Double Track System
Dalam perkembangan sanksi pidana, tampak bahwa sanksi di dalam hukum pidana semain dihumanisasikan dan sedapat mungkin diterapkan, sehingga bermanfaat dalam rangka usaha resosialisasi dari pelaku tindak pidana. Sementara pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak populer dan ketinggalan zaman, jenis sanksi berupa tindakan serta rehabilitasi narapidana semakin dianggap penting karena dianggap lebih manusiawi. Bahkan terdapat pembaharau-pembaharu yang bersifat radikal yang ingin mengadakan perombakan hukum pidana secara total yakni dengan menggantikannya dengan sistem tindakan. Terhadap pandangan yang radikal tersebut Johannes Andenaes (1974: 157-158) mengemukana beberapa sanggahan dengan alasan sebagai berikut:
- Di dalam masyarakat modern terdapat perkembangan bentuk kejahatan yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan terdisional. Kelompok pertama adalam tindak-tindak pidana lalu lintas dan kelompok yang lain adalah kejahatankejahatan yang menyangkut kesejahteraan umum yang terdiri dari pelanggaran-pelenggaran terhadap peraturan-peraturan ekonomi. Terhadap tindak pidana semacam ini tidak mungkin diterapkan sistem tindak pidana perseorangan.
- Terdapat jenis-jenis tindak pidana yang berat yang memerlukan pidana yang sangat berat denagn tujuan pencegahan umum, misalnya espionage, pembunuhan, perdagangan narkotik, pembajakan udara dan penculikan anak.
- Sistem tindakan tersebut kemungkinan hanya bisa diterapkan terhadap jenis-jenis tindak pidana tradisional biasa, terutama kejahatan-kejahatan terhadap harta benda, kejahatn kerjahatan seksual dan kejahatan-kejahatan kekerasan. Tetapi sekalipun demikian di dalam kejahatan-kejahatn tersebut timbul kesulitan yang sangat besar untuk menerapkan tindakan itu di dalam praktik.
Menurut Johannes Andenaes pandangan tersebut dipengaruhi oleh perkiraan yang meremehkan fungsi pencegahan umum hukum pidana dan bahkan lebih penting lagi perkiraan yang terlalu tinggi atas kemampuan serta di dalam membina dan memperkirakan perilaku kriminal. Beda halnya dengan pendapat fillipo Gramatica mengemukakan, hukum perlindungan masyarakat harus menggantikan hukum pidana dalam tertib sosial dan tidak menjauhkan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Terhadap kedua pendapat tersebut Van Bemellen mengemukakan bahwa mereka yang hanya melakukan kejahatan ringan akan sangat dirugikan dalam kebebasan mereka apabila mereka diserahkan kepada perawatan sosial. Denda hal ini akan lebih menguntungkannnya.
Sehubungan dengan ini Marc Ancel (1966: 79) mengemukakan bahwa di Benua Eropa kurun waktu antara 1939 merupakan saat kompromi antara aliran klasik dan aliran positif yang ditandai dengan pengakuan legislatif di berbagai negara terhadap tindakan-tindakan preventif, sistem dualis, individualisasi pembinaaan narapidana, dan pemberian hak kepada pengadilan untuk melaksanakan kebijaksanaan yang luas.
Indonesia yang KUHP-nya merupakan turunan WvS Belanda 1886 sejak semula menerapkan sistem dua jalur (double track system) dalam pengaturan sanksi. Sistem ini mungkin akan dipertahankan dalam pembahrauan hukum pidana nasional indonesia. Menurut Muladi (1992: 27) hal ini dapat disimpulkan dari adanya tindakan yang lebih diperinci, disamping pidana di dalam konsep rancangan KUHP baru tahun 1982/ 1983 yang disusun oleh badan pembina hukum nasional. Pengaturan mengenai tindakan tersebut diatur dalam pasal 3.05.02 usul rancangan KUHP buku II 1982/ 1983 yang menyatakan sebagai berikut:
- Tindakan yang dengan keputusan hakim dapat dijatuhkan kepada mereka yang memenuhi ketentuan dalam pasal yang memuat ketidakmampuan atau kekurangan kemampuan beratnggung jawab adalah perawatn di rumah sakit jiwa, dan penyerahan kepada pemerintah.
- Tindakan yang dengan putusan hakim dapat dijatuhkan bersana-sama dengan pidana adalah pencabutan surat izin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan perbaikan akibat-akibat tindak pidana.
Jenis-jenis tindakan yang kedua tersebut masih akan ditambahkan dengan jenis-jenis yang bersifat latihan kerja, rehabilitasi, dan pengawasan dari suatu lembaga.
KUHP yang menganut double track system. Sistem sanksi yang terdiri atas dua macam yakni pidana dan tindakan, masih ditmabha dengan lembaga kebijkaksanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang, sebagai berikut:
- Lembaga pengembalian terdakwa kepada orang tuanya atau kepada walinya seperti yang dimaksud dalam ketentuan pasal 45 KUHP.
- Lembaga pembebasan bersyarat seperti yang dimaksud di dalam ketentuan pasal 15 KUHP yang pengaturan lebih lanjut terdapat dalam ordonansi tanggal 27 desember 1917 STB. 1917 No. 740 yang juga dikenal sebagai ordonanntie op de voorwaardelijke invrijheid stelling atau peraturan mengenai pembebasan bersayarat.
- Lembaga izin bagi terpidana untuk hidup secara bebas di luar lemabaga pemasyarakatan setelah jam kerja seperti dimaksud di dalam ketententuan paal 20 ayat 1 KUHP.
- Lembaga mengusahakan perbaikan nasib sendiri bagi orang-orang yang dijatuhi pidana kurungan sebagaimana yang dimaksud di dalam ketentuan pasal 23 KUHP dan kemudian telah diatur lebih lanjut di dalam ketentuan pasal 94 ayat 1 samapi ayat 4 ordonansi 10 Desember 1917, STB. 1917 No. 708.
Perkembangan hukum pidana di Indonesia dalam hal penerapan sistem pemidanaan dua jalur (sanksi pidana dan tindakan) telah bayak diterapkan dalam untuk tindak pidana diluar kodifikasi KUHP. Penerapan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana (Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Bab III Pidana dan Tindakan Pasal 22, menegaskan Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini. Mengenai tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal (juvenile deliquency) terbagi atas; mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; dan menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.