Opini Harian Fajar “ Kok Bisa Plagiat”
Bagi anda yang sudah tinggal bertahun-tahun di Makassar dan sekitarnya, dipastikan mengenal Koran yang bermotto “bijak digaris tak berpihak” ini, ya..namanya Harian Fajar.
Walau harian ini dari Koran cetaknya terbilang mahal, Rp. 5000, tetapi tetap juga banyak peminat dan pelanggannya. Wajarlah! Sebab memang dari segi tampilan kelihatan cukup elegan. Belum lagi kalau diamati satu persatu dari halamannya, satupun kalimat tidak ada yang luput dari pengawasan sang editor pastinya.
Ternyata, satu hal yang tidak dapat dipantau oleh sang editor dari harian terbesar di Indonesia Timur ini, yaitu: kenakalan dari seorang penulis pada halaman opini-nya, dikala menulis artikel yang sebagian “dicomot” dari artikel orang lain tanpa mencantumkan sumber yang jelas.
Inilah yang terjadi pada salah satu opini yang muat kemarin di harian fajar, Sabtu, 16 April 2016 yang berjudul “Mencermati Sentralisme Pilkada Serentak” tampak sekali dari sebagain pragrafnya merupakan hasil copas dari salah satu opini di harian Seputar Indonesia, tulisan Andi Syafrani yang berjudul “Pilkada Serentak Tanpa Otonomi”.

Sumber: hasil capture dari koran-sindo.com
Salah satu bagian pragraf, diantaranya terdapat kesamaan, yaitu:
******
Opini Andi Syafrani:
Sejatinya, pilkada langsung adalah manifestasi konkret dan pintu awal pelaksanaan otda. Dengan dukungan dan legitimasi rakyat secara langsung, kepala daerah bertanggung jawab penuh terhadap rakyat daerahnya untuk mengembangkan dan mengelola pemerintahan daerah untuk kemakmuran rakyatnya.
Reward and punishment terhadap kepala daerah juga dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan. Jika dianggap berhasil dan sukses, kepala daerah tersebut akan dipilih lagi untuk periode berikutnya. Sebaliknya, jika gagal, akan ditinggalkan dan akan dipilih lawannya yang dianggap lebih berpotensi memimpin dan membangun daerah.
Mandat rakyat secara langsung itu tak bisa diimplementasikan karena kewenangan kepala daerah, khususnya bupati/wali kota, diikat dan dikerangkeng oleh norma sentralisme kekuasaan pemerintah pusat. Seluruh kewenangan kepala daerah otonom tingkat kabupaten/kota telah dibonsai dengan perangkat hukum yang mengharuskan mereka tunduk dan hanya menjalankan ”perintah” pemerintah pusat.
Konsep sentralistik UU Pemda ini secara eksplisit ditetapkan dalam ketentuan Pasal 9 yang membagi tiga urusan pemerintahan: absolut, konkuren, dan umum. Urusan pemerintahan absolut merupakan hasil kompromi kenegaraan yang terjadi sejak masa reformasi, dan ditegaskan dalam Pasal 10 (1), untuk menetapkan ada enam wilayah yang secara mutlak dikendalikan oleh pusat yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Link Opini Andi Syafrani: Pilkada Serentak Tanpa Otonomi Daerah
******
Opini H. Abustan:
Sebab sejatinya, Pilkada langsung adalah manifestasi konkret dan pintu awal pelaksanaan otonomi daerah. Dengan dukungan dan legitimasi rakyat secara langsung, kepala daerah bertanggung jawab penuh terhadap rakyat daerahnya, untuk mengembangkan dan mengelola pemerintahan daerah untuk kemakmuran rakyatnya.
Di samping itu, reward and punishment terhadap kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan. Jika dianggap berhasil dan sukses, mereka akan dipilih lagi untuk periode berikutnya. Tetapi, jika gagal, tentu ditinggalkan dan dipilih lawannya yang dianggap lebih berpotensi memimpin dan membangun daerah.
Mandat rakyat secara langsung tak bisa di implementasikan, karena kewenangan kepala daerah, khususnya bupati/wali kota, diikat oleh norma sentralisme kekuasaan pemerintah pusat. Seluruh kewenangan yang melekat kepada kepala daerah otonom tingkat kabupaten/kota, telah dikebiri dengan instrumen hukum yang mengharuskan mereka tunduk dan hanya menjalankan “perintah” otoritas pemerintah pusat.
Konsep sentralistif UU Pemda ini secara eksplisit ditetapkan dalam ketentuan Pasal 9 yang membagi tiga urusan pemerintahan: Absolute, Konkuren, dan Umum. Urusan pemerintahan absolute merupakan hasil kompromi kenegaraan yang terjadi sejak masa reformasi, dan ditegaskan dalam Pasal 10 (1), untuk menetapkan ada enam wilayah yang secara mutlak dikendalikan oleh pusat yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yudikatif, moneter, fiskal nasional, serta agama.
Link Opini H. Abustan: Mencermati Sentralisme UU Pilkada
Bisa dipastikan kalau penulis yang pertama dari antinomi UU Pilkada dan UU Pemda ini, yaitu Andi Safrani, sebab tulisannya lebih awal tayang di harisn Seputar Indonesia, bertanggal 7 April 2016. Sedangkan opini yang ditulis oleh H. Abustan, tayang di Harian Fajar, baru pada tanggal 16 April 2016.
Semenjak berita ini ditulis, penulis yang bernama Andi Syafrani telah memberikan konfirmasinya di salah satu kolom komentar dr status facebook Kasman MCtutu. Beliau mengatakan:
“Wah… sy baru tau. Scr pribadi sy ga kenal dg dosen tsb. Tulisan sy jg sy sht yakin tdk terinspirasi apalagi membaca dan menduplikat dr tulisan yg sdh ada. File asli tulisan sy msh ada. Yg dimuat di Koran Sindo telah mengalami sedikit editan ejaan dan ada sedikit pemotongan. Misalnya, saya menulis antrian, diubah oleh editor Sindo menjadi antrean. Sbg bagian dr komunitas akademik kampus, sy siap mempertanggungjawabkan tulisan saya. Dari aspek waktu publikasi, tulisan sy muncul duluan ke publik. Jika ybs keberatan dg tulisan hrsnya bs lgsg disampaikan ke sy pribadi atau editor Sindo, jika mmg mengetahui sejak awal. Sy pribadi tdk tau dan membaca tulisan ybs. Demikian pandangan sy. Salam”
“Jika ada yg perlu diklarifikasi terkait tulisan saya, sy sgt senang. Silahkan kontak sy di [email protected]. Tulisan saya ini sy kirim bbrp hari sblm dipublikasikan oleh Sindo, dan sdh sy edaran scr terbatas ke tmn2 kantor utk minta masukan dan koreksi serta Sbg arsip. Bbrp hari kemudian stlh sy cek Sindo, ternyata dimuat. Ada sat lg tulisan yg sy kirim ke redaktur Sindo ttg Pilgub DKI Jkt, tp krn mslh momentum, tulisan ini blm diterbitkan. Dalam menulis tulisan saya itu sy s sekali tdk pernah membaca tulisan lain krn bahan2nya saya ambil dr Permohonan saya di M terkait JR UU Pemda yg diajukan oleh Apkasi di mana sy dipercaya sbg Kuasa Hukum. JR ini telah didaftarkan sejak bln Oktober 2015, dan kin telah disidang 4x. Daftar no perkara adalah 137/PUU-XIII/2015. Silahkan cek di website Mahkamah Konstitusi. Kalau saya dituduh melakukan plagiat th tulisan lain, ini serius. Saya siap melakukan pembelaan hkm thd diri sy utk mslh ini. Apalagi kalau kemudian krn mslh ini sy kemudian mendapatkan masalah di Sindo dan media lainnya, sy akan lakukan tindakan pembelaan diri.
Smg ini bis dijelaskan oleh pihak2 yg bersangkutan shg memberikan jawaban yg jelas.
Salam,
Andi Syafrani.”
Di laman status yang sama, salah satu pegawai di harian fajar, Uslimin Usle juga mengklarifikasi:
“Ok, tk atas masukan dan kritiknya. Tapi, kami sebagai penerbit dari opini yg diindikasi nyaris sama dengan yang terbit di Sindo, itu di luar sepengetahuan redaktur opini di Fajar. Itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari penulis opini yang bersangkutan. Dalam hal ini, Bapak Abustan. Tapi apapun itu, kami berterima kasih atas segala masukan dari semua pihak yang begitu kritis terhadap muatan opini dan pemberitaan di Fajar. Bahwa kemudian ditemukan ada opini yang sudah terbit di media lain lalu Fajar juga memuatnya, itu kami akui sebagai sebuah kealpaan yg tidak seharusnya terjadi. Dan lewat media ini pula, kami sampaikan bahwa penulis yg bersangkutan akan mendapat perhatian ekstra dalam pemuatan tulisan/opini berikutnya. Wassalam
Semoga ini adalah kejadian yang pertama dan terakhir menimpa harian terbesar di Indonesia timur tsb, dan kiranya Harian Fajar segera mengambil tindakan atas perilaku penulis yang tidak menghargai karya orang lain ini. Kejadian begini, bukan saja popularitas dan nama besar Penulis yang tercederai, boleh jadi kredibilitas harian fajar oleh para pembacanya semakin menurun, gara gara harian fajar: “Kok Bisa Plagiat.”