Silent Operation KPK: OTT Vs Penyadapan
Silent operation Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai hasil. Korbannya adalah salah seorang anggota DPR perempuan yang disinyalir berasal dari Partai Hanura. Dia ditangkap di Bandara Soekarno Hatta bersama dengan rekannya. Bagi KPK ini bukanlah hal yang luar biasa. Sebab hampir di setiap masa periode legislatif maupun eksekutif, KPK rutin melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Penangkapan ini pun seolah mengonfirmasi bahwa dewan boleh berubah namun OTT tetap ada pada setiap zamannya.
Banyaknya kasus yang terjerat OTT ternyata tidak membuat penyelenggara Negara atau pengusaha takut melakukan transaksi korupsi. Mereka lupa atau mungkin tidak peduli bahwa setiap saat KPK bisa saja melakukan OTT. Selama KPK diberikan kewenangan penyadapan mungkin OTT akan selalu hadir menghiasi pemberitaan media. Rupanya OTT belum mampu menjadi ketakutan yang melekat dalam alam pikiran Calon koruptor.
Keunggulan OTT
Tertangkap tangan dimaknai sebagai tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera setelah tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak sebagai orang yang melakukannya. Dalam perspektif hukum pidana , tindak pidana korupsi yang berpotensi terjerat OTT adalah tindak pidana penyuapan dan permufakatan jahat (Samenspaning). Namun statistik menunjukkan semua kasus OTT KPK yang terjaring adalah peristiwa penyuapan kepada aparatur Negara. Kasus Akil Muchtar, Lutfi Hasan Ishak, Rubiandini, hakim Syarifuddin. Adalah sample betapa OTT mampu menjerat siapa pun meski sekelas pimpinan lembaga Negara atau pimpinan partai berkuasa (Rulling Party).
OTT merupakan tulang punggung strategi KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Ada beberapa keunggulan dari OTT: Pertama, mampu menyingkap tabir administrasi penegakan hukum. Dengan OTT, KPK atau penegak hukum lainnya dapat menangkap seseorang tanpa menujukkan surat penangkapan.
Kedua, proses administrasi tersangka yang terjaring OTT akan lebih cepat dibandingkan dengan kasus yang diproses tanpa tertangkap tangan. Akselerasi administrasi dimungkinkan karena sebelum OTT, KPK sudah memiliki bukti awal sehingga mampu melakukan OTT.
Ketiga, OTT memberikan Bukti yang sempurna. Tindak pidana korupsi jarang terungkap bukan karena tidak ada kerugian Negara yang terjadi tapi karena sulitnya mengumpulkan alat bukti. KPK dibebani tugas yang berat, karena tidak boleh menghentikan kasus pada saat sudah memasuki tahap panyidikan. Pada titik inilah mengumpulkan alat bukti adalah kerja rodi yang menguras tenaga dan pikiran. Mengumpulkan alat bukti bukan sekedar bermain otot ketahanan tubuh, butuh strategi dan seni menyerang menggunakan alat bukti tersebut.
Keempat, OTT mampu membungkam mulut tersangka dari alibi dan alunan dalil-dalil pembelaan yang merdu. Siapa yang tidak mengenal Akil Muhtar? Mantan Ketua Mahkamah Kontitusi yang tentu tidak diragukan lagi kepiawaiannya mendendangkan pasal-pasal hukum. Namun berkat OTT Akil Muhtar tak mampu mengelak perbuatannya. Alibi tersangka “penjebakan” dengan mudah dimentahkan oleh KPK karena lebih dahulu memiliki rekaman pembicaran sebagai bukti adanya mensrea antara penyuap dan yang disuap.
Penyadapan
Ketika semua pihak sepakat bahwa OTT adalah upaya jitu memberantas korupsi maka dari pondasi frame itulah kita juga membangun diskurusus bahwa penyadapan menjadi penting. Karena awal mula OTT itu dimulai dari penyadapan. Kewenangan penyadapan inilah yang membuat KPK memiliki senjata rahasia nan mematikan bagi Koruptor. Tanpa penyadapan tak ada OTT. Dan tanpa OTT, KPK pincang menghadang arus korupsi dari hulu ke hilir.
Diskurus mengenai pentingnya kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan, pekan lalu diusik oleh legislator DPR. Mencuat ke publik kewenangan tersebut akan diderogasi melalui rancangan revisi UU KPK. Draf tersebut menegaskan penyadapan hanya boleh dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan negeri. Ketentuan ini berpotensi menghilangkan OTT. Sulit membongkar hiden operation Koruptor, jika tidak didahului dengan penyadapan.
Sesungguhnya kewenangan penyadapan KPK pernah dikorek oleh seseorang yag merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Pasal ini dianggap inkonstitusional karena mengusik hak privat yang dilindungi oleh konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) dengan segala kebijaksanaan dan keluasan khazanahnya memutuskan untuk menolak judicial review tersebut, sehingga semakin menguatkan konstitusionalitas kewenangan penyadapan KPK.
Dengan penyadapan, KPK seolah memasang tentakel-tentakelnya guna mendeteksi dini terjadinya tindak pidana korupsi khususnya peyuapan. Kendala pengungkapan tindak pidana penyuapan karena tidak menyisakan jejak terjadinya peristiwa. Para pelaku bersepakat melakukan dengan cara tersamar dan akan menghilangkan bekas-bekas terjadinya peristiwa penyuapan. Sehingga jika tidak dideteksi sedini mungkin, maka delik ini hanya akan dirasakan terjadi, tapi sulit untuk membuktikannya. Penyadapanlah yang mampu memvisualisasikan terjadinya tindak pidana penyuapan..
Dapat dibayangkan penyadapan pun ternyata belum mampu membuat para wicked people takut melakukan delik korupsi. Padahal penyadapan sudah masuk ke ruang privat , seharusnya mereka aware, karena ada “malaikat kecil” KPK dalam tugasnya melakukan penyadapan yang senantiasa mengintai perbuatan calon-calon koruptor.
Karenanya, sekelompok orang yang ingin mengamputasi kewenangan penyadapan ini, adalah mereka yang tidak ingin melihat kasus korupsi terbongkar ataukah mereka adalah calon-calon koruptor yang ingin memuluskan jalannya.*