgensi Pengawasan Pemerintah Terhadap Kelestarian Tumbuhan dan Satwa Liar

Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan ditandai dengan maraknya gerakan-gerakan dan kegiatan kampanye lingkungan di berbagai belahan bumi, merupakan respon akibat merosotnya kualitas lingkungan. Pembangunan yang sangat pesat  memberikan kontribusi besar dalam terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.

Pada dasarnya alam mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang, olehnya itu, perlindungan dan pengawetan alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu.

Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.(Anonime).

Di Indonesia sendiri, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) telah diatur dalam pasal 33 ayat (3), yaitu :” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran berarti harus dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga ditekankan bahwa pembangunan ekonomi nasional harus selaras dengan masalah sosial dan lingkungan. Hal ini tertuang dalam pasal 33 ayat(4) yaitu : “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Di Dunia, Indonesia menempati urutan ke dua setelah Brasil, mengenai kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan, hewan dan mikrobanya. Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara yang mempunyai “Mega Diversity” jenis hayati serta merupakan “Mega Center” keanekaragaman hayati dunia (www.ProFauna.com,2008)

Komitmen Indonesia sebagai salah satu negara mega-biodiversity untuk melestarikan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang ada secara berkelanjutan dengan merativikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)   melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978, yang selanjutnya membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES. (Anonime)

Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia nomer satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat dari sekitar 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia hidup di Indonesia (www.ProFauna.com,2008).

Namun kebijakan pembangunan sampai saat ini masih berpihak pada kepentingan ekonomi yang sering mengabaikan kepentingan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Ini di buktikan dengan survey yang dilakukan oleh Sugeng Suryadi Syndicat tahun 2006 yang mengatakan bahwa kepala daerah kurang peduli terhadap lingkungan hidup. Menurutnya sekitar 47% kepala daerah kurang peduli dengan lingkungan hidup, 9% tidak peduli, cukup peduli 37% dan sangat peduli hanya berkisar 6,4% (Darmansyah,2007).

 Angka ini menunjukan pengelolaan lingkungan hidup belum menjadi prioritas dalam pembangunan daerah. Sehingga tak berlebihan anggapan Dirjen Bina Pembangunan Daerah bahwa pengelolaan lingkungan hidup dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat bersifat diametral. Apalagi di era otonomi daerah sekarang, sejak digulirkan tahun 1999, daerah otonomi mulai mengatur dirinya sendiri. Tentu dapat diperkirakan bagaimana intensifnya pembangunan di daerah pada tahap awal penerapan otonomi daerah. Jelas pemerintah daerah hanya bertumpu pada peningkatan kemampuan ekonomi dengan menggenjot secara luar biasa sumber-sumber ekonomi yang berkisar pada eksploitasi sumber daya alam (kayu dan migas) yang tentu saja menimbulkan konsekuensi ketimpangan pengelolaan aspek lainnya seperti kerusakan lingkungan hidup (Darmansyah,2007).

Meskipun kaya, Indonesia dikenal juga sebagai negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini jumlah jenis satwa liar Indonesia yang terancam punah adalah 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 91 jenis ikan dan 28 jenis invertebrata. Satwa-satwa tersebut benar-benar akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk menyelamatkanya. (www.ProFauna.com,2008). 

Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap kawasan konservasi merupakan salah satu dari berbagai penyebab mudahnya para pelaku penangkapan dan penjualan satwa langka yang dilindungi melakukan aksinya. Bukan hanya maraknya penangkapan dan penjualan, keberadaan satwa juga terancam akibat banyaknya areal hutan, terutama di sekitar daerah konservasi telah terdegradasi akibat tereksploitasi habis-habisan.

Sejak krisis ekonomi tahun 1997, perdagangan satwa ilegal, terutama satwa dilindungi, memiliki kecenderungan meningkat. Berdasarkan investigasi WWF Indonesia minimal 50 ekor harimau Sumatera terbunuh di Sumatera pada tahun 2000-2002 karena maraknya perdagangan ilegal satwa langka ini. Makin maraknya penyelundupan dan perdagangan satwa serta tumbuhan langka di Indonesia, karena penerapan hukum yang tidak jelas. Koordinasi Perdagangan Ilegal hidupan liar, terutama perdagangan satwa dilindungi dan satwa langka masih berlangsung hingga saat ini. Hal ini tentu saja merupakan ancaman kepunahan yang sangat serius terhadap berbagai spesies langka di Indonesia. Tingginya keuntungan yang dapat diperoleh dan kecilnya risiko hukum yang harus dihadapi oleh pelaku perdagangan ilegal tersebut membuat perdagangan ilegal hidupan liar menjadi daya tarik besar bagi para pelaku untuk melakukan tindak kejahatan tersebut (Iah,2003).

Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya. Dalam beberapa kasus perdagangan ilegal hidupan liar justru dilakukan oleh eksportir yang memiliki ijin resmi. Salah satu penyebab utama masih terus berlangsungnya perdagangan ilegal hidupan liar adalah karena masih lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan hidupan liar tersebut. Belum optimalnya koordinasi antara aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya dalam menangani perdagangan ilegal hidupan liar juga menjadi kendala optimalisasi penegakan hukum yang dilakukan. Di sisi lain, pengetahuan perundang-undangan khususnya yang terkait dengan perlindungan hidupan liar masih belum tersosialisasi dengan baik pada aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya (WWF-Indonesia,2006).

Salah satu kendala untuk melakukan pengawasan secara optimal peredaran tumbuhan dan satwa liar adalah terbatasnya informasi tentang jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Olehnya itu pelatihan penegakan hukum kejahatan hidupan liar dengan melibatkan aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya, termasuk lembaga swadaya masyarakat merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan untuk menghentikan perdagangan ilegal hidupan liar (WWF-Indonesia,2006).

Permasalahan seperti diuraikan di atas menunjukkan gejala bahwa ekosistem di dalamnya seperti jenis tumbuhan dan satwa terancam kelestariannya, akibat kurangnya pengawasan pemerintah, karena kerusakan habitatnya jelas mempengaruhi kelangsungan hidup dari ekosistem tersebut. Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah, maka kinerja pengawasan aparat pemerintah dan peran serta masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi.

 

Ahmad Amrullah Sudiarto, S.H.

Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Bagian HukumTata Negara

You may also like...