Dana Saksi Parpol Melanggar Undang-Undang
Sudah menjadi keniscayaan dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi “hukum” serta persamaan Hak Asasi Manusia, partai politik merupakan pilar berdirinya sebuah negara. Tanpa partai politik tidak ada saluran yang dapat menjembatani lahirnya organ-organ negara yang bernama jabatan kenegaraan. Fungsi demikian terjawab ketika partai politik disangkutpautkan sebagai sarana rekrutmen pejabat publik. Lantas, berjalannya fungsi partai politik untuk melahirkan “pejabat Negara”. Pada poin itu, apakah negara juga harus dilibatkan “dominan” mengatur segala tetek bengek privasi dan kepentingan partai politik pula? Pertanyaan ini menjadi kata kunci pembuka terhadap desakan sejumlah pemangku kepentingan (Pemerintah/ Mendagri, partai politik, dan Bawaslu). Patutkah dana untuk saksi partai politik menjadi tanggungan Negara?
Berdasarkan jumlah jumlah total TPS di seluruh Indonesia untuk pemilu 2014 mencapai 545.778 dan 12 Parpol peserta pemilu legislatif. Jika setiap TPS dan setiap Parpol masing-masing harus memiliki satu saksi di tiap TPS, maka ada 6.736.716 saksi. Jumlah saksi dikalikan dengan angka Rp. 100.000 persaksi, maka total anggaran yang harus disiapkan untuk pembiayaan saksi partai politik oleh negara; minimal Rp. 654 miliar. Tidak menjadi soal, jika pemerintah sebagai organ negara hendak “membantu” partai politik dalam rangka menjalankan Pemilu yang transparan. Dan berharap ke depannya, partai politik tidak lagi mempermasalahkan banyaknya kecurangan yang bisa terjadi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), setelah pemungutan suara hingga perhitungan suara ditetapkan hasilnya oleh KPU. Namun sungguh ironis, jika ternyata kebijakan penggelontoran dana saksi, tidak satupun Undang-undang sektoral Pemilu yang membolehkannya. Artinya, jika pemerintah tetap “ngotot” pada keinginannya, pemerintah jelas melanggar hukum, dari “peraturan sendiri” yang telah dibuatnya.
Melanggar Peraturan
Suatu hal yang keliru dan tidak cermat logika berpikirnya, ketika ada segelintir elit politik mengatakan pendanaan saksi Parpol menjadi tanggungan keuangan Negara, otomatis angka Golput dapat diminimalisir. Justru sebaliknya yang akan terjadi, partai politik berada dalam ancaman ketidakpercayaan oleh ceruk pemilih. Logika ini terbangun, karena pemerintah bersama dengan partai politik terjerembab dalam pelanggaran beberapa peraturan perundang-undangan. Begitu sudah melanggar peraturan, dengan sendirinya Parpol telah melakukan penghianatan secara terang benderang dihadapan rakyat. Dan akhirnya terjadi defisit kepercayaan terhadap Parpol, hingga berujung pada sikap pemilih untuk Golput.
Dalam catatan penulis, polemik pendanaan saksi Parpol oleh negara, rawan terhadap pelanggaran empat peraturan perundang-undangan. Pertama, pelanggaran terhadap Pasal 12 dan Pasal 34 ayat 3 Undang-undang No. 2/ 2011 (tentang Partai Politik). Pada intinya, ketentuan dalam UU tersebut Negara tidak boleh membiayai Parpol kecuali anggaran yang sudah ditetapkan sesuai perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Selain itu, Negara hanya dapat memberikan bantuan keuangan yang bersumber dari APBN/ APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik. Untuk pendanaan saksi Parpol sama sekali tidak ada yang disinggung. Berarti, bantuan keuangan kepada Parpol yang bersumber dari APBN/ APBD tidak dapat digunakan untuk penyelenggeraan pemilu, seperti saksi yang mengatasnamakan partai politik.
Kedua, melanggar Pasal 139 ayat 1, 2, dan 3, Pasal 140 , dan Pasal 305 Undang-undang No. 8/2012 (tentang Pemilu legislatif: DPR, DPD, dan DPRD). Dalam UU Pemilu ini peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang berasal dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, pemerintah desa, dan Badan Usaha Milik Desa. Bahkan partai politik tidak boleh menggunakan sumbangan yang berasal dari sumber yang dilarang, sehingga Undang-undang mewajibkan dana tersebut dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menyerahkannya ke kas negara. Lebih tegas lagi dalam UU ini, penerimaan anggaran dari Negara oleh partai politik merupakan tindak pidana pemilu dengan hukuman penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta, yang pada dasarnya KPU memiliki posisi sebagai lembaga, dapat mengambil tindakan hukum jika terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa partai politik telah menggunakan sumber keuangan yang dilarang oleh undang-undang.
Ketiga, rencana untuk mengelola pembiayaan saksi selanjutnya akan diberikan kepada Bawaslu juga merupakan pelanggaran terhadap UU No 15/2011 (tentang Penyelenggaraan Pemilu). dalam UU ini sama sekali Bawaslu tidak diberi tugas, fungsi, dan tanggung jawab mereka sebagai penyalur dana bagi Parpol.
Keempat, sumber pembiayaan melalui kebijakan tersebut, melanggar prinsip pengelolaan keuangan negara sebagaimana Pasal 3 ayat 1 (a) UU No 17/2013 (tentang Keuangan Negara), menyatakan keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dalam memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Peraturan Presiden
Oleh karena pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tidak mendapat legalitas terkait pembiayaan saksi Parpol oleh Negara. Dengan sangat gagah berani, Kemendagri lagi-lagi hendak merumuskan sebuah draf Peraturan Presiden sebagai dasar hukum untuk membiayai saksi partai politik. Dalam konteks ini, pemerintahpun jelas telah mengingkari Pasal 1 angka (6) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: “Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.” Pertanyaannya, apakah ada UU sebelumnya yang memberi tugas lebih lanjut kepada pemerintah untuk membentuk Peraturan Presiden tentang dana saksi Parpol ? Sejauh penelusuran penulis tidak ditemukan dalam UU maupun peraturan lain agar dana saksi partai politik diatur dalam Peraturan Presiden. Dengan demikian jika Peraturan Presiden ini tetap disetujui oleh Presiden, sudah pasti merupakan bentuk pelanggaran atas Undang-Undang Pemilu. Teks Pasal 1 angka (6) tersebut, juga menyatakan bahwa Peraturan Presiden dapat dibentuk untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Kalau begitu, benarkah saksi partai politik merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan? Jawabannya; tidak termasuk. Saksi partai politik merupakan urusan internal Parpol, saksi bekerja karena mandat partai politik. Maka sangat keliru, kehadiran saksi Parpol dikatakan bagian dari fungsi untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Minus Kader
Tindakan Parpol yang menyeret Negara untuk menanggung biaya, yang sejatinya hanya menguntungkan untuk dirinya. Adalah puncak dari kegagalan partai politik menjalankan fungsinya, untuk melakukan kaderisasi dan rekrutmen keanggotaan partai politik (minus kader). Sehingga alternatif terakhir, mencari saksi dari orang yang bukan dari keanggotaan partai politik. Tentu hal ini akan memberatkan partai politik, karena tidak mungkin ada orang yang menjadi saksi partai politik tertentu secara suka rela. Andaikan partai politik menjalankan fungsinya, menjaring kader sedari dulu maka mencari saksi yang “militan” untuk partai, bukan perkara sulit. Disaat yang sama tidak mungkin pula Parpol “merecoki” negara agar menanggung keuangan yang terkait dengan masalah internalnya. (*)