Kemerdekaan Dibalik Pilkada Hegemonik
Sebelum naskah preambule UUD 1945 disepakati bersama sebagai platform Republik Indonesia, jauh-jauh hari Mohammad Hatta memperingatkan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia tidak sama dengan kedaulatan rakyat negara barat, demokrasi barat cenderung individualisme, ekonomi dikuasai oleh kapitalis. Sementara masyarakat Indonesia berdasar pada kolektivitet, kedaulatan rakyat Indonesia juga menyangkut bidang sosial dan ekonomi.
Hal sama juga dinyatakan oleh Soepomo bahwa Indonesia harus menolak seluruh sistem demokrasi barat dengan unsur-unsurnya yang hakiki seperti jaminan hak-hak dasar terhadap kebebasan individu terhadap negara, prinsip mayoritas dan sistem parlementarisme.
Lebih tegas lagi Soekarno mengatakan bahwa demokrasi barat bukan demokrasi Indonesia, melainkat demokrasi impor. Paham oposisi yang khas bagi demokrasi telah menjadi sumber ketidakstabilan politik. Maka Indonesia hendaknya meninggalkan demokrasi liberal kembali kepribadian Indonesia sendiri dan hal itu berarti bahwa perlu dibentuk pemerintahan gotong royong, dimana tidak ada lagi oposisi.
Tiga tokoh pergerakan dalam perjuangan kemerdekaan menuju Indonesia yang lepas dari kolonialisme baik secara defacto maupun secara dejure, menjadi signifikan untuk kembali melacak pesan kemerdekaan RI dalam relasi dan prinsip resiprositas antara pangreh dan direh.

Sumber Gambar: pinimg.com
Pilkada Hegemonik
Kini kita telah melangkah ke format demokrasi yang amat liberal. Selain pemilu nasional yang menderivasi konsep demokrasi ala barat, juga pemilihan lokal (Pilkada) telah mengikuti corong demokrasi yang bersendikan prinsip mayoritas. Dan dibalik itu semua, amanat dan pesan kemerdekaan para founding leaders, terutama Hatta, Soepomo dan Soekarno telah tercerabut dari sosio historisitasnya.
Dengan format demokrasi langsung, kepala dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh direh, telah membuktikan kecurigaan Hatta akan terjadinya penguasaan ekonomi oleh kaum kapitalis. Pilkada langsung membuka tabirnya sendiri, ongkos politik telah membawa kepala daerah terpilih harus berjibaku dengan para pemilik modal untuk menduduki singgasana kekuasaan. Tak ada makan siang gratis, impasnya segala sektor sumber daya alam menjadi alat barter politik antara pengusaha dan penguasa.
Demikian pula dengan ketakutan Soepomo, kini sudah terbukti. Tat kala dibuka keran kebebasan sebesar-besarnya atas setiap orang, kebebasan berbicara, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, tibalah saatnya demokrasi yang diharapkan memberikan legitimasi dalam penyatuan bersama (integrasi), gagal dalam kenyataan. Dengan sebebas-bebasnya tanpa pedal rem, setiap orang bebas saling mencaci, menghina, menjatuhkan kehormatan dan nama baik, dalam arus persaingan antar pasangan calon kepala daerah.
Dan satunya lagi, amanat Soekarno untuk bertahan pada demokrasi kegotongroyongan yang kian hari dinggap tidak cocok dengan perkembangan ketatanegaraan kontemporer, telah menemui ajalnya.
Pada akhirnya, demokrasi liberal yang kita anut telah melumpuhkan tata kelola pemerintahan yang harus berjibaku antara kepala daerah dengan DPRD, itu terlihat dalam setiap program dan perencanaan yang bertujuan menjamin kesejahteraan rakyat.
Praktis, apa yang terjadi kemudian kalau bukan bentuk penjajahan hegemonik yang terselenggara secara terselubung, terstruktur, sistematis, dan masif. Dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah harus berdasarkan prinsip bebas, namun emprical-nya justru sebaliknya.
Demokrasi terselenggara secara prosedural, tetapi jauh panggang dari keadilan elektoral, minim demokrasi substantif. Rakyat dalam menunaikan hak pilihnya (right to be vote) bukanlah kebebasan yang utuh lagi mandiri. Sungguh bertentangan dengan unsur bebas, bahkan tidak sah, jika dilakukan dengan bujukan berupa politik bagi-bagi uang bagi pemilih. Kita sudah dua kali menyelenggaran Pilkada serentak, dan tak lama lagi memasuki fase ketiganya (2018). Toh kriminalisasi money politic tidak sama sekali mampu menekan angka kejahatan Pilkada dalam titik terendah.
Semuanya itu disebabkan oleh kegopohan kita semua, terutama mereka yang mengatasnamaka diri sebagai wakil rakyat sudah kehabisan akal menggali akar sejarah kemerdekaan, dari karakter dan kepribadian bangsa sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan dahulu kala.
Tidak Langsung
Bertepatan dengan HUT RI yang ke-72 ini, tak ada salahnya untuk kembali menelusuri dokumen historis dan falsafah ketatanaegaran dalam format antropologik. Bangsa Indonesia bukanlah kumpulan individu yang hanya ingin menang sendiri.
Patron pemilihan secara tidak langsung bukan berarti kita melangkah semakin mundur. Sepanjang wakil-wakil rakyat kita sudah dipilih secara langsung, kepada merekalah dibebankan amanat kemerdekaan, dalam rasa persatuan Indonesia, untuk bermusyawarah, bermufakat, bergotong-royong dalam melakukan pengisian jabatan pemerintah daerah.
Format pengisian jabatan tidak perlu menghabiskan energi dengan mencari bayangan di negara barat. Jika kita merasa sudah merdeka, mengapa kita masih mauh dijajah dengan format demokrasi ala barat yang sudah kita rasakan banyak kelemahan dan kegagalannya.
Di tanah ini, Indonesia dengan keanekaragaman budayanya, praktik ketatanegaraan sudah jelas formatnya. Suatu pranata badan yang bernama dewan adat (Ade Pitue di Bone, Tellu Randrang di Wajo, Bate Salapang di Gowa) cukup bermusyawarah dalam mengangkar raja-rajanya.
Mengapa bukan itu yang dipraktikan dalam sistem ketatanegaraan kita? Bukankah yang demikian menunjukan kalau dalam soal ide ketatanegaraan kita juga bisa berdaulat? Hilangkanlah Pilkada hegemonik menyongsong kemerdekaan RI yang ke-72.