Lonceng Kematian KPK
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi didasarkan pada pertimbangan untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Suatu lembaga ad hoc (khusus) menangani pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebab mengguritanya laku korupsi yang tidak bisa diberantas secara optimal oleh lembaga penegak hukum konvensional dengan cara-cara biasa. Oleh karena itu, melalui KPK pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Usia yang masih belia, KPK telah bermetamorfosis sebagai lembaga antirasuah paling ditakuti. Berani menyentuh episentrum korupsi. Melalui penindakan sejumlah pucuk pimpinan dan kader Parpol menjadi penghuni hotel prodeo. Tanpa kecuali Menteri aktif masa pemerintahan SBY-Boediono.
KPK menegakkan hukum tidaklagi dengan cara makan bubur panas. Memakan dari pingir sampai masuk ke dalam. Tetapi ia menggunakan teori menegakkan benang basah meminjam istilah sodara Yadin. Agar benang basah berdiri jangan memegang ujung bawahnya melainkan pegang ujung atasnya. Tertibkan level atasan maka secara otomatis bawahan akan mengikuti.
Keberhasilan lainnya adalah semua perkara yang ditangani, 100% divonis bersalah. Artinya KPK telah mampu membuktikan dalil-dalil yang dakwakan. Langkah progresif juga terlihat dari keberanian dalam menggabungkan UU Korupsi dan TPPU. Tujuannya mengembalikan kerugian uang negara dan upaya memiskinkan koruptor. Serta mulai menghidupkan kembali pidana tambahan dalam tuntutan seperti pencabutan hak politik.
Di sisi pencegahan, program Deputi Pencegahan massif digalakkan. Khusus daerah Sulawesi Selatan, Penulis bersama jaringan penggiat antikorupsi sering bekerjasama nan disupport KPK. Mulai pembentukan jaringan-jaringan antikorupsi lintas komunitas, kampanye antikorupsi di tingkat pelajar, sosialisasi Pemilu/ Pilkada Berintegritas, sampai pembentukan Program Saya, Perempuan Anti Korupsi Sulsel yang intens melaksanakan pendidikan antikorupsi usia dini melalui permainan Sembilan Nilai (Semai) serta kegiatan pelibatan kaum perempuan dalam upaya pencegahan korupsi lingkup keluarga.
Ironisnya keberhasilan KPK hanya diapresiasi publik tapi tidak oleh para pemangku kekuasaan. Lembaga penegak hukum satu-satunya tumbuhan masyarakat ini selalu diserang. Operasi senyap untuk pelemahan baik melalui penarikan penyidik-penyidik, memasukkan kuda troya maupun lewat proses legislasi gencar dilakukan. Pembunuhan berencana terhadap eksistensi KPK sangat terstruktur nan massif.
Lewat RUU KPK
Belum usai perdebatan RUU KUHP-KUHAP yang berpotensi melumpuhkan kerja-kerja KPK. Kini, anggota DPR dengan dukungan fraksi-fraksi di parlemen memaksakan RUU KPK masuk ke Prolegnas 2015 skala prioritas. Peluru RUU KPK yang bila ditembakkan akan langsung membunuh KPK. Pasal 5 menegaskan Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa 12 tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 73 dalam Bab Ketentuan Penutup juga menegaskan Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berakhir setelah 12 tahun sejak diundangkan. Artinya bila RUU KPK masuk dalam Prolegnas 2015 skala prioritas, maka KPK akan bubar pada tahun 2027 secara otomatis.
Sebelum KPK bubar, selama 12 tahun lembaga antirasuah juga mengalami kondisi pelumpuhan. Pertama, KPK diutamakan ke fungsi pencegahan. Dalam pertimbangan RUU KPK point (b) menegaskan bahwa kegiatan penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi belum mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan oleh sebab itu perlu diambil langkah-langkah pencegahan tindak pidana korupsi yang efektif dan efisien dengan pendekatan yang konferehensif dan kemanfaatan yang lebih besar bagi optimalisasi pemanfaatan dana pembangunan untuk kemakmuran rakyat sekarang dan masa mendatang.
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi (vide: Pasal 4). Berbeda dengan tujuan KPK saat ini yang menggunakan frasa “pemberantasan” .
Kedua, penyadapan harus seizin Ketua Pengadilan. KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri (vide: Pasal 14 ayat 1 huruf a). Kewenangan inilah yang paling ditakuti koruptor dan calon koruptor. Wajar saja semua Operasi Tangkap Tangan KPK bermula dari penyadapan.
Ketakutan penyadapan seizin Ketua Pengadilan akan memperlambat kerja-kerja KPK. Di saat yang sama bocornya informasi ke pihak yang akan disadap. Contoh kala KPK meminta izin penggeledahan kediaman Bendahara Umum PDI Perjuangan di Manado yang disinyalir permohonan izin bocor.
Ketiga, hilangnya tugas Penuntutan. Pasal 7 huruf d menegaskan KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dan/atau penanganannya dikepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif atau legislatif. Walhasil tanpa penuntutan berpotensi terjadi penurunan laju pelimpahan berkas ke pengadilan. Karena fungsi penuntutan diserahkan ke Jaksa Penuntut dibawah lembaga Kejaksaan Agung.
Pelimpahan fungsi penuntutan akan berimplikasi pula pada kualitas pembuktian dakwaan, berat ringannya tuntutan pidana. Serta mustahil melakukan tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, sebab sampai sekarang hanya KPK yang berani melakukan penerapan tuntutan pencabutan hak-hak tertentu kepada koruptor.
Tolak Revisi
Selain melumpuhkan berujung pada pembubaran KPK. Anggota DPR sakin “maunya” membunuh lembaga antirasuah. RUU KPK hanya di copy paste dari sejumlah pasal UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehingga terlihat amburadul nan tidak konsisten. Contohnya RUU KPK telah menghilangkan tugas Monitoring. Anehnya Pasal 15 RUUKPK justru menegaskan bahwa KPK bertugas melakukan monitoring. Kegancilan juga pada Pasal 13 bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Padahal pasal sebelumnya KPK dinyatakan tidak berwenang menuntut. Copy paste Pasal 13 terlihat pada frasa “dalam Pasal 6 huruf c”, dimana harusnya merujuk Pasal 7 huruf d. Kecuali bila merujuknya ke UU KPK yang berlaku.
Melihat kondisi di atas, Presiden Jokowi harus mengambil sikap menolak revisi UU KPK bukan penundaan. Atas dasar masih amburadulnya penyusunan rancangan Undang-Undang, karena terburu-buru nan dipaksakan. Serta mengingat Nawa Cita Jokowi-JK yang berjanji menguatkan pemberantasan korupsi bukan malah membunyikan lonceng kematian KPK.