Undang-Undang Pemasyarakatan Perlu Revisi untuk Narapidana Narkotika


Keputusan pengadilan/ vonis hakim yang telah diputuskan terhadap perkara pecandu Narkotika (orang yang menggunakan Narkotika atau meyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika baik secara fisik maupun psikis) maka hakim yang memutus perkara itu, memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/ atau rehabilitasi. Baik pecandu Narkotika itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika maupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika (vide; Pasal 103 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009).

Oleh karena itu Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan dapat berperan sebagai lembaga yang juga menyediakan atau menginstruksikan ke lembaga/instansi pemerintah (seperti Rumah Sakit atau Instansi Masyarakat) kepada Napi Narkotika (terpidana Narkotika menjadi Narapidana _ vide: Pasal 10 ayat  2 UU Pemasyarakatan), untuk menjalani kewajiban (Pasal 54 UU Narkotika) rehabilitasi medis (suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika) dan rehabilitasi sosial (suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial dalm kehidupan masyarakat).

Rehablitiasi medis maupun rehabilitasi sosial merupakan kewajiban bagi Napi untuk dikuti setelah hakim menjatuhkan putusan tentang terbukti/ tidaknya seorang sebagai pelaku tindak pidana Narkotika. Hal ini secara tegas disebutkan dalam  Pasal 127 ayat 2 “dalam memutus perkara setiap penyalahguna Narkotika baik golongan I maupun golongan II dan golongan III, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.”

Ketentuan sebagaimana dimaksud adalah penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi yang diadakan baik oleh instnsi pemerintah maupun yang diadakan oleh masyarakat (vide; Pasal 58 UU Narkotika).

Mencermati beberapa ketentuan dalam pembinaan terhadap Napi Narkotika, tentunya tetap berpatokan pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Baik  menyangkut hak-hak Napi Narkotika, proses pendaftaran/ registrasi masuk ke lapas/ rutan tetap mengikuti prosedur seperti yang ditegaskan dalam Undang-undng Pemasyarakat tersebut. Meskipun pembinaan dalam undang-undang pemasyarakatan sudah diatur prosedur dan siapa petugas yang berwenang melaksanakan, akan tetapi undang-undang pemasyarakatan tidaklah cukup sebagai umbrella act untuk menjadi dasar pembinaan Napi Narkotika. Napi Narkotika perlu perhatian khusus, terutama bekas pemakai (baca: pecandu Narkotika). Pecandu Narkotika harus mendapatkan perawatan dan pemulihan yang intens melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Salah satu penyebab tidak terpenuhinya hak rehabilitasi medis bagi Napi Narkotika, menurut hemat penulis, disebabkan regulasi yang mengatur secara tegas dalam Undang-undang pemasyarakatan. Tidak ada  satu Pasal-pun mengatur masalah rehabilitasi medis bagi Napi Narkotika. Jika hanya tunduk pada Undang-undang pemasyarakatan, maka Napi Narkotika akan diperlakukan sama saja dengan warga binaan lainnya. Tanpa perlu perawatan dan rehabilitasi berkelanjutan. Demikian halnya dengan beberapa Peraturan Pemerintah mengenai perawatan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan, mekanisme yang diatur itu adalah, belum diatur bagaimana mekanisme rehabilitasi medis bagi Napi Narkotika ?

Baru kemudian dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 54 rehabiltasi bagi Napi Narkotika merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan tempat rehabilitasi (medis/ sosial) bagi Napi tersebut.

Dalam Undang-undang Narkotika, pengaturan masalah tempat pembinaan dan perawatan Napi diatur dalam Pasal 56 menegaskan “(1) rehabiliasi medis pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri, (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu setelah mendapat persetujuan menteri”

Hingga sekarang Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu Narkotika belum disahkan.  Dengan demikian, pasti petugas lapas maupun petugas Rutan akan berpatokan pada mekanisme pembinaan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tentang pemasyarakatan.

Sebaiknya dalam revisi undang-undang pemasyarkatan ke depan , Undang-undang pemasyarakatan dapat menjadi payung hukum (umbrella act) bagi pembinaan dan rehabilitasi Napi Narkotika, sehingga warga binaan yang ditegaskan dalam ketentuan UU pemasyarakatan, Napi Narkotika termasuk di dalamnya, sebagai warga binaan yang perlu perhatian berkelanjutan, disamping pencantuman beberapa hak-hak rehabilitasi dalam beberapa pasal dalam UU Pemasyarakatan.

Berdasarkan hasil wawancara di Rutan kelas II B Pinrang oleh kepala Rutan mengemukakan, “bahwa selama ini tidak ada rumah sakit yang disediakan khusus bagi Napi Narkotika, hanya poliklinik. Jika Napi nakotika butuh perawatan lebih lanjut maka dipindahkan biasanya ke  lapas Makassar, karena Rutan Kelas II B Pinrang tidak mampu menyediakan dokter, psikiater, apalagi pengobatan khusus bagi Napi Narkotika.”

Pemaparan di atas menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan yang  mengatur, khusus pembinaan bagi Napi Narkotika, dari segi regulasi yang kuat untuk melindungi dan  melaksanakan hak-hak Napi Narkotika masih kurang aturan dapat menjadi patokan bagi Napi Narkotika agar diperlakukan sebagai warga binaan yang dapat menjadi manusia  terbina dan berkepribadian sebagai tujuan dari pemasyarakatan.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...