Calon Tunggal, Langsung Saja Lantik!
Sebuah kesyukuran disela-sela kesibukan yang menyita waktu saya akhir-akhir ini, tak urung kemudian harus menjadi vakum untuk selalu saja meluangkan waktu agar menuangkan berbagai ide dalam beberapa tulisan. Penyebabnya, tidak lain berkat karib dekat saya yang sama-sama mengelola institusi dunia tulis menulis di sebuah website kecil (negarahukum.com) yang selalu konsen menyoroti isu-isu hukum aktual.
Izinkan saya menyebut nama teman saya itu, adalah Muh. Nursal NS pengacara kondang yang tak pernah kering pengetahuan ilmu hukumnya. Dan hasil diskusi saya dengannya akhir-akhir ini, saya pun berani mengatakan dalam menyoroti sengkarut calon tunggal Pilkada serentak, ide beliaulah yang paling masuk akal,
Kendati ide itu tak semegah yang kita bayangkan, bahwa kalau ada calon tunggal dalam Pilkada serentak nanti, ya… langsung lantik saja! Tapi sungguh pendapat inilah yang paling rasional dari seabrek pendapat yang bertebaran di media massa saat ini, termasuk dari berbagai pendapat ahli hukum ternama, dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Berikut rasionalisasi pemikirannya.
Lantik Langsung!
Bahwa dengan melantik langsung calon tunggal dalam Pilkada serentak saat ini sudah dapat diduga sanggahan yang paling ampuh, yakni “jika dengan cara demikian akan melanggengkan “persekongkolan elit” untuk meloloskan satu orang, harapannya! agar kelak calon tunggal yang terpilih akan memberikan insentif kepadanya.” Katanya, ini bisa menjarah sekaligus mencederai demokrasi.
Tetapi dalam konteks itu, sanggahan tersebut justru sama sekalai tidaklah berdasar. Toh hukum dengan segala perangkatnya, jika memang persekongkolan elit demikian adalah “hasil pemufakatan jahat” sebagai peristiwa tindak pidana, sudah jauh-jauh hari “hukum pidana” memiliki alat tangkal untuknya melalui sanksi-sanksi pidana.
Pun dibalik itu semua, ketika Pilkada langsung dalam rezimnya yang lalu-lalu “calon tunggal bisa langsung dilantik” tidak pernah terjadi dari hasil pengumuman KPUD, hanya satu pasangan Calon Kepala daerah dan wakilnya yang akan melenggang dengan mulus dalam tahta pemerintahan daerah.
Mungkin ada benarnya, boleh jadi pelarangan calon tunggal dalam UU Pilkada saat ini memang pembentuk UU hanya berangkat dari asumsi, dan ingat! hukum bukanlah asumsi. Tetapi “hukum” selalu rasional, sama rasionalnya pelantikan langsung calon tunggal kepala daerah yang menandakan bahwa kompetensi macam apapun harus diakhiri, termasuk dalam hal ini kompetisi demokrasi.
Bahwa justru dengan pelantikan langsung pula terhadap calon tunggal dalam rezim pilkada sebelumnya, kita bisa menjegal partai politik kita yang sudah dalam tahap rada-rada sakit agar jangan dengan seenaknya menyandera demokrasi yang merupakan milik daulat dari seluruh rakyat Indonesia. Pada hakikatnya partai politik yang berada dalam sentrum “motif penjegalan” manakalah terdapat calon tunggal yang dilegalkan bisa langsung dilantik, malah dibalik niat jahat Parpol untuk menjegal menjadi baik untuk demokrasi. Sebab kalau calon tunggal langsung dilantik, maka beberapa Partai Politik “bersua” dalam satu harapan, kukuh dan mati-matian agar mengajukan Calon Kepala Daerah yang bisa menyaingi, kasarnya menjegal “calon tunggal” yang tersedia itu.
Ada lagi, yang menyatakan bahwa pelantian calon tunggal Kepala Daerah secara langsung karena tak ada tandingannya. Konon katanya, di sana terjadi pelanggaran hak daulat rakyat, sebab rakyat dengan hak pilihnya serta merta telah dihilangkan. Sungguh tidak rasional pernyataan tersebut, apa yang mau dipilih kalau memang hanya satu pilihan? Bukankah yang namanya, orang nanti bisa memilih jika tersedia dua pilihan? Jadi, pahamilah bahwa hak untuk memilih itu ada, kalau memang lebih dari satu pilihan. Sementara dengan calon tunggal, dimanakah sedianya yang menjadi “pintu alternatif” untuk memilihnya?
Perlu dipahami pula bahwa hak untuk memilih itu bukanlah hak yang bisa digunakan dalam waktu setiap harinya, kapan dan dimanapun, seperti hak-hak dasar yang melekat dalam diri individu (diantaranya hak hidup dan hak milik), tetapi hak pilih merupakan hak istimewa karena pemberian negara. Maka kapankah hak memilih itu muncul? Hak memilih sejatinya muncul ketika sudah ada yang siap untuk dipilih, sudah ada Calon Kepala Daerah yang lolos verifikasi KPUD dan dinyatakan sebagai kandidat, tetapi jika memang hanya satu calon, pada calon tunggal itulah terdapat hak pilih rakyat.
Analogi ini kiranya sama dan cukup rasionalnya dengan adagium “setiap orang mempunyai hak untuk dipilih”, tapi soalnya kapankah misalnya anda bisa dipilih sebagai Kepala Daerah? Sudah pasti jawabnya setalah anda dinyatakan lolos verifikasi KPUD, maka begitupun analog munculnya “hak untuk memilih”tersebut. Ketika sudah ada dua atau lebih pasangan Calon Kepala Daerah, lalu KPUD tidak memberikan undangan kepada anda untuk memilih, maka pada konteks itu anda bisa mengatakan “hak memilih anda sebagai wajib pilih” telah terlucuti. Tetapi dalam kondisi calon tunggal “antara hak memilih dan hak dipilih” merupakan satu kesatuan yang sudah tertancap di sana, yang dinamakan daulat rakyat sudah terwujudkan di dalam calon tunggal tersebut sebagaimana jaminan konstitusi kita.

Sumber Gambar: bisnis.com
Kompetisi Diakhiri
Garangnya sebuah pendapat hukum adalah pendapat yang tidak mencungkil dan mengutip di sana-sini pendapat orang. Tetapi pendapat itu haruslah memberi solusi. Oleh karena itu dibutuhkan perenungan dan sikap tawadhu dari pemikirnya.
Maka dalam ruang tulisan yang terbatas ini, izinkan pula saya menyatakan solusi calon tunggal melalui “penundaan Pilkada dan menyediakan ruang untuk maju pada Pilkada serentak berikutnya” itu tidak masuk akal. Termasuk sistem Pilkada dengan “bumbung kosong” sama-sama tidak ada rasionalisasinya. Penundaan Pilkada serentak dan sistem Pilkada bumbung kosong justru tetap akan membuka peluang munculnya “calon tunggal” yang bisa mengganggu Pilkada serentak yang selama ini kita idam-idamkan sebagai system paling baik.
Dan jika demikian terus kejadiannya, lantas kapan kompetisi ini diakhiri? Ilmu “hukum-lah” dengan pengutamaan asas kepastian dan manfaatnya memberi jawaban, lantik langsung calon tunggal Kepala Daerah tersebut, agar tidak terjadi pemerintahan yang tak bertuan.*