Pelemahan dan Khitah KPK
Anggota DPR tidak hentinya menjadi sorotan. Mulai dari kasus korupsi mafia banggar, sampai “penyanderaan” anggaran gedung KPK. Para wakil rakyat juga selalu “menyerang” KPK disetiap rapat kerja (baca: RDP) di Senayan. Hingga patutlah kiranya kita mempertanyakan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi di tanah air.
Baru-baru ini, Komisi III DPR kembali berulah. Niat merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 makin bulat. Naskah draf revisi UU KPK telah sampai di badan legislasi DPR. Mereka berdalih revisi ini diharapkan dapat memperkuat KPK. Pertanyaan kemudian, apakah hal tersebut demikian?
Melemahkan
Gencar KPK mengusut kasus korupsi di lingkaran kekuasaan, menyulut api perlawanan. Banyak “pihak” mulai gerah atas kinerja KPK. Skenario “penjinakan” KPK pun ditempuh, tetapi tidak berhasil. Mereka kemudian melakukan langkah yudicial review. Langkah ini memang dimungkinkan dalam konstitusi kita. Dalam catatan ICW (2011), ada 13 kali upaya yudicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, 11 diantaranya berpontensi memangkas kewengan KPK.
Kewenangan KPK memang dianggap sangat besar. Lembaga super body ini, dalam melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, melarang seseorang bepergian keluar negeri, memerintah pihak Bank untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi, meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diuar negeri (vide: Pasal 12 UU KPK).
Dalam artikel “DPR (jangan) Lemahkan KPK” yang dimuat di koran Fajar Makassar (14 Maret 2012), penulis melihat upaya “mengamputasi” kewenangan KPK sering terjadi. Lebih ekstrim tatkala ada seorang anggota DPR dari Fraksi PKS meminta KPK “dibubarkan”. Akan tetapi, tidak terwujud.
Kecurigaan penulis akhirnya terbukti. Komisi III DPR lewat fungsi legislasi ternyata mulai “mencabuti” gigi taring KPK. Draf revisi UU KPK memperlihatkan upaya pelemahan tersebut. Pertama, kewenangan penuntutan dikembalikan ke Kejaksaan Agung. Tugas penuntutan merupakan posisi “vital” dalam hukum acara pidana. Pelimpahan berkas perkara dari penyidik KPK bisa ditolak/kembalikan. Pihak kejaksaan bisa berdalih persyaratan formil dan materil tidak terpenuhi. Berujung kepada lambatnya proses pelimpahan berkas ke Pengadilan Tipikor. Dari segi tuntutan pidana juga bisa terjadi “kongkalikong” antara terdakwa dengan pihak Jaksa Penuntut. Sehingga ada celah laku korupsi dalam proses pemeriksaan perkara.
Kedua, Penyadapan bisa dilakukan dengan mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan setempat. Kewenangan melakukan penyadapan memang sering mendapatkan kritikan dari anggota DPR. Alasannya pun tetap sama dari tahun ketahun. Penyalahgunaan kewenangan Antasari Azhar menyadap Rani Juliani, seakan menjadi “dosa turunan” pimpinan KPK yang baru. Agar kedepan tidak terjadi hal yang serupa, DPR berinisiatif agar penyadapan haruslah seizin ketua Pengadilan.
Penyadapan seizin ketua Pengadilan sebenarnya membatasi KPK mengusut dugaan kasus korupsi. penulis bukan berburuksangka, tetapi sangat berpotensi terjadinya “kebocoran” informasi. Belum lagi bila penyadapan hanya bisa dilakukan ditahap penyidikan. Padahal penyadapan selama ini dilakukan pada tahap penyelidikan. Urgensi penyadapan ditahap penyelidikan karena pihak KPK menduga terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Sejarah mencatat pihak KPK telah berhasil mengungkap kasus korupsi lewat penyadapan. Masih hangat diingatan kita penangkapan terhadap Jaksa Urip Trigunawan di rumah Artalyta Suryani. Seorang wanita yang kemudian diketahui sebagai “pelobi kasus” bagi Bank BDNI dalam kasus penyelewengan BLBI. Artalyta menyuruh Jaksa Urip mendatangi rumahnya untuk mengambil uang 6,1 Miliar sebagai succes fee dari kasus Sjamsul Nursalim. Pemberian ini karena adanya pengumuman Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan kasus BLBI Sjamsul Nursalim. Perselingkuhan hukum ini diungkap berbekal rekaman penyadapan percakapan antara Jaksa Urip dengan Artalyta sebelum mereka ditangkap KPK.
Ketiga, Pembentukan dewan pengawas KPK. Dewan ini berfungsi mengawasi kinerja KPK. Pertanyaan kemudian, untuk apa dibentuk dewan pengawasan ini? Di internal KPK sendiri sudah ada tim penasihat. Berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai kepakarannya kepada KPK dalam rangka pelaksaan tugas dan kewenangan lembaga antikorupsi (vide: Pasal 23 UU No.30 Tahun 2002). KPK juga dalam hal melaksanakan kinerjanya selama ini selalu menyusun laporan tahunan kepada Presiden, DPR dan Badan Pemeriksan Keuangan.
Sehingga pembentukan dewan pengawas yang “ditunjuk” Komisi III DPR sangatlah tidak perlu. Dewan ini juga berpotensi mengintervensi lembaga KPK. Padahal KPK merupakan lembaga negara yang dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Keempat, KPK berwenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Penambahan kewenangan ini justru memperlunak KPK dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan menerbitkan SP3 selama ini tidak ada di KPK. Hal tersebut karena KPK diharapkan bisa serius dan sangat berhati-hati dalam hal melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Peningkatan status perkara ke tahap penyidikan selama ini sangat ditakuti oleh koruptor karena sudah pasti berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.
Khitah KPK
Wacana revisi UU KPK yang semakin menguat di Senayan, menandakan tidak komitmennya para wakil rakyat dalam pemberantasan korupsi. Komisi III DPR telah melakukan penyalahgunaan “kuasa lebih konstitusional” meminjam istilah Mochtar Pabottingi. Kewenangan dalam hal menentukan anggaran, mengawasi, dan membuat undang-undang (legislasi). Kekuasaan yang berlebihan ini telah berhasil “menyandera” KPK saat ini.
DPR harusnya tidak melakukan upaya pelemahan terhadap KPK. Hal tersebut bila meraka sadar kalau laku korupsi merupakan extraordinary crime. Suatu kejahatan luar biasa karena dampak yang ditimbulkannya. Tindak pidana korupsi telah menjalar secara sistemik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, dan menghambat pembangunan nasional tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial masyarakat secara luas. Sehingga KPK juga harus extraordinary dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Selain itu, sejarah dibentuknya KPK karena belum optimalnya kinerja lembaga penegak hukum konvensional (Kepolisian dan Kejaksaan). Kedua lembaga penegak hukum ini dianggap tidak berfungsi secara efektif dan efisien. Apalagi lembaga ini disinyalir telah “dijangkiti” laku korupsi. Oleh sebab itu tinggal KPK harapan kita dalam pemberantasan korupsi, maka mari menjaga khitkah KPK dengan tidak dilemahkan.****Salam Antikorupsi