Undang-undang Kekerasan Seksual Akhirnya

Sumber Gambar: poliklitik.com

Walau akan segera disahkan, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) belum menjawab kebutuhan akan perlindungan terhadap kejahatan itu. Disepakati tim dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah pada Rabu lalu, bakal peraturan yang terkatung-katung sejak 2016 ini akhirnya akan disahkan dalam sidang paripurna bulan ini.

Publik telah lama membutuhkan undang-undang antikekerasan seksual buat melindungi korban. Sayangnya, tarik-menarik kepentingan partai membuat pembahasan bagai jalan di tempat. Padahal di sana diatur ihwal pencegahan, pemenuhan dan pemulihan hak, sampai pengaturan penanganan selama proses hukum. Selama ini, hukum pidana Indonesia sangat membebani korban. Dalam kasus pemerkosaan, misalnya, dibatasi pada penetrasi penis ke vagina dengan disertai bukti dan saksi, sehingga hampir mustahil kejahatan ini diproses hukum.

Dalam RUU TPKS, terdapat sepuluh jenis tindakan yang masuk kategori kekerasan seksual. Dari pelecehan seksual fisik dan nonfisik, pemaksaan perkawinan dan aborsi, sampai perbuatan cabul terhadap anak. Dalam rancangan itu juga ada pasal untuk mencegah kekerasan seksual berbasis elektronik, yang dijabarkan hingga enam pasal. Orang yang dengan tanpa hak merekam gambar dan menyebarkannya untuk tujuan seksual bisa dipenjara hingga empat tahun atau dikenai denda Rp 200 juta. Ini merupakan langkah maju bagi perlindungan korban kekerasan seksual berbasis media elektronik, yang kasusnya cenderung meningkat. Pada 2020, misalnya, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mendapat 940 aduan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik, dan angkanya meningkat hampir dua kali lipat menjadi 1.721 pada tahun lalu.

Namun Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual seperti kehilangan separuh nyawanya dengan ketiadaan ketentuan soal pemerkosaan. Sempat dijabarkan dalam draf versi pertengahan dan akhir 2021, tindak pemerkosaan kini hanya terdapat dalam satu pasal yang menyebutnya termasuk tindak pidana kekerasan seksual, tanpa penjelasan. DPR dan pemerintah beralasan tindak pemerkosaan sengaja ditiadakan untuk menghindari tumpang-tindih dengan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang juga sedang dalam pembahasan antara pemerintah dan DPR.

Alasan itu absurd. Sebab, sebenarnya ada proses harmonisasi dan sinkronisasi di Kementerian Hukum yang bisa meminimalkan tumpang-tindih aturan. Toh, kekerasan seksual berbasis elektronik juga bersinggungan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik, tapi tetap diakomodasi di RUU TPKS.

Penanganan kasus pemerkosaan seharusnya menjadi prioritas dalam pembuatan RUU TPKS. Sebab, tindakan itu merupakan kasus yang frekuensinya mendominasi kekerasan seksual.

Menyerahkan ketentuan pemerkosaan kepada revisi KUHP bukan jalan keluar. Sebab, pembentukan aturan yang memuat 742 pasal ini tidak memiliki semangat yang sama dengan RUU TPKS. Misalnya, soal konteks peranan korban (victim precipitation) berupa tindakan korban yang membuat pelaku berpikir korban setuju untuk melakukan hubungan seksual. Akibatnya, lewat KUHP, banyak pelaku pemerkosaan dalam pacaran yang lolos dari jerat hukum.

Jika revisi KUHP tidak kunjung rampung atau pasal-pasalnya tidak seprogresif RUU TPKS, penanganan kasus pemerkosaan akan kembali menggunakan perspektif usang tersebut. Artinya, semua persoalan yang mendorong berbagai elemen masyarakat meminta pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tetap ada. Walhasil, undang-undang itu belum sepenuhnya menjawab kondisi yang semakin rentan terhadap kekerasan seksual.

 

EDITORIAL

Dewan Redaksi Koran Tempo

KORAN TEMPO, 8 April 2022

Sumber

https://koran.tempo.co/read/editorial/473015/uu-tpks-yang-bagai-setengah-hati?

You may also like...