Tirani Penetapan Kawasan Hutan
Selalu saja dengan dalih atas “nama negara” pemerintah mengebiri hak-hak masyarakatnya. Kasus Bachtiar dkk. di Sinjai, masyarakat Tabo-tabo di Pangkep. Dan yang terheboh dan terbaru lagi adalah kisah Nenek Asyani menjadi sampel, betapa penetapan kawasan hutan harus selalu mengorbankan masyarakat.
Demikian pula kisah-kisah “masyarakat hutan” di berbagai penjuru nusantara yang “dipukul mundur” dari tanahnya oleh pemerintah hanya karena penunjukan dan penetapan kawasan hutan. Masyarakat sekitar hutan seolah menjadi musuh yang paling pertama harus disingkirkan dari hutan.
Padahal pemerintah bukanlah “Tuhan” yang bisa melakukan tindakan sesuai kehendaknya tanpa memperhatikan masyarakat sekitar. Ada hak yang melekat pada masyarakat sekitar hutan, dilindungi oleh Undang-Undang atau bahkan konstitusi dengan membatasi otoritarian negara pada warga negaranya.

Sumber Gambar: skalanews.com
Perampasan Hak
Persoalan konflik kehutanan merupakan masalah klasik yang masih selalu terjadi. Kesalahan itu oleh pemerintah kerap terulang di masa sekarang. Lahan yang sudah dikuasai atau dimiliki masyarakat kadang kala secara tiba-tiba sudah “teraneksasi” menjadi kawasan hutan. Persoalan mendasarnya, bagaimana mungkin masyarakat yang memiliki alas hak kepemilikan, alas hak penguasaan yang secara turun temurun lalu sekonyong-konyong menjadi kawasan hutan tanpa pemberitahuan atau ganti rugi atas hak-hak yang dimilikinya itu.
Inilah yang terjadi di hutan Tabo-tabo Kabupaten Pangkep. Sawah yang sudah digarap secara turun temurun akhirnya masuk menjadi kawasan hutan, sehingga masyarakat yang menggarap sawah dianggap melakukan perusakan hutan. Padahal jauh hari sebelum lahan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh negara, mereka telah menjadi “penggarap asli” di sana secara turun-temurun.
Masyarakat sekitar hutan memiliki hak kepemilikan, hak penguasaan yang tidak boleh dirampas oleh negara tanpa ada pelepasan atau peralihan hak dari masyarakat “sang empunya” lahan. Ganti kerugian lahan adalah hak masyarakat, sehingga Pemerintah harus jeli, transparan, detail dan turun langsung ke masyarakat melakukan pendataan. Bukan hanya mengandalkan laporan dari aparat lapangan yang kadang manipulatif dan menghisap uang ganti kerugian.
Perlu diketahui bahwa Proses penetapan kawasan menjadi hutan terbagai dalam beberapa tahapan: penunjukan kawasan, penentuan batas-batas, penetapan sebagai kawasan hutan. Ketiga tahapan penetapan hutan demikian seyogyanya dilakukan secara transparan. Namun keadaan nyata dilapangan nampaknya jauh api dari panggang.
Idealnya, lahan masyarakat yang masuk penunjukan harus segera dikeluarkan dari kawasan hutan atau dilakukan ganti rugi pada pemilik hak atas tanah. Karena pada sesungguhnya hak-hak keperdataan lahan masyarakat yang dirampas untuk penetapan kawasan hutan dapat “dilawan” dengan gugatan perdata.
Demikian pula, penunjukan, penentuan batas dan penetapan lahan masyarakat sebagai kawasan hutan dapat dilawan dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah menggariskan bahwa keputusan, kebijakan atau tindakan pemerintah yang cacat substansi, cacat wewenang dan cacat prosedur dapat dimintakan pembatalan.
Dengan melalui saluran inilah masyarakat dapat menelusuri lorong keadilan akan kepastian perlindungan hak-hak lahannya yang ditunjuk atau ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Tirani Pidana
Satu hal yang lagi “ngetrend” saat ini, yakni sikap kebablasan menggunakan ketentuan pidana yang ada dalam UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) untuk menjerat masyarakat sekitar hutan. Kasus Bachtiar di Sinjai dan Nenek Asyani menjadi “tumbal” sesat penerapan ketentuan pidana UU P3H tersebut. Padahal “history of the making” UU P3H adalah untuk menjerat korporasi dan individu yang mempunyai sumber daya mapan.
Sasaran tembak UU P3H ditujukan untuk korporasi dan individu mapan pemilik modal, karena merekalah yang dianggap perusak utama dan menggundul hutan Indonesia dengan mesin-mesin canggih dan sumber daya manusia yang massif. History inilah yang menjadi ratio legis pembuat UU P3H mendefinisikan unsur “setiap orang adalah orang perseorangan dan atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi…” Sehingga dari pengertian tersebut sangat jelas bahwa yang disasar UU P3H tidak lain korporasi dan individu terorganisir saja.
Nampaknya bertolak belakang dengan cita-cita pembuat UU P3H. Undang-Undang ini dihempaskan dengan sesat penerapannya oleh para penegak hukum. Realitasnya, UU P3H banyak digunakan untuk memenjarakan masyarakat kecil disekitar hutan.
Tak perlulah menangkapi dan memenjarakan masyarakat sekitar hutan untuk menjaga hutan dari kerusakan, sebab mereka lebih tahu menjaga hutannya agar tetap lestari dan abadi. Masyarakat masih memegang teguh prinsip keseimbangan alam. Ketika hutan dijaga maka hutan pun akan memberikan kehidupan kepada manusia. Hutan selalu hijau dalam perawatan masyarakat sampai datangnya kerakusan “manusia kapitalis” membabatnya.
Pada akhirnya postulat hukum “le salut du people est la supreme lot —- hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat” harus didengungkan kembali ke telinga para penegak hukum agar tidak tuli karena telinganya, terhalang bisikan korporasi dan individu pemilik modal.
Mereka harus tahu bahwa masyarakat kecil mengambil manfaat dari hutan semata-mata agar mampu bertahan hidup, bukan karena nafsu ketamakan dan keserakahan bak kapitalisme korporasi. Hukum yang tak mampu melindungi masyarakat karena salah penerapannya, hanya akan menghamba pada kekuasaan tirani. (*)
Telah Muat di Harian Tribun Timur Edisi 8 Juni 2015