Kabut di Padang MK
Jawabnya, mungkin Mahkamah Konstitusi (MK) sedang kena hukuman karma. Semenjak lembaga pengawal konstitusi itu tercoreng empat tahun silam, atas laku korupsi eks pucuk pimpinannya, Akil Mochtar. Pernah digagas ulang pola rekrutmen dan sistem pengawasannya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang bersandar pada prinsip akuntabilitas, prinsip transpransi, prinsip fairness, akan tetapi MK di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelfa semuanya dimentahkan dalam uji materil Perppu tentang MK terhadap UUD. Pada intinya, MK pada waktu itu berdalih, harus berdiri di atas prinsip independensi, sehingga pengawasan dari luar institusi niscaya tidak diperlukan.
Apa jadinya kemudian, MK ketimpa sial(an), di sebuah lorong konstitusi, keadilan masih terselimuti kabut tebal. Kabut dipadang MK sudah pasti akan menutup kembali kepercayaan publik, kalau sekiranya putusan yang ditelorkannya sarat politasisi, bukan hanya terjadi di sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana yang pernah terjadi di masa kepemimpinan Akil Mochtar saat diciduk oleh komisi anti rasyuah.
Kini, bertambah lagi satu kekabutan kewenangan yang mengundang tanya dan keraguan publik; apakah MK dalam melakukan uji materil UU terhadap UUD masih dapat dipercaya? Lantaran si manusia breok, janggut lebat, berjidat hitam, salah satu anggotanya, Patrialis Akbar (PAK) terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK dalam dugaan penyuapan yang terkait dengan upaya untuk mempengaruhi uji materil Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Diduga PAK menerima sogokan dari pengusaha impor daging sapi ternama, Basuki Hariman (BHR) melalui Kamaluddin (K), sebanyak USD 20 ribu dan SGD 200 ribu. Dalam kasus itu PAK dan Kamaluddin dijerat dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 ayat ke-1 KUHP. Kemudian terhadap BHR, KPK mengenakan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.

Sumber Gambar: tstatic.net
Pemburu Rente
Dalam peristiwa kelabu itu, MK kembali tercoreng atas perbuatan salah satu anggotanya yang tersandung kasus penyuapan dalam uji materil UU. Ini mengindikasikan kalau oknum pemburu rente dalam mempengaruhi kebijakan negara yang menguntungkan dirinya atau golongannya saja, telah bermobilisasi ke ruang-ruang judicial pula. Jika dulunya pemburu rente hanya berkonspirasi dengan oknum DPR melalui jual beli pasal dalam pembentukan Undang-undang, kini telah membuka lebar mata kita semua, MK pun tak bersih dari radar para pemburu rente.
Pemburu rente adalah suatu konsep dalam perspektif ekonomi rente, pada awalnya dikembangkan oleh ekonom Gordon Tollock dalam “Theory Of Economy Rent Seeking.” Bagi Tullock ekonomi rente cenderung terjadi pada mereka yang memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi mereka memonopoli sumber daya, distribusi, dan pasar sementara di sector publik menjadi pengontrol kebijakan pemerintahan.
Di Indonesia, fenomena ekonomi rente pernah diuraikan oleh Yushihara Kunio dalam karyanya “The Rise Of Ersatz Capitalism In Southeast Asia.” Kunio menganalisis fenomena ekonomi atau pemburu rente Indonesia. Dijelaskannya, bahwa praktik kapitalisme semu di Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat sehingga pelaku usaha sesungguhnya tidak dapat berkembang. Kehadiran kapitalis Indonesia karena adanya orang-orang yang punya kedekatan dengan penguasa dan cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga bukan berdasarkan profesioanalisme industrialis. Ekonomi rente telah mewujud dalam kerja sama yang saling menguntungkan antara oknum pengusaha yang menyediakan modal domestik maupun asing dengan pejabat yang menyediakan fasilitas, insentif, dan proteksi. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya, mudahnya akses atas informasi dan opportunity yang diperoleh melalui kebijakan yang diperoleh untuk itu, sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan, gratifikasi, suap, dan korupsi. (Muchtar Effendi Harahap: 2010)
Bahwa apa yang terjadi dari penyuapan PAK sebagai hakim konstitusi dan oleh BHR sebagai pengusaha, tidaklah jauh-jauh dari analisis Gordon Tollock dan Yushihara Kunio. BHR dalam posisinya sebagai pimpinan 20 perusahaan impor daging, sengaja memainkan efek domino perubahan UU dalam uji materil MK, yang jelas-jelas akan menguntungkan diri dan perusahaanya.
Dalam nalar sehat, pastinya tindakan BHR ini, jelas akan merugikan negara, terutama peternak sapi dalam negeri. Hanya BHR yang mendapatkan keuntungan berlimpah, tetapi pengusaha yang tak punya daya jangkau dengan kekuasaan, dan peternak dalam negeri hanya bisa gigit jari dalam menyaksikan BHR mengumpulkan puing-puing rupiah.
Netralitas MK
MK sebagai garda terakhir, akan berlakunya sebuah Undang-undang, tentunya harus dijauhkan dari aksi para pemburu rente ini. Kabut di padang konstitusi tak boleh lagi terjadi untuk ketiga kalinya, pasca kasus Akil Muchtar dan kasus Patrilis Akbar (PAK).
MK harus berbenah diri, bahwa tak selamanya independensi dapat dijadikan alasan untuk diawasi oleh lembaga lainnya. Jika integritasnya tinggi, wajar jika indepndesinya ditinggikan. Sebaliknya pada saat integritasnya rendah, maka menjadi kewajiban untuk mengurangi independensinya. (Zainal Arifin Mochtar: 2017).
Di sinilah poinnya, sehingga dewan etik yang dipunyai MK harus diubah formatnya menjadi peradilan etik yang jauh dari keanggotaan internal MK. Bersamaan dengan itu, MK harus sadar diri, bahwa sebuah kesalahan besar, ketika Komisi Yudisial (KY) direduksi kewenangannya dalam uji materil UU KY dahulu, dapat melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim MK. Sebaiknya posisi KY dikembalikan dalam menjaga keluhuran, harkat dan martabat hakim-hakim konstitusi.
Di saat yang sama, jaminan netralitas MK guna menghadirkan hakim-hakim yang berintegritas, seharusnya dibentuk Panitia Seleksi (Pansel) independen yang dapat melakukan uji kelayakan terhadap bakal calon hakim MK. Adapun masing-masing tiga calon yang akan dipilih oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, hanyalah calon-calon yang telah lolos fit and proper test dari Pansel independen tersebut.
Mari mengakhiri kegelisahan, kegundahan, dan kepiluan hati, netralitas MK harus kembali dipulihkan. Pola rekrutmen yang transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel, juga penguatan pengawasan MK haruslah disegerakan, selagi kabut jilid III di padang MK belum terjadi.*
Oleh:
Damang SH., M.H.
Owner negarahukum.com