Menyoal Etika Pemberitaan Delik Perzinahan
Sepekan ini Makassar dihentakkan dengan peristiwa seorang perempuan yang tertangkap basah oleh suaminya (seorang pengusaha) berselingkuh (berzina) dengan lelaki lain. Tak ayal, berita ini menjadi santapan media, terlebih lagi media online. Hampir setiap hari peristiwa ini menghiasi mass media. Kontroversi pun bermunculan sehingga menasbihkan peristiwa ini sebagai berita lokal berating tinggi dalam 3 hari.
Peristiwa ini memancing “moralis” dan pengamat dadakan berkomentar dalam berbagai persfektif hujatan, cercaan atau sekedar nimbrung kata. Foto sang perempuan pun terpajang dengan sensor setengah hati, sekedar menggugurkan kewajiban etika pemberitaan. Sebagian yang tak memahami delik perzinahan akan menghardik pelaku maupun aparat penegak hukum bila ada yang tak lazim terjadi. Demikianlah, perempuan dan kasus asusila dua hal yang menjadi gula-gula pemantik perhatian publik.
Delik Perzinahan
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHPidana. Pengertian perzinahan dalam pasal tersebut berbeda dengan apa yang dipahami selama ini oleh masyarakat. Perzinahan (overspeel) dalam hukum pidana bermakna hubungan intim yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa dan salah satunya terikat perkawinan. Jadi, baru dapat dikatakan “berzinah” jika salah satu pelakunya telah menikah. Sehingga apabila laki-laki dan perempuan dewasa yang tidak terikat perkawinan melakukan hubungan intim atas dasar suka sama suka maka bukanlah kategori perzinahan menurut hukum pidana.
Pada titik inilah, delik perzinahan menjadi kontroversial. Karena laki-laki dan perempuan dewasa yang melakukan hubungan intim tidak dapat dijerat hukum pidana apabila dilakukan atas dasar suka sama suka. Makanya, kadang kala publik geram melihat aparat penegak hukum “melepaskan” pelaku “mesum” karena keduanya tidak terikat perkawinan (single).
Oleh karenanya pasal ini menjerat pezinah yang sudah kawin. Demikian pula bagi pelaku pasangan zinah yang belum menikah dapat dijerat juga menggunakan delik perzinahan. Syaratnya, dia patut mengetahui kalau pasangan zinahnya telah terikat perkawinan. Oleh karenanya untuk menjeratnya harus dibuktikan bahwa dia mengetahui atau patut mengetahui pasangan mesumnya telah menikah.
Selain itu, delik perzinahan warisan Belanda ini, hukumannya relatif ringan karena ancaman maksimalnya hanya sembilan (9) bulan. Oleh karenanya dalam proses penyidikannya kepolisian tidak dapat melakukan penahanan terhadap pelakuknya. Kelemahan-kelemahan inilah yang semakin menguatkan kemutlakan revisi delik perzinahan karena tidak sesuai dengan nafas budaya ketimuran bangsa kita. KUHPidana yang akan datang harus menjadikan delik perzinahan ini sebagai delik biasa, tidak membatasi orang dewasa terikat perkawinan dan sanksi pidana yang berat.
Kerahasiaan Identitas
Secara umum etika pemberitaan mengenai kasus asusila (kejahatan seksual) diharuskan menyembunyikan kerahasiaan identitas perempuan dan anak. Kasus asusila dalam hukum pidana terdapat berbagai macam varian, seperti: pelecehan seksual, pemerkosaan, perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga dan lainnya. Dalam kaitannya dengan pemberitaan, menjadi diskusi panjang identitas manakah yang harus disembunyikan, apakah korbannya atau pelakunya. Karena ada beberapa tindak pidana yang memungkinkan anak dan perempuan yang menjadi pelaku.
Etika pemberitaan mengenai pengaburan identitas kejahatan seksual yang mendudukkan perempuan sebagai pelaku belum mendapatkan tempat secara jelas dalam berbagai Kode Etik Jurnalistik. Hal ini dapat dilihat kode etik wartawan yang menyebutkan : Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan kejahatan susila tidak menyebut nama dan identitas korban dan dilarang menyebut identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur. Kendatipun demikian terdapat kode etik dari salah satu organisasi wartawan menyebutkan kerahasiaan pelaku, yaitu yang menyatakan: Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial identitas korban kejahatan seksual dan pelaku serta korban tindak pidana dibawah umur.
Mestinya, bila maksud pengaburan identitas adalah untuk melindungi keluarganya khususnya bagi kejiwaan anak, maka bagi perempuan pelaku kejahatan seksual pun harus dilindungi kerahasiaan identitas pemberitaannya.
Jika demikian kondisinya maka kerahasiaan identitas harus dilakukan dalam pemberitaan. Pengertian identitas yang dimaksud adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang dan memudahkan orang lain untuk melacak. Data dan informasi tersebut dapat berupa nama, alamat, nama orang tua, Foto atau gambar. Jika memang untuk kepentingan umum, media memberitakan perempuan sebagai pelaku tindak pidana maka harus ada pembatasan. Bentuk pembatasan ini merupakan bagian dari “pengaburan” identitas.
Dikatakan “pengaburan identitas” jika data atau informasi yang diberitakan oleh dimedia tidak mampu dilacak secara mendatail oleh orang lain. Penulisan nama korban/pelaku beserta keluarganya dan alamat hanya berupa inisial saja. Sedangkan untuk gambar atau foto tidak boleh ditampakkan secara utuh yang memungkinkan orang mengenalinya. Demikianlah pembatasan pengaburan identitas, sehingga media yang memuat data dan info yang masih memungkinkan dikenali atau dilacak tidak memenuhi standar pengaburan identitas.
Delik perzinahan sangat ditentang oleh budaya timur kita, walau demikian pemberitaannya harus dibatasi untuk melindungi hak keluarganya. Media tak boleh bergeser menjadi pengumbar privat orang lain. Bukankah pers harus menghormati privasi kecuali untuk kepentingan publik. Lalu kepentingan publik mana yang ingin digapai dengan memberitakan perempuan pelaku zinah?