Teror Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Tak Akan Usai

Sumber Gambar: kompas.com

Pemikir yang terkenal dengan tesis “the end of history”, Francis Fukuyama, meyakini Rusia akan kalah dalam perang melawan Ukraina. Kemudian, kekalahan tersebut akan membuka kemungkinan baru bagi masa depan kebebasan dunia.

Ide-ide ultranasionalisme kanan yang hari ini dipersonifikasi oleh sosok macam Vladimir Putin, Racep Tayyip Erdogan, dan tokoh-tokoh populis Amerika Latin lainnya akan kehilangan jiwanya. Demokrasi, dalam hal ini demokrasi liberal, pun akan kembali kepada semangat 1989, seperti saat Perang Dingin berakhir.

Fukuyama juga mengatakan mayoritas generasi yang hidup hari ini tidak pernah merasakan mimpi buruk bernama Perang Dunia. Maka, gagasan ultranasionalisme kanan tumbuh subur dalam arena politik hari ini. Ancaman bagi demokrasi liberal bukan lagi hanya perkelahian ideologis atau kudeta militer, melainkan juga aktor-aktor internal yang menggunakan instrumen demokrasi untuk menerobos batas kekuasaan yang dimilikinya.

Pada derajat tertentu, Indonesia perlu berbangga sebagai negara yang selalu dapat menyelenggarakan pemilu yang bisa dikatakan aman dan damai. Bahkan di bawah rezim otoriter sekalipun, negara ini tetap melangsungkan pemilu yang berjalan relatif reguler.

Lepas dari berbagai kekurangannya, setiap masa pemerintahan di Indonesia memiliki warisan-warisan penguatan kelembagaan demokrasi. Sebagai ashobah (pewaris), kita pun dari hari ke hari menjadi semakin adaptif menghadapi ancaman untuk kembali ke masa kelam otoritarianisme.

Banyak negara sekitar kita mengalami kerontokan demokrasi, seperti yang dapat kita lihat pada kudeta militer di Myanmar dan Thailand. Namun, cerita Indonesia tampaknya tidak terlalu tragis, kalau tidak mau dikatakan berjalan baik. Imun tubuh kita cukup baik sebenarnya, namun tetap harus waspada terhadap komorbid yang menjangkit.

Dimulai dari masa pemerintahan Presiden Sukarno, fase pembentukan negara (state formation) berjalan sangat baik. Saat itu, identitas kebangsaan dibangun. Nasionalisme berhasil diletakkan di tempat yang lebih tinggi, meski benturan ideologi politik dan sentimen kedaerahan terus berlangsung. Konflik politik yang berlarut-larut itu akhirnya menumbangkan Presiden Sukarno, namun rasa kebangsaan yang egaliter sudah terlanjur tertancap dalam di hati rakyat.

Sementara, Presiden Soeharto berhasil membangun kelembagaan birokrasi yang kuat. Kekuatan militer duduk di jabatan-jabatan strategis sampai ke level daerah. Stabilitas politik dan ekonomi berjalan selama lebih dari tiga dekade di bawah Golkar dan militer. Tujuannya untuk mengawal pembangunan yang dibiayai oleh pemasukan dari sumber daya ekstraktif. Di tengah krisis ekonomi, rezim ini pun harus bertekuk lutut akibat tidak mampu lagi menanggung biaya otoritarianisme yang ternyata sangat mahal itu.

Lepas dari keruntuhan kedua rezim tersebut, demokrasi Indonesia terus bertumbuh. Warisan berupa Nasionalisme yang egaliter dari era Presiden Sukarno sangat berharga. Kehadiran lembaga negara dan partai politik penguasa tidak dikhususkan untuk melayani kepentingan satu kelompok etnis dominan, sebagaimana yang terjadi di negara tetangga kita Malaysia.

Selain itu, struktur birokrasi yang menyentuh akar rumput warisan Orde Baru menghadirkan aparatur negara terlatih dan cakap untuk langsung berhadap-hadapan dengan dinamika masyarakat. Aparatur negara pun mampu menggalang kekuatan publik di akar rumput.

Sebagian dari kita sempat menjadi saksi sejarah pemisahan Timor Timur dengan cara referendum yang berjalan lancar, meskipun peperangan sudah berlangsung lama dengan milisi pro-integrasi. Pemisahan diri Timor Timur yang mayoritas non-muslim ternyata tidak menjalar ke daerah dengan karakteristik serupa. Gerakan separatis dan konflik etnis di masa transisi 1998 pun dapat diatasi dengan cara yang efektif, seperti munculnya partai lokal di Aceh dan rekonsiliasi damai di banyak daerah Indonesia bagian tengah dan timur.

Senada dengan Fukuyama, ketakutan dalam urat nadi demokrasi Indonesia hari ini adalah munculnya tokoh-tokoh populis yang tidak mampu dikontrol oleh lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, media, dan civil society. Bahkan, lembaga-lembaga demokrasi digunakan oleh para pemimpin populis ini untuk memperpanjang batas kadaluarsa kekuasaan. Turki dan Rusia sudah lebih dulu mengalaminya. Bagaimana dengan Indonesia?

Publik merasa takut semua lembaga demokrasi yang telah diwariskan tadi tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan populisme personal. Konsentrasi kekuasaan yang begitu besar pada satu kelompok kepentingan tidak dapat dijinakkan oleh kekuatan kelembagaan yang sudah dibangun dari generasi ke generasi.

Kontestasi elektoral yang terpolarisasi dan loyalitas pada persona begitu kuat sejak 2014. Bahaya populisme menjadi semakin dekat. Banyak pengamat menilai ancaman ini akan berakibat kepada penurunan kualitas demokrasi Indonesia.

Apalagi setelah Pemilu 2019, Prabowo Subianto bergabung menjadi bagian dari kekuasaan Presiden Joko Widodo. Artinya, kekuatan penyeimbang dari partai politik tidak akan berjalan dengan optimal. Hasilnya, Kebijakan-kebijakan sensitif dan kontroversial dapat lolos tanpa perlawanan yang signifikan.

Namun di tengah malang selalu ada untung, berbeda dengan negara-negara lain yang pemimpin populisnya bisa membuat partai-partai kembang plastik dengan mudah untuk mengantarkannya menjadi Presiden. Bahkan, partai jadi-jadian mereka itu dapat menjadi kekuatan dominan di parlemen.

Indonesia memiliki regulasi kepartaian paling rumit di dunia. Dibanding membangun partai yang jelas tidak efisien, pemimpin populis lebih memilih untuk menumpang arus yang sudah ada. Oleh karena itu, mereka pun tidak dapat sepenuhnya menunjukkan sepenuhnya karakter kepemimpinan populis yang anti-kelompok dominan di hadapan para pemilik partai. Di sini, populisme harus mulai berkompromi.

Dalam isu perpanjangan masa jabatan, rencana orang sekitar Presiden Jokowi mengalami hambatan yang serius. Tanpa kekuatan politik dominan yang dapat dikontrol penuh di parlemen, upaya untuk menunda pemilu sulit sekali untuk diwujudkan. Kerumitan ini mungkin tidak dialami oleh Erdogan di Turki, yang memiliki dukungan hampir setengah dari jumlah kursi di parlemen.

Ternyata, tidak semua partai pendukung pemerintah menunjukkan dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan presiden. Partai pendukung utama pemerintah tidak memiliki kesepahaman dengan penggerak utama wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Presiden Jokowi pun sudah menyatakan sikapnya untuk mengawal Pemilu 2024 sampai ke tanggal yang sudah ditentukan. Selain itu, menteri-menteri pun sudah direm tangan darurat, agar tidak boleh lagi bicara soal perpanjangan masa jabatan.

Namun, spekulasi perpanjangan masa jabatan tidak akan serta merta berakhir. Di dalam kepala publik, penguasa masih punya waktu untuk merancang strategi alternatif, mungkin saja Presiden Jokowi akan ikut lagi dalam kontestasi di Pemilu 2024. Upaya melakukan amandemen konstitusi pun akan terus menggelinding. Mungkin bukan salah Presiden Jokowi dan jajarannya, namun memang ini merupakan ketakutan pada tren dunia saja sebagaimana yang sudah disampaikan oleh Fukuyama tadi.

Waktu tersisa ini akan membuktikan apakah Presiden Joko Widodo merupakan bagian dari ancaman demokrasi dunia kontemporer, yang sedang disandera oleh internal aktornya sendiri. Di sisi lain, pegiat demokrasi tentunya ingin pemerintahan hari ini “husnul khotimah”, mengakhiri semuanya dengan baik, kembali ke khitah politiknya, “Jokowi adalah Kita”. Kita semua tentunya ingin ikut menjaga demokrasi.

Oleh:

Arie Putra

co-founder Total Politik, host acara Adu Perspektif detikcom X Total Politik

DETIKNEWS, 11 April 2022

Sumber; https://news.detik.com/kolom/d-6027144/teror-perpanjangan-masa-jabatan-presiden-tak-akan-usai.

You may also like...