Penelitian Hukum Empirik (Bukan) Menggunakan “Kacamata” Hukum
Diselah-selah kesibukan saya akhir-akhir ini, sembari beraktivitas di kampung halaman dan melanjutkan program kuliah di Pasca sarjana UMI Makassar. Di hari perkuliahan tiba-tiba saya terasa asing di tengah seorang dosen memberikan materi kuliah “metode penelitian ilmu sosial dan statistik”. Meskipun dari awal saya agak risih dengan mata kuliah ini, yang kalau dikaji lebih jauh sepertinya tidak ada hubungannya dengan model penelitian hukum. Namun saya bukan hendak membahas nama mata kuliah itu yang menjadi mata kuliah untuk program pra-pasca sarjana UMI Makassar.
Saya ingin fokus terkait dengan judul artikel ini, hal ini berawal dari seorang dosen tiba-tiba sewaktu memberi materi kuliah, dan mengatakan kalau penelitian hukum empirik sejatinya menggunakan kacamata hukum. Sontak kaget, kepalang saya merasa pernyataan tersebut berbeda dari sejumlah literatur penelitian hukum yang selama ini pernah saya baca. Diantara buku yang berbeda kiranya dengan pernyataan tersebut dapat ditemukan melalui buku yang ditulis oleh Bernard Arief Sidharta (Struktur Ilmu Hukum), Sidharta (Karakteritik Penalaran Hukum dalam Konteks Indonesia), termasuk buku terjemahan “Pengembanan Ilmu Hukum” Mewissen. Dari tiga literatur tersebut sangat jelas mengungkapkan kalau penelitian hukum empirik (walaupun dalam literatur tersebut dikatakan istilah yang benar adalah penelitian empirik terhadap hukum) adalah bukan menggunakan kacamata hukum.
Memang benar adanya penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan empirik sudah pasti menggunakan kacamata empirik (sosial), bukan kacamata hukum, dan hal itu memang sangat tidak mungkin hukum menjadi pendekatan dalam menelaah fakta-fakta dan gejala-gejala sosial.

Sumber Gambar: koffieenco.blogspot.com
Sebagai contoh dan saya kembali mengemukakan apa yang sering dikemukakan oleh dosen kebanyakan bahwa pelanggaran lalu lintas yang demikian sering terjadi padahal undang-undang lalu lintas sudah berapa kali revisi (UU No. 22 Tahun 2012), katanya mendeskripsikan fakta bahwa regulasi tersebut tidak berlaku efektif. Ketika kita menyimpulkan bahwa UU tersebut tidak berlaku efektif sudah pasti dan tegas kalau bukan analisis hukum yang bisa digunakan tetapi analisis sosial. Bisa menggunakan analisis sosiologi, psikologi maupun antropologi.
Dalam bahasa yang sederhana, termasuk ketika kebanyakan orang sering menggunakan teori sistem hukum Lawrence M.Friedman salah satunya kultur hukum. Lagi-lagi saya menyatakan itu bukan analisis hukum, tetapi analisis perilaku yang bisa saja menggunakan perspektif sosiologi.
Terakhir, bahwa pendekatan empirik terhadap hukum jika ternyata digunakan dalam penelitian kelak. Harus diketahui kalau posisi peneliti adalah sebagai pengamat (Observer), hukum di sini dilihat sebagai objek pengamatan. Nalar sehat kita pasti akan menjawabnya kalau hukum menjadi objek pengamatan maka terbantahkanlah, kalau penelitian emprik terhadap hukum mustahil menggunakan kacamata hukum.