Kepemimpinan Minus Karakter dan Sindrom Negara Satgas

Ada banyak ukuran untuk menilai kuatnya suatu Negara. Diantaranya, penegakan hukum dan wibawa kepemimpinan. Untuk penegakan hukum, Negara kuat dicirikan dengan penerapan hukum yang konsisten dan tidak pandang bulu. Hukum bekerja tidak seperti teori sarang laba-laba yang hanya bisa menjaring serangga kecil, sementara serangga besar lolos bahkan bisa merobek jaring. Namun hukum bekerja berdasarkan aturan main (rule of the game) yang sudah disepakati dan dilaksanakan secara konsekuen, tidak lemah, apalagi diksriminatif.

Sementara untuk ukuran kedua, Negara kuat dicirikan dengan kepemimpinan yang mampu mengkombinasikan antara integritas pribadi (integrity), teknik kepemimpinan (technical maestry), cepat, tepat dan tegas dalam mengambil keputusan (decisiveness), dan dapat dipercaya (faith)

Namun di antara keduanya, faktor kepemimpinan (leadership) menjadi ukuran utama untuk menilai kuat-tidaknya suatu Negara. Gaya dan karakter kepemimpinan tidak mesti disyaratkan secara tertulis dalam undang-undang, ia terbawa secara lahiriah. Juga tidak terpatok apakah ia berasal dari sipil atau militer, keduanya memiliki catatan tersendiri dalam buku sejarah. Soekarno di Indonesia, Mahatma Gandhi dari India dan Hugo Chaves dari Venezuela adalah sketsa pemimpin yang mampu membawa Negara di segani di mata dunia.

Soekarno misalnya, dalam konfrontasi RI-Malaysia, maupun dalam pembebasan Irian Barat menunjukan karakter pemimpin tegas dan berani. Tipikal pemimpin yang tidak kompromi dengan segala macam gangguan yang dianggap merongrong kedaulatan Negara. Ia juga seseorang yang anti dan memusuhi imperialisme, dibuktikan dengan kebijakannya menasionalisasi beberapa perusahaan Belanda untuk menyelamatkan ekonomi Negara ketika itu. Sikap yang juga dilakukan oleh Hugo Chavez, presiden Venezuela yang berani melakukan kebijakan nasionalisasi perusaahaan-perusahaan asing demi menyelamatkan ekonomi Negara yang sedang dilanda krisis, walaupun diancam dan ditekan.

Sementara Mahatma Gandhi, terkenal dengan gerakan swadeshi. Ia mampu membangkitkan nasionalisme kebangsaan dengan meyakinkan rakyatnya agar memakai produk dalam negeri. Sementara ketika itu India masih dalam jajahan Inggris, bersamaan dengan ekspansi produk Eropa di beberapa Negara di Asia sebagai akibat imperialisme. Satu karakter utama yang dimiliki Gandhi adalah sikapnya dalam menghadapi imperialisme. Jika pemimpin di Negara lain mengutamakan kekuatan militer, maka Gandhi lebih memilih berjuang bersama rakyat.

Kepemimpinan Minus Karakter

Tiga pemimpin diatas adalah tipe pemimpin yang memiliki integryti dan  technical maestry. Berani tegas, tidak lemah di mata lawan, cepat dan tidak lamban, apalagi terlambat dalam mengambil tindakan. Seperti pembentukan Satgas Penanganan TKI sementara nyawa sudah melayang. SBY terlihat “panik” dikepung dua kasus sekaligus yang sama-sama mempertaruhkan kedaulatan Negara. Pertama adalah kasus Nazaruddin, seorang petinggi Demokrat yang “kabur” ke Singapura setelah terjerat suap dalam kasus pembangunan Wisma Atlet di Palembang.

SBY semakin terpojok ketika tim dari Demokrat yang ke Singapura untuk membawa Nazaruddin pulang dengan tangan kosong. Pengaruh SBY, baik sebagai kepala Negara maupun ketua dewan Pembina Demokrat “dipandang sebelah mata” oleh Nazruddin yang nota bene adalah kader Demokrat yang berlindung dibawah yurisdiksi hukum Singapura.

Kaburnya Nazaruddin ke Singapura menambah daftar panjang koruptor yang berhasil “mengebiri” hukum di Indonesia. Entah sudah berapa banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, sebuah Negara kecil yang hanya berjarak sekian kilometer dari Batam-Indonesia. Mulai dari mafia BLBI, Edi Tansil dan kawan-kawan, kemudian Nunun Nurbaeti dalam kasus cek pelawat pemilihan Gubernur BI Miranda Goeltom, Gayus Tambunan dalam kasus mafia pajak, hingga Nazaruddin.

Para koruptor ini merasa “aman” melarikan diri ke Singapura hanya karena satu “kalimat sakti” dalam hukum internasional, perjanjian ekstradisi! Ya, Indonesia memang tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Singapura! Satu kalimat sakti bernama perjanjian ekstradisi ini telah meronrong kedaulatan Indonesia sekian lama. Para koruptor berleha-leha dan menikmati kebebasannya di sana, sementara hukum di Indonesia dibuat repot dan menjadi sasaran caci maki publik. Menginjak-nginjak harga diri bangsa dan Negara, dan anehnya, dalam KTP mereka tertulis sebagai “warga Negara Indonesia”.

Dalam kondisi demikian, Presiden sebagai kepala negara juga tidak menunjukan sikap tegas dihadapan Singapura untuk menunjukan Indonesia sebagai Negara berdaulat yang masih memiliki martabat dan harga diri. Sikap tegas ini tidak harus dengan konfrontasi militer seperti yang pernah dilakukan Soekarno untuk menunjukan kejengkelannya pada Malaysia. Sekalipun itu menunjukan sosok Soekarno sebagai tipikal pemimpin yang tegas dan berkarakter. Seorang pemimpin yang berani mempertahankan kedaulatan dan wibawa Negara.

Dalam konteks RI-Singapura, SBY tidak mesti mengikuti jalan konfrontasi militer ala Soekarno, untuk menyikapi sikap Singapura yang senang menampung koruptor dari Indonesia. Masih banyak pilihan diplomasi yang bisa dilakukan. Setidaknya, memperkuat tekanan diplomasi dengan komunikasi antara dua kepala Negara secara face to face untuk meminta Perdana Menteri Singapura agar tidak mengizinkan koruptor dari Indonesia menginjakan kaki di Singapura, ini jikalau Indonesia dipersulit dengan politik ekstradisi yang dimainkan Singapura.

Penguatan diplomasi dengan Singapura untuk menyikapi sikap para koruptor yang sudah “keterlaluan” ini bisa merujuk pada Konvensi Anti Korupsi yang diprakarsai PBB pada 2005 lalu; United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Dalam konteks kerjasama internasional ini, UNCAC memandang bahwa saat ini korupsi bukan hanya menjadi masalah yang bersifat lokal, tetapi sudah menjadi fenomena dunia yang berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, dimana hal ini telah menyadarkan dunia tentang pentingnya tercipta kerjasama internasional untuk menengah dan mengontrol masalah tersebut.

Pelaku kejahatan internasional tidak memedulikan kekuasaan hukum dan batas geografi suatu Negara kecuali bagi mereka yang dengan sengaja menghindari tuntutan yang telah mereka hadapi. Pendapat ini disampaikan oleh Hakim La Forest dari Mahkamah Agung Kanada dalam kasus Amerika Serikat vs Catroni bahwa “Batas geografi wilayah suatu Negara akan sangat berarti bagi para pelaku kejahatan internasional bila batas wilayah Negara tersebut mampu menghambat penegakan hukum dan kekuasaan pemerintah.”

Atau seperti yang diungkapkan mantan Sekjen PBB, Kofi Anan saat berbicara di Palermo, “Apabila kejahatan bisa melintasi semua batas Negara, begitu pula seharusnya dengan proses penegakan hukum” (Ian McWalter: 2006: 248). Jika demikian, maka pertanyaannya, apa yang membuat Indonesia “tidak berkutik” dihadapan Singapura?

Sindrom Negara Satgas

Sementara dalam kasus Ruyati, seorang TKI yang divonis mati denan hukuman pancung di Arab Saudi, kelambanan SBY berakibat fatal. Nyawa seorang warga Negara terbuang sia-sia akibat kelambanan Negara mengambil tindakan preventif dan protektif. Satgas TKI ibarat senapan tak berpeluru yang hanya menguatkan citra SBY sebagai seorang pemimpin yang lamban, lebih sibuk membuat Satgas. Sama dengan kekeliruan SBY membuat Satgas Mafia Hukum sementara Polri, Kejaksaan dan KPK sudah ada. Indonesia terkena “penyakit” sindrom Negara Satgas.

Kasus Ruyati tidak saja menunjukan kegagalan Negara untuk mensejahterakan warganya dengan penyediaan lapangan kerja yang cukup, sehingga tidak harus menjadi “budak” di Negara lain, namun juga menunjukan lemahnya integritas presiden sebagai kepala Negara dalam melindungi warga negaranya di Negara lain.

Entah sudah berapa banyak penderitaan dan pelanggaran HAM yang menimpa TKI di Arab Saudi, terlunta-lunta di negeri orang sampai harus tidur di kolong jembatan. Sementara di negeri sendiri, para politikusnya sibuk berdebat mengenai anggaran renovasi gedung DPR yang menghabiskan dana milyaran. Pertanyaan sederhananya, mana lebih penting, nyawa manusia atau renovasi gedung? Saya kira bapak Presiden sudah tahu jawabannya

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...