Perzinahan Bukan Delik Aduan

Hukum merupakan jiwa dari sebuah bangsa, jiwa dari masyarakatnya. Sehingga meniscayakan “hukum” tidak selamanya dapat ditransfer dari negara yang satu ke negara lainnya. Itulah sebabnya ketika Wetboek van Strafrecht diadopsi dalam hukum pidana kita, terdapat ihwal tertentu yang tidak bisa digunakan untuk mengatur setiap orang di negara Indonesia yang majemuk ini.

Legal issue-nya silahkan diamati pada delik perzinahan yang dikualifikasi sebagai delik aduan (vide: Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP). Kondisinya bertolak belakang dalam kenyataan (law in action), karena ternyata pengkualifikasian perzinahan sebagai delik aduan mendapat “reaksi penolakan” dari masyarakat yang hendak diatur. Terjadi bentuk pencelaan berlebihan yang mengarah pada perbuatan eigenrechting (main hakim sendiri) terhadap pelaku perzinahan itu.

Delik Perzinahan

KUHP hanya mengatur perzinahan jika salah satu dari pelakunya terikat dengan perkawinan. Itupun masih dibatasi, kalau pelaku yang melakukan perzinahan diantara keduanya itu masih patut untuk melakukan perkawinan karena tidak ada pelarangan ikatan darah (dilarang untuk menikah). Padahal di luar pengaturan KUHP, masih terdapat pembagian perzinahan yang tidak diakomodasi dalam KUHP.

Pertama, perzinahan yang mana diantaranya keduanya tidak terikat dengan perkawinan tetapi boleh saja melangsungkan perkawinan karena tidak ada ikatan darah yang menghalanginya. Kedua, perzinahan yang tidak terikat dengan perkawinan diantara keduanya tetapi untuk melakukan perkawinan dilarang karena adanya ikatan darah (misalnya: anak, bapak, ibu, saudara sekandung, saudara sepersusuan, bibi, dan paman). Ketiga, perzinahan yang salah satunya terikat dengan perkawinan tetapi “teman” berzinanya terdapat hubungan darah yang terlarang untuk dinikahi (poin kedua dan ketiga bisa juga dikatakan sebagai perzinahan dalam kalangan keluarga).

Perlu diingat bahwa doktrin dalam hukum pidana, pada dasarnya delik aduan masih terbagi lagi menjadi delik aduan relatif dan delik aduan absolut. Perbedaannya, rata-rata delik aduan relatif selalu saja antara pelaku dengan korban terdapat hubungan keluarga, delik ini mencolok dilakukan dalam kejahatan harta benda (seperti pencurian di kalangan keluarga, penggelapan di kalangan keluarga dan pemerasan di kalangan keluarga). Sedangkan delik aduan absolut, merupakan tindak pidana yang dilakukan bukan dalam kalangan keluarga yang oleh KUHP sudah tegas menentukannya sebagai delik aduan (contohnya: perzinahan dan penghinaan).

Pada hakikatnya dalam KUHP tidak ada penegasan satupun pasal yang mengatur tentang delik perzinahan dalam kalangan keluarga. Hanya mencantuman ketentuan bahwa delik perzinahan merupakan delik aduan yang terkualifikasi sebagai delik aduan absolut. Artinya, kalau terjadi perzinahan yang mana salah satunya terikat dengan perkawinan maka suami atau istri dapat mengajukan aduan agar diproses secara hukum “teman zina” pasangan perkawinannya (istri/suami) dan pihak pengadu (istri/suami) wajib pula mengadukan pasangan perkawinannya (istri/suami) sebagai konskuensi hukum dari delik ini, adalah delik aduan absolut.

Pertanyaannya, bagaimana kalau “teman zinanya” berasal dari keluarga yang terlarang untuk di nikahi (misalnya: anak, bibi, dan paman)? Atau ekstrimnya lagi bagaimana kalau seorang bapak misalnya berzinah dengan anaknya yang sudah dewasa? Kiranya kalau kasus ini terjadi, istri yang keberatan terhadap perbuatan suaminya yang berzinah dengan anaknya yang sudah dewasa; apakah perzinahannya tetap dianggap sebagai delik aduan absolut? Pemahaman masyarakat kita yang “awam hukum” pastinya mengatakan itu bukan delik aduan tetapi delik umum yang harus diproses langsung secara hukum tanpa si istri mengajukan aduan ke pihak yang berwenang (penyelidik).

Hal yang berbeda berdasarkan KUHP, in casu a quo si istri tetap harus mengajukan aduan jika pelaku perzinahannya hendak diproses secara hukum, sebab bagaimanapun nilai perbuatan tersebut merupakan delik aduan absolut. Sehingga baik suami maupun anaknya harus diadukan oleh si istri ke penyelidik baru dapat diproses secara hukum.

Kedaaan yang sama pula berlaku untuk delik perzinahan yang terjadi terhadap mereka yang tidak terikat dengan perkawinan tetapi pada dasarnya terlarang untuk melangsungkan perkawinan. Walaupuan perbuatannya oleh masyarakat dipandang sangat tercela, tetapi sayangnya tidak ditur dalam KUHP, sehingga bukanlah tindak pidana untuk konteks sekarang.

Permasalahan ini nyatanya membuka peluang yang memungkinkan dari pelakunya akan dihakimi secara sewenang-wenang oleh masyarakat, karena peran negara dalam masalah ini dinihilkan. Sangat contardictio in terminis dengan tujuan hukum pidana kita, alih-alih menciptakan ketertiban tetapi justru negara membiarkan hidupnya kembali hukum rimba.

Lebih-lebih lagi jika kasus ini dipandang berdasarkan hukum adat ketimuran dan hukum agama kita saat ini. Bukankah Sejak dahulu dalam tatanan hukum adat sudah memiliki hukum sendiri; kedua pelakunya bisa diasingkan, dibuang, bahkan ada juga yang menggunakan tindakan (hukuman) kejam; yang mana kedua pelakunya diceburkan ke laut. Demikian halanya hukum Islam, pun memberi hukuman yang keras dengan cara merajam kedua pelakunya.

Sumber Gambar: kuabringinsakti.files.wordpress.com

Sumber Gambar: kuabringinsakti.files.wordpress.com

Bukan Delik Aduan

Pada dasarnya pembagian perzinahan baik yang terikat dengan perkawinan ada atau tanpa hubungan darah yang melarangnya untuk melangsungkan perkawinan maupun perzinahan yang terjadi tanpa ikatan perkawinan namun ada hubungan darah yang melarangnya untuk melakukan perkawinan, tergolong sebagai perbuatan tingkatannya amat dicela oleh masyarakat kita. Berbeda dengan perzinahan yang tidak terikat dengan perkawinan namun masih bisa melangsungkan perkawinan karena tidak ada larangan di dalamnya, derajat pencelaannya agak lebih rendah pastinya. Maka dari itu. penting dalam merumuskan perbuatan tersebut dalam revisi KUHP mendatang, masing-masing ancaman pidanya harus disesuaikan dengan derajat pencelaannya.

Sudah menjadi kewajiban bagi perancang RUU KUHP merumuskannya, bahwa semua jenis delik perzinahan harus menjadi delik umum (bukan lagi delik aduan) tanpa terkecuali. Catatan khusus yang harus diemban oleh negara, bahwa untuk menggolongkan perzinahan yang dilakukan tidak terikat dengan perkawinan dan masih terbuka peluang untuk melangsungkan perkawinan lalu menggolongkannya sebagai delik umum. Pada poin ini, negara tidak bisa lepas dengan serta merta saja. Perlu ada tanggung jawab negara dengan melalui lembaga nikah misalnya, bahwa bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan, negara harus memfasilitasi dan memberi jalan mudah bagi mereka (muda-mudi) yang sudah benar-benar ingin menikah. Negara harus memberi sumbangsi immaterial maupun materil bagi pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan tetapi terkendala karena tidak memiliki kemampuan.

Negara kita yang kental dengan adat ketimurannya, kental dengan hukum agamanya, sudah saatnya perzinahan terkualifikasi sebagai delik umum. Delik yang bisa diproses tanpa ada pihak yang ditunggu untuk mengadukannya.

Kondisi kebangsaan kita tidak sesuai dengan “filsafat hukum” peninggalan Belanda yang tertuang dalam KUHP; bahwa perzinahan hanya terkualifikasi sebagai delik aduan. Negara kita tidak cocok dengan maxim bahwa dengan mengkualifikasi perzinahan sebagai delik umum akan mengganggu hubungan yang sifatnya khusus di dalam keluarga (byzondere familie verhoudingen dikwijls nodeloos zullen worden verstoord).

Suasana kebatinan masyarakat kita lebih tahu, kalau perzinahan dalam semua kategorinya merupakan perbuatan amat tercela. Perzinahan merupakan suatu perbuatan kendatipun undang-undang tidak mengaturnya tetap merupakan perbuatan tercela (recht delicten). Maka dari itu, segala proses hukum dan pemidanaannya pun harus berbanding lurus dengan pencelaannya.*

Artikel Ini Juga Muat di Harian Tribun Timur, 15 April 2015

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...