Mendiskualifikasi Mantan Terpidana di MK

Sumber Gmbar: nyiurpost.com
Dari 132 perkara yang teregister di Mahkamah Konstitusi (MK), 100 perkara yang berakhir melalui putusan dismissal, dan selebihnya masih ada 32 perkara yang saat ini sudah melalui proses pembuktian. Untuk seluruh permohonan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah wilayah sulawesi selatan, satupun tidak ada yang lanjut dalam pokok perkara, bahkan untuk PHPKada Kabupaten Bulukumba sebelum pembacaan jawaban oleh Termohon KPU dan pembacaan keterangan oleh Pihak Terkait, melalui kuasanya menyatakan mencabut permohonannya.
Sisa 32 PHPKada yang berlanjut dengan agenda pembuktian (pemeriksaan saksi dan/atau ahli secara daring) serta penyerahan dan pengesahan alat-alat bukti tambahan di persidangan. Perkara PHP Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel Nomor 132/PHP.Bup-XII/2021 dapat dikatakan tergolong unik.
Dikatakan unik, karena selain sukses menerobos ambang batas sengketa (Pasal 158 ayat 2 UU Pemilihan), hasil akhirnya nanti akan menjadi preseden guna mengakhiri “beda tafsir” antara KPU dengan Bawaslu tentang limitasi jeda 5 tahun calon kepala daerah mantan terpidana. Apakah dimulai dari hari diberikannya pembebasan bersyarat ataukah dimulai dari hari berakhirnya terpidana menjalani pembebasan bersyarat?
Bebas Bersyarat
Dalam penelusuran penulis, syarat limitatif calon kepala daerah mantan narapidana sudah lima kali mengalami uji materil di hadapan MK. Dua kali dengan uji materil UU No. 32/2004 tentang Pemda, dan tiga kali dengan uji materil UU Nomor 1/2015 tentang Pemilihan (perubahan terakhirnya UU No. 6/2020).
Dengan melalui pengujian materil Putusan MK Nomor: 56/PUU-XVII/2019, nyatanya masih menimbulkan persoalan tentang cara menghitung jeda lima tahun bagi mantan terpidana yang hendak mendaftar sebagai calon kepala daerah. Dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 kemarin, semua bakal calon kepala daerah berstatus mantan terpidana yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat oleh KPU Provinsi/Kabupaten karena belum melewati jeda 5 tahun, teranulir melalui putusan Bawaslu Provinsi/Kabupaten. Empat kasus diantaranya terjadi dalam Pilgub Bengkulu, Pilbup Dompu, Pilbup Lampung Selatan, dan Pilbup Boven Digoel.
Menelaah kapan sepatutnya mulai dihitung jeda 5 tahun untuk mantan terpidana memenuhi syarat calon kepala daerah dengan berdasarkan pada putusan MK. Penalaran hukumnya harus dilaksanakan secara hati-hati, setidak-tidaknya tafsir tersebut harus berujung pada “keadilan” untuk semua. Saya ingin mempertegas, bahwa sebagai penganut hukum positifistik berbasis natural law, sekalipun teks sebuah norma terang-benderang, sudah cukup terpahami melalui tafsir gramatikal, tak ada yang mengalahkan tafsir yang outputnya diarahkan pada tujuan hukum tertinggi yang bernama “keadilan.”
KPU RI memaknai calon kepala daerah mantan terpidana dalam dua sisi: Pertama, berdasarkan penjelasan dalam Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Pemilihan, karena terpidana yang bebas bersyarat masih ada hubungan teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, maka tidak dapat dikualifikasi sebagai mantan terpidana. Kedua, UU Pemilihan yang menggunakan termin “mantan terpidana” secara normatif, seorang yang menjalani masa bebas bersyarat tetap pula termaknai sebagai Terpidana, ada terpidana sebagai narapidana, ada pula terpidana sebagai klien pemasyarakatan dalam menjalani pembebasan bersyarat.
Kedua pandangan KPU RI tersebut “dibantah” oleh Bawaslu RI, bahwa penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf g, sudah tidak berlaku lagi karena sudah mengalami perubahan melalui putusan pengujian UU di MK. Masih menurut Bawslu, bahwa dalam putusan MK, jelas-jelas tertulis syarat khususnya yaitu “telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Penekanannya ada pada frasa “penjara,” yaitu seseorang yang sudah mulai menjalani masa pembebasan bersyarat tidak lagi dalam keadaan menjalani masa penjara, karena sudah dikeluarkan dari penjara, atau dengan kata lain berdasarkan pendefenisian UU Pemasyarakat tentang narapidana, adalah tidak lagi hilang kemerdekaannya di Lapas.
Diskualifikasi
Dengan paradigma postifistik berbasis natural law, saya berbeda pendapat dengan Bawaslu RI, Dirjen Pemasyarakatan, dan ahli hukum pidana Dr. Chairul Huda yang kemarin dihadirkan oleh MK masing-masing sebagai pihak pemberi keterangan. Sekalipun dalam UU Pemilihan a quo, tertulis “…selesai menjalani pidana penjara….” Teks “penjara” dalam pasal tersebut haruslah dimaknai selesai menjalani masa pembinaan atau pemenjaraan di Lapas, selesai pula menjalani masa pembimbingan atau pembebasan bersyarat.
Frasa penjara dalam UU Pemilihan tidak dapat dengan serta merta dibaca seperti dengan apa yang dituliskannya, berikut dengan arti gramatikalnya, juga dengan pendefenisian yang hendak disimpulkan berdasarkan ketentuan umum UU Pemasyarakatan tentang makna narapidana.
Mengapa demikian? Histrorikalnya “penjara” dengan termin “pemasyarakatan” berada dalam satu tarikan dimensi. Ekstrimnya, dapat dikatakan bahwa penggunaan istilah pemasyarakatan tidak lain sebagai “penghalusan kata-kata” dengan pengarusutamaan “hak-hak asasi” terpidana yang menjalani hukuman penjara.
Penggunaan nomenklatur pemasyarakatan sebagaimana dahulu diperjuangkan oleh Sahardjo, dilatari oleh paradigma untuk orang yang menjalani hukuman “penjara” selain harus dirampas kemerdekaannya juga harus direhabilitasi kepribadiannya, makanya selain menghuni lapas, secara perlahan direintegarsikan ke masyarakat melalui proses asimilasi. Termasuk dalam hal ini hak untuk mendapatkan “pembebasan bersyarat” juga bagian dari konsep reintegrasi bagi seorang yang menjalani hukuman penjara.
Bangunan argumentasi ini tidak dapat dilepaskan dari sejak pertama kalinya MK membuka peluang bagi mantan terpidana memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah. Yaitu dengan mengutip pendefenisian sistem pemasyarakatan dalam UU Pemasyarakatan, mantan terpidana dapat aktif berperan dalam pembangunan. Dengan dasar argumentasi, telah dilakukan pembinaan, pembimbingan, maka jadilah ia sebagai manusia yang menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.
Ringkas kata, bagaimana mungkin seseorang dikatakan sudah bisa terlibat dalam pembangunan, dalam pencalonan kepala daerah, kalau belum ada ukuran telah menjadi “orang baik” tanpa selesai menjalani masa rehabilitasi dan reintegrasi. Bagaimana mungkin terdapat ukuran, dapat dikatakan tidak berkepribadian “tercela” kalau masa pembaurannya dengan masyarakat melalui pembebasan bersyarat belum selesai.
Hal yang pasti, soal dapatnya seseorang berperan aktif dalam pembangunan melalui pendaftaran diri sebagai calon kepala daerah dengan berpijak pada filosofi pemasyarakatan, dua tahapan pemasyarakatan, pembinaan dan pembimbingan, atau kasarnya pemidanaan berdimensi retributif dan rehabilitatif dalam pemasyarakatan harus terlalui semuanya. Jika belum melalui kedua tahapan tersebut, dan sudah terlanjut ditetapkan sebagai paslon, bahkan menjadi paslon peraih suara terbanyak, MK harus menjadi “pengadilan terakhir” untuk mendiskualifikasinya. Tidak patut untuk ditetapkan sebagai paslon terpilih.*
Artikel Ini Pernah Muat di Harian Tribun Timur, 17 Maret 2021