Dasar-dasar Hermeneutika Hukum
Pada awalnya hermeneutika hukum berkembang dibawah pengaruh inspirasi ilmu hukum, hal ini terlihat melalui kodifikasi corpus iuris civilis pada abad keenam. Pada abad ke-12, di Italia juga muncul kebutuhan pada suatu metode yang membuat teks yuridikal yang berlaku dari suatu periode historikal terdahulu lewat interpretasi dapat diterapkan untuk suatu tipe masyarakat yang sama sekali berbeda. Penerapan hukum terhadap masyarakat yang berbeda tersebut dikenal sebagai pertumbuhan prinsip territorial yaitu bagaimana kekuatan hukum menjalin kerjasama antara dua orang yang tinggal ditempat yang berbeda yang merupakan kajian hukum perdata internasional. Dalam pembentukan hukum tersebut diperlukan interpretasi hukum, misalnya lahirnya doktrin tentang penunjukan kembali (renvoi).
Hermeneutika hukum merupakan salah satu kegiatan interpretasi terhadap teks-teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen hukum, naskah-naskah hukum dan doktrin yang diungkapkan oleh para ahli. Selain interpretasi yang selalu digunakan dalam hukum pidana dan perdata seperti interpretasi gramatikal, interpretasi historis, interpretasi sisitematis, interpretasi teologis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristis, interpretasi restriktif, dan interpretasi ekstensif, maka hermeneutika hukum juga dapat digunakan dalam penemuan hukum.
Menurut Arief Sidharta (1992:9) hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis adalah dua model penalaran yang terkait sangat erat. Konstruktivisme tidak mungkin ada tanpa bangunan hermeneutis di dalamnya. Oleh karena itu keduanya dibicarakan secara bersamaan sebagai satu kerangka berpikir ilmiah. Dibandingkan dengan model penalaran lain, Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis memiliki keistimewaan karena menjadi state of the art dalam teori-teori epistemologis era posmodern dan sejak awal sengaja didesain untuk lebih “akrab” dengan ilmu-ilmu yang berbasis sosial atau kemanusiaan (ilmu hukum diasumsikan termasuk dalam kelompok ini). Di sisi lain, Hermeneutika sendiri bukan model penalaran yang asing bagi disiplin hukum. Hans-Georg Gadamer (Sidharta: 1998) dalam Truth and Methods mengemukakan:
“Legal hermeneutiks is, then, in reality no special case but is, on the contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutikal problem and so to retrieve the former unity of hermeneutiks, in which jurist and theologian meet the student of the humanities”.
(hermeneutika dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus/baru tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksi kembali dari seluruh problem hermeneutika dan kemudian untuk membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora/ilmu kemanusiaan)
Hermeneutika hukum yang dikembangkan oleh Gadaner adalah bukan sebuah metodologi ilmu pengetahuan manusia, tetapi sebuah usaha untuk memahami apa sebenarnya ilmu pengetahuan manusia, melampaui kesadaran diri metodologis ilmu pengetahuan tersebut, dan apa yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan totalitas pengalaman kita dengan dunia (Gadaner, 2004:viii dan xii). Jadi hermeneutika hukum melakukan penafsiran secara holistik terhadap teks, konteks dan kontekstualisasi.
Dengan demikian studi pengkajian hermeneutika hukum tidak terletak pada kajian hukum yang empirik, doktrinal maupun praktik, melainkan ia berada dalam kajian pengembang hukum teoritis yang kemudian dapat diterapkan kajiannya dalam sistem hukum internal pegemban hukum praktis (lembaga judisial, bantuan hukum dan pembentuk hukum).