Perlindungan Konsumen Transportasi Online
Gegara demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah driver taksi konvensional bulan April lalu dengan tujuan mendesak kepada pemerintah untuk menghentikan pengoperasian grab dan go-car (taksi online) karena telah mengurangi pendapatan hariannya.
Menindaklanjuti tuntutan itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan hajatannya untuk menerbitkan Peraturan yang akan melarang pengoperasian taksi online.
Dan sekarang, Permenhub PM 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek telah ditetapkan; apakah sejauh itu peraturan Gubernur terkait pelarangan operasi taksi online kiranya dapat dibenarkan?
Jika diperhatikan secara cermat Permenhub tersebut, beleid pelarangan taksi online justru menyimpang dari isi ketentuannya. Oleh karena Permenhub, malah melegalkan penggunaan transportasi berbasis elektronik dengan prasyarat diantaranya: pembatasan onn-tarif, uji KIR, dan balik nama STNK atas nama perusahaan yang bergerak di bidang transportasi online.

Sumber Gambar: detik.net.id
Tranportasi Online
Mempersoalkan transportasi online pada sesungguhnya bukan dalam salah satu lapangan hukum saja. Disadari permasalahan ini memang dalam wilayah hukum transportasi, akan tetapi dalam hukum transportasi banyak bersinggungan dengan kepentingan hukum sektoral lainnya, seperti: hukum perlindungan konsumen, hukum antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, termasuk hukum pidana dan hukum administrasi in casu akan bersinggungan dengan permasalahan transportasi.
Dengan merujuk kembali melalui UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) dapatlah dikatakan kalau pengaturan transportasi online tidak pernah diatur di dalamnya. Sehingganya, kalau hendak berpatokan pada hierarki perundang-undangan, maka langkah Menhub merevisi ketentuan angkutan sebenarnya sudah keliru. Permenhub telah membentuk ketentuan baru yang tidak diatur sebelumnya dalam UULLAJ.
UULAJ sebagai umbrella act hukum transportasi darat, itulah yang seharusnya direvisi demi mengakomodasi tranportasi online yang di satu sisi amat diminati oleh konsumen-penumpang, tetapi di sisi lain merugikan perusahaan tranportasi konvensional.
Pentingnya revisi UULLAJ tiada lain juga untuk mengakomodasi beberapa alat tranportasi lainnya yang pada dasarnya dijadikan sarana angkutan umum tetapi oleh UU a quo justru belum mengakomodasi, bahkan melarangnya. Keadaan ini bisa diamati pada penggunaan sepeda motor yang kemudian dijadikan sebagai sarana angkutan umum (bukan lagi angkutan pribadi) berupa ojek konvensional maupun ojek online (seperti Go-jek), padahal dalam UU hanya ditujukan sebagai sarana angkutan pribadi.
Parahnya lagi, terdapat pula kendaraan yang merupakan hasil rekayasa (modifikasi), penggabungan antara becak dan motor (Bentor) saat ini sudah beroperasi lama, diminati pula oleh penumpang, akan tetapi oleh UULLAJ sebenarnya tetap melarang jenis transportasi tersebut, hingga mengkualifisirnya sebagai tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan kalau tetap dioperasikan.
Mau tidak mau, memang UULLAJ yang harus direvisi akibat kemajuan tekhnologi yang sifat aslinya memudahkan bagi manusia itu sendiri. Dan agar tidak terjadi konflik kepentingan di tengah-tengah masyarakat, khususnya antara pelaku usaha, dan konsumen-penumpang juga “aman” dalam penggunaan jasa transportasi, maka ke depannya yang harus mendapat pengaturan tambahan, yaitu: (1) Baik sepeda motor maupun becak motor harus dikulifikasikan sebagai kendaraan angkutan umum, tentunya kedua jenis transportasi ini harus lolos uji layak angkutan umum agar tidak mengancam keselamatan penumpang; (2) Semua jenis transportasi berbasis online tidak dibenarkan mengangkut penumpang, apabila belum memenuhi persyaratan adminitratif dan persyaratan fisik sebagai alat angkutan umum.
Kini, penumpang tidak boleh berdalih lagi, bahwa menggunakan transportasi online jauh lebih murah, namun ia tidak tahu kalau alat tranportasi yang digunakannya bisa saja merugikan keselamatan jiwanya.
Sejalan dengan itu, memperlakukan syarat laik jalan dan laik angkut bagi semua jenis angkutan umum, maka dengan sendirinya sudah pasti tarif angkutan tidak bergerak dalam pendulum arena persaingan antara pengusaha.
Ini hanya soal waktu saja, kalau tarif angkutan diberlakukan secara equal, syarat administratif diberlakukan secara equal, lalu transportasi konvensional kurang diminati konsumen-penumpang, maka sudah jalannya bagi mereka untuk memutar haluan berpacu dengan kecepatan tekhnologi dalam menyediakan jasa pengangkutan yang aman, terjamin, dan aksebilitas bagi konsumen-penumpang.*