Hamid Awaluddin Bicara Dunia Politik dan Perdukunan

Sumber Gambar: liputan6.com
Lama saya tak berjumpa dengan Hamid Awaluddin. Pria kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, 5 Oktober 1960 itu pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wapres Jusuf Kalla. Ia menjabat Menteri Hukum tidak lengkap yakni dalam periode 20 Oktober 2004-5 Mei 2007 dan digantikan Andi Matalatta.
Lepas jabatan dari Menteri Hukum, peraih gelar doktor bidang hukum di American University, Washington tahun 1998 itu mendapat tugas sebagai Duta Besar Indonesia di Rusia 2008-2011. Kini, ia betul-betul menjadi orang merdeka.
Masih mengajar di almamaternya Universitas Hasanuddin, Hamid lebih banyak membantu Jusuf Kalla dan mondar-mandir Jakarta, California, London sambil menjenguk putra-putrinya yang sedang belajar di dua negara itu. “Saya kadang tinggal di luar negeri menemani anak-anak saya,” kata Hamid saat ngobrol di kanal Youtube “backtobdm” Harian Kompas, suatu waktu.
Mengidolakan Jusuf Kalla dan Nelson Mandela, Hamid mengidentifikasi sejumlah kelemahan bangsa ini, termasuk kecenderungan orang Indonesia untuk pergi ke “orang pintar” atau dukun untuk mendapatkan kepastian soal nasib atau karier politik, untuk mendapatkan perlindungan dan lemahnya kohesi sosial. Fenomena cukup mengejutkan.
Saya ngobrol banyak hal dengan Hamid tentang demokrasi, konstitusi, dan mimpi-mimpinya di sela-sela waktunya menemani Ketua Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla menerima delegasi China. Ia mengingatkan dalam demokrasi tidak pernah mengenal kultus individu.
+ Bagaimana Anda memandang wacana amendemen konstitusi yang digulirkan sejumlah politisi?
Demokrasi itu pintu yang terbuka lebar bagi siapa pun untuk memiliki akses mengontrol jalannya kekuasaan. Siapa pun boleh masuk. Itulah sebabnya mengapa demokrasi tidak mengenal kultus individu. Hanya seseorang yang karena merasa super hebat yang bisa masuk. No. Demokrasi selalu membuka akses kepada siapapun. Tidak boleh ada penokohan. Begitu ada penokohan maka pintu itu hanya bisa dilalui oleh sang tokoh dan yang lain akan terhalang.
Karena itulah, demokrasi selalu memberi batasan soal masa jabatan. Sebab jika tak ada masa jabatan, maka pintu itu tertutup bagi orang lain. Hanya yang kita anggap hebat yang bisa masuk dalam kontestasi demokrasi.
+ Belakangan ada aspirasi mengubah konstitusi untuk mengubah soal masa jabatan Presiden?
Aspirasi demokrasi bagi orang yang mau tidak ada pembatasan masa jabatan. Terlepas dari mau dan tak mau mengubah konstitusi. Hakikat demokrasi itu membatasi masa jabatan dan mengontrol jalannya kekuasaan. Jika kekuasaan tak dibatasi siapa yang kontrol, dia akan menjadi tiran absolut.
Saya kasih perbandingan. Masih remaja ketika Pak Harto berkuasa pada rezim Orde Baru, ada fenomena kebulatan tekad. Menteri Pemuda membawa kebulatan tekad ormas pemuda. Ada yang menempatkan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Semua itu kultus individu. Hasilnya apa rontok semuanya. Tak boleh ada orang, yang boleh kita kultuskan karena semuanya akan rontok dan kita akan menyesal. Mungkin ada yang menganggap sekarang benar, tapi lihat besok atau di kemudian hari. Sejarah akan mencatatnya.
+ Sejarah sedang berulang?
Ya, sejarah sedang berulang. Ada mobilisasi ormas dan kelompok orang. Tapi intinya saya menolak ada perpanjangan masa jabatan. Saya menolak dua jadi tiga periode. Karena saya takut konstitusi menjadi alat kekuasaan.
Vladimir Putin memperpanjang kekuasaan dengan mengubah konstitusi. Itu sah saja. Ferdinand Marcos pada tahun 70-an mempreteli konstitusi untuk memperpanjang kekuasaan. Pak Harto tak mengubah konstitusi tapi memperalat konstitusi karena tidak mengatur masa jabatan, dua-duanya memperalat konstitusi. Boleh jadi sah secara konstuitional tapi tak punya moral. Kita kembalikan ke hakikat reformasi. Karena kita ingin kekuasaan tak absolut. Ubah konstitusi dengan membatasi masa jabatan. Legislatif dan eksekuttif. Anda bisa setuju dengan amemenden konstitusi, niat mengubah konstitusi selalu ada kelompok politik yang tidak setuju. Taatlah pada konstitusi.
+ Tapi konstitusi kan memberikan jalan untuk bisa diubah?
Betul karena tidak ada konstitusi yang sama dengan kita suci. Tapi jangan hanya karena ada kepentingan sesaat konstitusi kita otak-atik, bukan untuk kepentingan bangsa. Tapi kepentingan perorangan, kepentingan kelompok. Kembalilah kepada semangat reformasi. Jangan karena kepentingan sesaat konstitusi diubah-ubah. Harus ada kebutuhan mendesak.
+ PKB, Golkar dan PKB mengusulkan pemilu ditunda karena masalah ekonomi sedang begitu berat?
Saya pakai alur berpikir dan logika yang sama. kenapa tahun lalu, ketika pilkada digelar saat Covid meningkat, banyak elite masyarakat sipil meminta penundaan, tak ada yang menggubris. Kenapa tak ada elite politik yang bersuara untuk minta ditunda. Artinya, penundaan pemilu bukan soal ekonomi tapi politik. Dalam rangka menjustifikasi kepentingan politik, ribuan alasan bisa dipakai. Itu jutifikasi. Yang saya khawatirkan pemimpin partai politik akan menuai badai pada hari pemilu. Itu final punishment.
+ Apa sebenarnya masalah bangsa ini?
Pertama, bangsa ini belum tuntas percakapan tentang kohesi sosial. Orang masih bicara soal perbedaan keyakinan. Aliran A atau B. Kohesi sosial kita belum tuntas.
Kedua, masalah utama yang kita hadapi, ketidaktaatan pada hukum, penyalahgunaan kekuasaan. Penyimpangan terjadi karena ongkok politik mahal. Partai politik menjadi kunci. Semuanya butuh cukong. Harus komitmen partai politik no entrance fee. Tentu mereka mengatakan tidak ada itu. Tapi faktanya kan ada. Selesaikan itu dulu.
Ketiga, tingkat toleransi kita sebagai bangsa semakin abu-abu. Saya bisa membayangkan awal kemerdekaan IJ Kasimo dan Mohammad Natsir berbeda, tapi saling mengunjungi. Tapi kita lihat sekarang, hanya karena seseorang, kita bisa berdebat siang dan malam.
Keempat, banyaknya orang mengklaim diri pemuka agama dan mengklaim kebenaran. Menghujat orang. Menihilkan orang lain. Itu berbahaya. Dua puluh tahun lalu nggak ada. Klaim kebenaran muncul secara sepihak. Suara lain terpinggirkan oleh kelompok yang amat rajin dengan klaim kebenaran.
Kelima, fenomena orang pintar. Perdukunan. Itu realitas. Kenapa terjadi? Demokrasi membuka kesempatan kepada siapapun untuk berpartisipasi untuk capai tujuan politik. Kompetisi banyak. Semua peserta satu sama lain ingin kepastian datang ke dukun. Kini, semua pejabat dan mantan pejabat dilandasi kekhawatiran bakal ditangkap penegak hukum. Mereka juga lari ke dukun minta perlindungan.
+ Negara seperti apa yang Anda idealkan?
Swiss. Menurut saya itu ideal. Kita lihat indeks masyarakat. Mereka merasa peacefull. Hampir tak ada gejolak, tak ada pertengkaran sosial, warganya berkarier di bidang masing-masing, saling menghargai. Tak ada wacana dikotomis kaya dan miskin tak terlalu jauh. Layanan sosial juga baik. Itu gambaran ideal menurut saya.
+ Pemimpin ideal menurut Anda?
Kalau domestik, bukan karena saya dekat dengan beliau, menurut saya Jusuf Kalla. Ia simple, cepat ambil keputusan, dia bisa cepat cari terobosan dan kalkulasi rasionalnya tinggi.
Kalau di luar negeri, Nelson Mandela. Dia menciptakan sebuah prinsip dan praktik luar bisa. Forgive not to forget. Dia orang yang melakukan rekonsiliasi yang tak pernah terjadi dalam sejarah manusia. Warga kulit hitam yang didzolimi oleh rezim apartheid, tapi saat Mandela berkuasa dan pegang kekuasaan, dia membangun rekonsiliasi. Luar biasa.
+ Mimpi Anda soal Indonesia 2045?
Semua masalah yang saya sebutkan selesai. Kita terus benahi kohesi sosial. Paling sensitif. Kita ini negara kepulauan. Sensitif dengan keterbelahan. Bagaimana ekonomi bangsa ini naik sehingga ketika menyekolahkan anak dengan baik. Jangan ada anak anak bangsa untuk SMA tidak selesai karena tak ada anggaran. Layanan sosial bagus. Saya optimis dengan Indonesia 2045.
Oleh:
Budiman Tanuredjo
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 13 April 2022
Sumber https://www.kompas.id/baca/kolom/2022/04/13/hamid-awaluddin-bicara-dunia-politik-dan-perdukunan