Partai Politik Bubar, Negara Ikut Bubar (Tanggapan untuk Abdul Gaffar)

Pagi hari, saya memabaca kolom opini harian Tribun Timur, tertanggal 2 Juni 2014. Tiba-tiba langsung kaget! Ketika membaca sebuah kolom berjudul Saatnya Bubarkan Partai Politik ditulis oleh Abdul Gaffar yang berlatar belakang Dosen Ilmu Komonikasi Unhas Makassar. Bagaimana tidak? Rasanya tidak habis pikir, seorang yang bergelut tiap harinya di dunia kampus, tampaknya sudah mengalami “frustrasi” stadium empat, melihat tingkah laku elit partai politik kita saat ini.

Statement yang demikian bukan hal baru, dan terjadi untuk kalangan yang bergelut dalam ilmu politik saja. Dalam dunia “ilmu hukum-pun” seringkali kita juga menemukan, seorang akademisi yang berujar demikian, apa-apa yang dirasa sulit diperbaiki, tinggal berpikir dan kemudian mengeluarkan pendapat “bubarkan saja”. Pasti pembaca yang rutin mengikuti wacana penegakan hukum saat ini, bukan hal yang latah, ada juga yang hendak membubarkan beberapa institusi hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan paling santer kita dengar, adalah munculnya wacana pembubaran KPK.

Pertanyaan sekarang, dapatkah argumen Abdul Gaffar dikategorikan sebagai pendapat yang bisa diterima oleh akal sehat (common sense) kita? Jawabannya: belum tentu.

Entah beliau tahu fungsi partai politik hadir di setiap negara. Ataukah maksud lain hanya memberi judul opini pada harian ini, yang seolah tampak “seksi”. Tidak ada salahnya jika argumentasi demikian, patut untuk ditelaah bersama terkait dengan benar tidaknya alasan beliau, sehingga partai politik pantas dibubarkan. Hanya dengan melihat beberapa dalil-dali yang dikemukakannya.

Sumber gambar

Sumber Gambar: mashurielectric.blogspot.com

Negara Bubar

Sampai sekarang, dalam semua literatur ilmu politik dan hukum ketatanegaraan, saya belum pernah menemukan satu-pun, ada organisasi lain yang kiranya dapat menjadi agen/ saluran merekrut pejabat publik untuk mengisi dua organ kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif (bisa di baca: DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, dan Kepala Daerah). Bahkan dalam hal tertentu, bisa pula dikatakan organ kekuasaan yudikatif-pun tidak bisa dilepaskan dari yang namanya partai politik. Oleh karena setelah partai politik mengajukan calon anggota legislatif, kemudian terpilih sebagai anggota legislatif (DPR), jabatan kekuasaan kehakiman (MA, dan MK) pada akhirnya dipilih oleh anggota DPR pula.

Itu artinya, kalau berdalil bahwa partai politik dengan segala carut-marutnya, sehingga pantas dibubarkan. Maka pertanyaan yang kiranya harus dijawab terlebih dahulu oleh Abdul Gaffar, apakah ada institusi lain yang kiranya bisa menjadi saluran bagi rakyat dalam menentukan dan/ atau memilih pejabat, kelak akan mewakili segala hak-hak rakyat itu? Kalau memang ada, dan sesuai dengan nalar sehat kita. Maka pada poin itu silahkan bubarkan saja “partai politik” yang ada saat ini.

Ada institusi atau elemen rakyat di negeri ini, bisa dikatakan memiliki sumbangsi terbesar dalam mengantar negeri ini di titik kemerdekaannya, yaitu organisasi NU (Nahdatul Ummat) dan Muhammadiyah, tapi kalau dua elemen itu diberikan hak mengajukan calon pejabat publik, untuk selanjutnya dipilih oleh rakyat. Dalam kaca mata/perspektif sosiologi tidak pantas juga. Sebab, juga tidak mampu atau belum mewakili corak keanekaragaman masyarakat di negeri ini. Maka di situlah hadir partai politik sebagai pengejawantahan dari semua corak masyarakat yang multikompleks. Pada poin itu, juga menjadi jawaban atas pertanyaan, kenapa kita menganut multi partai? Sebab banyak model keanekaragaman yang tergambar dari berbagai macam suku, ras, agama, dan kondisi geografis negeri ini yang dipisah-pisahkan oleh beberapa pulau-pulau.

Selain itu, dalam negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan semata (machstaat). Hierarki perundang-undangan, oleh UUD NRI 1945, sebagai norma hukum tertinggi, konstitusi kita hanya memberi wewenang satu-satunya kepada partai politik saja. Untuk mengajukan calon anggota legislatif dan untuk mengajukan pula Presiden dan Wakil Persiden. Hak tersebut, yang diberikan terhadap partai politik, merupakan “right of previlage constitution”, adalah hak khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, karena dianggap partai politik merupakan instrumen/ alat yang menjadi “wasit” antara pemerintah dengan rakyat, guna menegakkan prinsip demokrasi yang bebasis pada dimensi kedaulatan rakyat.

Dengan demikian, bukan hal berlebihan. Niat untuk membubarkan partai politik sama saja dengan niat untuk ikut membubarkan negara pula. Logikanya, bagaimana mungkin negara bisa menjalankan fungsi-fungsinya, sementara pejabat yang mau menjalankannya tidak ada. Sebab partai politik-pun yang telah diberi wewenang untuk menyediak calon pejabat publik, juga sudah dieleminir. Tidak hanya itu, efek yang akan timbul ketika partai politik dibubarkan, hak-hak rakyat yang berdaulat otomatis akan hilang pula. Rakyat tidak lagi terakui sebagai salah satu unsur utama dalam sebuah negara.

Reformasi Partai Politik

Alasan untuk membubarkan partai politik, hanya karena partai politik tidak dapat “mendisiplinkan’ kadernya, ataukah partai politik hanya menjadi tempat mencari keuntungan finansial. Bukanlah alasan mendasar sehingga Partai politik tersebut pantas dibubarkan.

Sebenarnya ada alasan lain yang bisa diterima oleh “konsensus moral” kita bersama. Adalah ketika Partai politik tersebut terlibat dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Ini yang lebih penting dan utama menjadi diskusi kita bersama. Melalui strategi “politik hukum” agar terbentuk regulasi, bahwa partai politik dapat dibubarkan jika terbukti  menerima aliran dana/ uang haram dari perbuatan korupsi. Kita semua tahu, bahwa Undang-Undang Partai Politik selama ini, tidak menjadikan syarat yang legitim. Kalau, alasan partai politik dapat diajukan pembubaran ke MK, jika Partai politik tersebut menjadi atau ikut serta sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Persoalan menyolidkan kekuatan intenal partai, agar taat kepada AD/ART mereka. Cukup dengan reformasi di lingkungan partai politik. Baik itu reformasi pada sistem pengkaderan anggotanya yang harus jelas model dan sistem pengkaderannya, reformasi perekrutan anggota yang mesti dilaksanakan secara transparan. Maupun pada reformasi sistem keuangan partai politik yang harus transparan.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...