Meluruskan Tafsir Hukum Penyidik Independen KPK

Lagi-lagi KPK dinyatakan kalah di depan praperadilan, setelah Hadi Poernomo (HP) dibatalkan penetapan tersangkanya oleh hakim Haswandi yang juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kekalahan ini merupakan kekalahan telak lembaga anti rasyuah yang ketiga kalinya, setelah Budi Gunawan dan IAS (Ilham Arief Sirajuddin) dinyatakan penetapan tersangkanya tidak sah.

Hanya saja yang menjadi permasalahan dari putusan a quo ternyata menimbulkan “gelisah” khususnya pimpinan KPK dan tak terkecuali pada umumnya menimbulkan “kecurigaan” dari publik, kalau putusan dari hakim yang pernah mengadili perkara Anas Urbaningrum itu, akan membuat KPK semakin porak-poranda ke depannya.

Bagaimana tidak? Oleh karena masih banyak tersimpan perkara saat ini belum dlimpahkan ke pengadilan, ternyata sebagiannya melibatkan Penyelidik dan Penyidik yang “diangkat” sendiri oleh KPK bisa-bisa illegal, tat kala mengacu pada putusan praperadilan yang membatalkan status tersangka HP.

Racio decidendi hakim Haswandi dalam putusannya menganggap tindakan “penyelidikan KPK” yang dilakukan Dadi Mulyadi dan “penyidikan” yang dilakukan Ambarita Damanik “tidak sah”. Bahwa Penyelidik Dadi tidak menyandang status “Penyelidik Pegawai Negeri Sipil” di instansi asalnya di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tetapi hanya sebagai auditor. Demikian pula penyidik KPK Ambarita, dengan diberhentikannya secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014, maka status penyidik dalam dirinya juga telah hilang sejak ia diberhentikan. Artinya, penyidikan KPK atas HP juga tidak sah karena Penyelidik dan Penyidiknya memang tidak sah.

Sumber Gambar: liputan6.com

Sumber Gambar: liputan6.com

Status Penyelidik/Penyidik

Pada sesungguhnya jika diamati secara cermat dalam Pasal 43 maupun Pasal 45 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, putusan praperadilan yang memenangkan HP mengandung kebenaran bersesuaian dengan UU KPK itu sendiri, terkait dengan status Penyelidik KPK dan status Penyidik KPK yang harus berasal dari Polri atau PPNS.

Agar lebih jelas saya kutip ketentuan tersebut. Pasal 43 UU KPK “Penyelidik KPK adalah Penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Lalu Pasal 45 UU KPK menegaskan “Penyidik adalah Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.”

Harus dipahami untuk meluruskan kesimpangsiuran tafsir yang terjadi oleh sejumlah pengamat saat ini, cara memaknai Pasal 43 dan Pasal 45 tersebut bukan pada frasa “diangkat dan diberhentikan” tetapi frasa “Penyelidik/Penyidik” pada KPK… yang harus ditafsirkan lebih awal. Sehingga tertafsir hanyalah pejabat yang menyandang status Penyelidik/ Penyidik… dapat diangkat dan diberhentikan oleh KPK.

Selain itu dengan melihat ketentuan lain dalam UU KPK juga terdapat racio logis yang menguatkan kalau Penyelidik dan Penyidik KPK harus dari Polri atau PPNS, dengan terdapatnya frasa  “mereka yang akan diangkat sebagai Penyelidik/Penyidik KPK diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian… (Vide: Pasal 39 ayat 3 UU KPK). Mustahil kiranya terdapat klausula “pemberhentian sementara” kalau KPK dapat mengangkat Penyelidik/ Penyidik independen.

Itupun memang dalam UU KPK tidak terdapat ketentuan syarat dan tata cara pengangkatan Penyelidik/Penyidik KPK, sehingga rujukan tentang syarat dan tata cara pengangkatan jabatan demikian harus berdasarkan pada Perundang-Undangan di luar UU KPK. Alhasil, tafsir sistematis Penyelidik/ Penyidik KPK harus menunjuk pada Pasal  4 dan Pasal 6 KUHAP.

Terkait dengan  adanya sejumlah pendapat yang menyatakan kalau pada dasarnya KPK dapat mengangkat Penyidik independen berdasarkan Pasal 38 ayat 2, dalam hemat saya “tidak sependapat dengan argumentasi tersebut.” Sebab Pasal 38 hanya merupakan pengecualian atas Pasal 7 ayat 2 KUHAP dalam relasinya dengan “wewenang” Penyidik Tindak Pidana Korupsi untuk tidak berkoordinasi dan mendapat pengawasan dari Penyidik Polri. Satu pun dalam klausulanya, tidak ada frasa yang bisa termaknai “status Penyidik independen”, kiranya bukan dari unsur Polri atau PPNS yang bisa diangkat oleh KPK. Sehingga dalil Pasal 38 sebagai basis “Penyidik independen” sudah pasti tertolak dengan sendirinya.

Tafsir Hukum

Satu-satunya jalan sesuai dengan racio logis dalam penalaran yuridis yang dibenarkan, sehingga KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik independen. Yaitu, dengan kembali pada konsideran UU KPK itu sendiri. Sembari mengikutsertakan corak tafsir hukum teleologis dan futuristik.

Tafsir teleologis maupun futuristik sejalan dengan konsideran dalam beberapa poinnya: (a)…Pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara.”(b) Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi; (c)…Perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Maka berdasarkan tiga konsideran tersebut, terdapat “kesepahaman” hadirnya lembaga KPK adalah lembaga independen yang dituntut untuk  bekerja secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Ada terbersit harapan agar KPK menangani perkara tindak pidana korupsi secara efektif, sebab lembaga yang ada pada saat itu (Kepolisian dan Kejaksaan) “terkesan” tidak efektif menangani perkara tindak pidana korupsi.

Dalam konteks demikian, secara teleologis (tujuan) tersingkap sebuah makna “KPK dibentuk karena ada ketidakpercayaan terhadap Kepolisian dan Kejaksaan.” Sehingga alur (tafsir) futuristiknya (ke depannya) KPK harus bersifat independen. Termasuk, dalam perekrutan Penyelidik dan Penyidik KPK sebenarnya tidak boleh dari unsur Kepolisian (Polri), sebab institusi Kepolisian dari awal tidak dapat efektif menangani perkara tindak pidana korupsi. Belum lagi, gugurnya “independensi” KPK tat kala akan melakukan penyidikan dugaan Perkara korupsi di institusi Kepolisian jika Penyidiknya dari Kepolisan.

Lantas, kalau demikian, lagi-lagi akan mengemuka sebuah pertanyaan: Kenapa KPK merekrut Penyelidik dan Penyidik dari Polri pada hal lembaga ini tidak bisa efektif dalam penanganan tindak pidana korupsi? Jawabannya, tak ada alasan selain KPK yang sudah harus cepat bekerja pada waktu itu, agar dapat menjalankan fungsi-fungsinya, akhirnya penyelidik/penyidik Polri diperbantukanlah ke KPK.

Perppu

Tentunya dalam jangka penjang mau tidak mau manakala Penyelidik dan Penyidik KPK yang bersifat independen agar memiliki legalitas, sehingga tidak ada lagi Penyelidik/ Penyidik illegal, UU KPK harus direvisi dengan mengintegrasikan ketentuan “sahnya Penyelidik/Penyidik independen yang dapat diangkat oleh KPK.” Dalam revisi tersebut harus memuat syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Penyelidik/Penyidik independen yang akan menjalankan fungsinya masing-masing di KPK.

Pastinya, dibalik solusi alternatif tersebut akan muncul pertanyaaan lainnya; Kenapa Penyelidik/Penyidik KPK tidak diatur dalam Peraturan KPK saja. Jawabannya, tidak mungkin, sebab tidak ada “delegasi” Perundang-Undangan (UU KPK) yang berbunyi demikian; “selanjutnya penyelidik/penyidik KPK akan diatur melalui Peraturan KPK.”

Oleh karena itu, metode memberi legalitas Penyelidik/Penyidik independen memang hanya dengan revisi UU KPK saja. Cuma masalahnya, “legalitas” itu dibutuhkan sekarang, dan hanyalah Perppu bisa mewadahinya.

Penerbitan Perppu selalu terkait dengan alasan yang “genting” dan memaksa. Dalam hemat Penulis hal demikian memungkinkan dengan  bersandar pada beberapa alasan. Pertama, KPK bekerja dalam fungsi penindakan korupsi sebagai “penyelamat” kerugian keuangan negara guna mencegah hambatan pembangunan nasional. Kedua, dengan tuntutan pekerjaan KPK, dalam kondisi faktualnya terdapat 371 perkara korupsi yang penyelidik dan penyidiknya diangkat sendiri oleh KPK, maka perkara tersebut bisa menimbulkan “ketidakpastian” hukum kalau Penyelidik/Penyidiknya dipermasalahkan.

Landasan konstitusional sehingga Perppu perlu dihadirkan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden dapat menerbitkan Perppu” a quo dengan syarat-syarat dalam putusan MK Nomor:  138/ PU-VII/ 2009. Ada kebutuhan hukum mendesak, sebab kondisi faktualnya Penyelidik/Penyidik KPK telah menjalankan fungsinya masing-masing dalam menyelesaikan perkara korupsi sesuai dengan SOP KPK dan peraturan yang berlaku, hanya saja karena status pejabat bersangkutan tidak sah sehingga segala tindakan dan dokumen perkaranya juga menjadi tidak sah. Demikian pula terdapat “kekosongan hukum” yang meniscayakan secara asali KPK membutuhkan Penyelidik/Penyidik independen tetapi “legalitasnya” dalam UU KPK tidak diatur.

Terakhir, dalam hal penerbitan Perppu harus ada “ketidakpastian hukum” juga menjadi prasyarat, pada dasarnya memenuhi untuk “Perppu Penyelidik/Penyidik KPK”, sebab ketidakabsahan Penyelidik/Penyidik KPK akan menimbulkan ketidakpastian dalam forum Praperadlan yang menguji sah/tidaknya penetapan tersangka. Perppu harus menutup celah terjadinya “inkonsistensi” putusan praperadilan karena efek Penyelidik/Penyidik independen KPK yang tidak sah.

Sudah saatnya Presiden Jokowi membuktikan janjinya akan memperkuat KPK dengan jalan penerbitan “Perppu Penyelidik dan Penyidik KPK”.  Kalau komisionernya saja bisa dikuatkan dengan Perppu, tidak ada alasan lain Penyelidik dan Penyidik independen juga harus dikuatkan. Sebab apalah arti Komisioner KPK kalau “Penyelidik/Penyidik independen” yang bekerja secara totalitas, tetapi berada dalam ancaman “kelumpuhan” di Praperadilan nantinya.

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...