Studi Kritis Atas Program Kesehatan Gratis (Studi Kasus: Kota Makassar)

Dalam mengkritisi peraturan perundang-undangan (regulation) program kesehatan gratis, digunakan dua metode. Metode pertama, kritik terhadap bentuk (form) peraturannya. Kedua adalah melihat bagaimana penerapan hukumya (law in action) dari peraturan tersebut berdasarkan isi (substance) dari undang-undang tersebut yang tersegmentasi dalam Pasal-Pasal.

Dasar hukum dari program kesehatan gratis sebagai kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi selatan, pada dasarnya berpedoman pada tiga peraturan perundang-undangan yaitu, Pergub Sulsel Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis  di Provinsi Sulsel, Pergub Sulsel Nomor 15 Tahun 2008 tentang Regionalisasi Sistem Rujukan RS  di Provinsi Sulsel dan Peraturan Daerah Provinsi Sulsel Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis.

Kejanggalan dari peraturan tersebut adalah lebih awal diterbitkan peraturan pelaksanaannya, yakni peraturan Gubernur, ketimbang peraturan daerahnya. Padahal hirearki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 7 UU No. 10/ 2004), jika dibandingan dengan peraturan pemerintah, selalu ditegaskan bahwa pelaksanaan undang-undang  ini, kemudian akan diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Artinya Peraturan Gubernur mestinya juga dibentuk setelah adanya Peraturan Daerah.

Peraturan Gubernur yang lebih awal dilembagakan, yakni Pergub Nomor 13 Tahun 2008 kemudian terbit Perda Nomor 2 Tahun 2009, dibandingkan dengan Peraturan Daerah, berarti lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjalankan program kesehatan gratis seperti Dinas Kesehatan, Kepala Balai Kesehatan, dan pelaksana tingkat Rumah Sakit,  belum memilki wewenang secara penuh (full power) dalam melaksanakan tata kelola pendanaan, dan pemanfaatan dana kesehatan gratis.

Demikian juga yang terjadi pada Tim pengendali provinsi, tim pengendali kabupaten, dan pelaksana tingkat rumah sakit (Pasal 39 ayat 1 Pergub No. 13 tahun 2008) belum memilki kewenangan secara penuh (full power)  sebagai lembaga yang terlibat dalam program kesehatan gratis.

Pembentukan Perda sebagai peraturan perundangan-undang, penting untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah sebagai lembaga eksekutif.  Apalagi menurut Jimli Asshiddiqie (2011: 73)  dengan mengacu pada asas otonomi daerah, Perda selayaknya dijadikan setingkat dengan undang-undang. Kalau begitu maka Perda menjadi mutlak untuk dibentuk oleh Gubernur bersama dengan DPRD dalam program kesehatan gratis ini, tidak mesti dengan langsung saja menerbitkan peraturan Gubernur, hanya karena dikejar janji program kesehatan gratis.

Oleh karena tanpa adanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang/ Perda lembaga yang menjadi pelaksana program kesehatan gratis, lembaga pelaksana tersebut dapat dikatakan bertindak sewenang-wenang, walaupun hal ini tampak sepele. Penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuapaten/ Kota sebelum melaksanakan program kesehatan gratis dalam kerangka otonomi dan kewenangan melakukan pelayanan kesehatan berdasarkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah agar dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, walaupun untuk tujuan kesejahteraan agar ada dasar hukum yang kuat. Hanya hukum (lex) sebagai peraturan yang dapat melegitimasi kebijakan pemerintah itu sehingga pemerintah dikatakan  tidak  sewenang-wenang (willekeur).

Disamping itu, untuk mengkritisi undang-undang bagaimana mekanisme pelaksanaanya berpihak pada keadilan, dapat digunakan fungsi Ilmu Hukum Administarsi Negara sebagaimana yang dikemukakan oleh Wiarda (dalam Utrecht: 1960) yaitu ”sifat dasar dari suatu peraturan”. Apa yang menjadi tujuan dari suatu peraturan dan apa yang menjadi dasar hukum lahirnya suatu peraturan. Hal ini dapat dilihat pada kata konsiderant mengingat, menimbang dan memutuskan suatu peraturan.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam konsideran menimbang Pergub Nomor 13 Tahun 2008, menegaskan ”bahwa penyelenggaraan pembangunan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan dasar gratis bagi masyarakat perlu dilakukan secara terpadu, terintegrasi, sinergi dan holistik serta pengaturan pembagian (sharing) pembiayaan dengan memadukan berbagai upaya dari pemerintahan kabupaten/ kota di sulawesi selatan dengan pemerintah provinsi sulawesi selatan dalam suatu sistem pembiayaan yang jelas, sarana dan prasarana kesehatan, sumber daya manusia, dan mutu pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimal (koersif penulis).

 

Hanya dengan standar pelayanan minimal. Makanya tidak heran jika dalam Pasal 1 ketentuan umum Pergub Nomor 13 Tahun 2008. Pelayanan kesehatan gratis adalah semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya dan pelayanan kesehatan rujukan di kelas III rumah sakit pemerintah daerah, yang tidak dipungut biaya dan obat yang diberikan menggunakan obat generik (lihat juga Pasal 23 ”pada dasarnya jenis pelayanan yang disediakan untuk masyarakat bersifat kompherensif sesuai indikasi medis, kecuali beberapa hal yang dibatasi dan tidak di jamin)

Dari pengamatan di lapangan. Penelitian di Rumah Sakit Wahidin (1 Mei s/d 3 Mei 2011), ternyata pasien yang ditempatkan di rujukan kelas III, tidak diperhatikan pelayanannya oleh perawat dan dokter, dokterpun hanya sekali-kali melakukan cek up pada setiap pasien yang  menumpuk gara-gara rujukan yang terlalu banyak dari rumah sakit Kabupaten.

Namanya saja program kesehatan gratis, padahal tidak ada satu pasien pun dari pengamatan di Rumah Sakit Wahidin, yang berada dalam rujukan kelas III, dibebaskan dari semua anggaran pengobatan. Oleh karena tidak selamanya pasien hanya memperoleh resep dari dokter dengan obat generik, makanya tidak mungkin gratis kebutuhan obat bagi pasien.

Kamar atau ruangan yang digunakan oleh pasien rujukan kelas III juga tetap dibayar, olehnya itu perdebatan pro dan kontra, apalagi menelisik program kesehatan gratis, selalu saja tidak ada tingkat kepuasan dan apresiasi berhasil dari masyarakat baik pengguna Jamkesda, Askes, dan kartu kesehatan gratis.

Nyatanya, kita hanya dipasung dengan angka peningkatan jumlah pasien yang menggunakan fasilitas rujukan kelas III, kunjungan ke Puskesmas yang meningkat (100 %) tapi masih sering ada pemungutan liar bagi pasien Ibu hamil seperti yang pernah terjadi di puskesmas jungpandang. Program kesehatan gratis telah berhasil hanya “seakan-akan/ as thoght” sebagai “simulakra” meningkat dengan angka dan presentase tingkat kematian yang menurun, dan hal itu belum tentu dipengaruhi oleh sigapnya pemerintah memperjuangkan program kesehatan gratis dengan slogan “jangan belenggu energimu untuk melakukan pelayanan kesehatan gratis.”

Dalam Pasal 27 Pergub Nomor 13 Tahun 2008, ditegaskan bahwa pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung antara lain:

  1. Operasi jantung.
  2. Kateterisasi jantung.
  3. Pemasangan cincin jantung.
  4. CT Scan.
  5. Cuci darah (haemodialisa).
  6. Beda syaraf.

Berdasarkan ketentuan tersebut masih terjadi disparitas (disparity) untuk memperoleh pelayanan kesehatan gratis, dengan cara apa masyarakat dapat menghindari penyakit dan tidak mengikuti standar pelayanan kesehatan gratis. Artinya hanya orang yang memiliki kekayaan yang dapat menggunakan fasilitas pelayanan yang layak, sedangkan diakui oleh Gubernur dalam setiap pertemuan ilmiah, masyarakat miskin dalam pelayanan kesehatan harus diproritaskan.

Undang-undang sudah menetapkan, ditutupnya (closed) bagi pasien yang tak memiliki dana untuk mendapatakan pelayanan sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 27. Belum lagi permasalahan lain sehingga disparitas terjadi pada pasien diruangan kelas III, hanya diperhatikan jika memiliki kekerabatan dekat dengan orang dalam.

Untuk memperoleh kartu kesehatan dan prosedur pelayanan pengobatan secara gratis diakui oleh keluarga pasien dalam penelitian, hanya bisa diakses bagi yang memiliki keluarga dekat dengan pegawai rumah sakit. Layak dikenakan dengan pameo yang sering diungkap oleh kritisi hukum/ juris (critical legal movement). Why the have come out a head (Mark Galanter). Mengapa orang berpunya selalu tampil ke depan ?

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...