Wajah Praperadilan Pasca Putusan MK
Berakhir sudah debat kusir seputar Sarpin’s Effect. Pun kalau ada yang mengajukan praperadilan atas keabsahan penetapan tersangka. Tidak ada lagi sangkut pautnya dengan Sarpin Rizaldi yang pernah menghebohkan jagat peradilan kita, dengan memutus sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XII/2014 menyatakan “Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD NRI 1954 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka…”
Putusan a quo yang menciptakan klausula atas penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sudah pasti akan menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. Terutama pada sulitnya membedakan antara pembuktian untuk praperadilan dengan pembuktian untuk pokok perkara.
Tersimpul dalam satu pertanyaan: Apakah dengan dibukanya ruang pengujian alat bukti sebagai syarat minimum (bewijs minimum) untuk penetapan tersangka di praperadilan sudah termasuk mengadili pokok perkara?
Terkait dengan pertanyaan tersebut sebagai legal issue-nya, maka harus dipilah satu persatu “batu uji” atas absah atau tidaknya penetapan tersangka. Pertama, batas minimum sehingga seorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan putusan MK a quo menyatakan harus ada “bukti permulaan” minimal dua alat bukti sebagaimana yang termuat dalam Pasal 184 UU Nomor 8 Tahun 1981. Kedua, disamping minimum dua alat bukti yang harus dipenuhi, juga harus disertai dengan pemeriksaan terhadap calon tersangkanya. Ketiga, dalam menemukan alat bukti harus dengan cara yang benar.

Sumber Gambar: baranews.co
Due Process of Law
Kendatipun dalam pokok perkara dan proses penetapan status tersangka sama-sama menggunakan sistem pembuktian minimum. Tetapi tetap memiliki perbedaan, bahwa pada penetapan status tersangka dengan bewijs minimum; dua alat bukti, yakni untuk menentukan akurat tidaknya praduga bersalah (presumption of guilty). Sedangkan pada pemeriksaan pokok perkara yang terikat dengan negatief wettelijk bewijstheorie; dua alat bukti plus keyakinan hakim, pembuktiannya sudah tertuju pada “penetapannya” seorang bersalah ataukah tidak (guilty or not guilty).
Dengan dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan berdasarkan putusan MK a quo merupakan penyesuian hukum acara pidana kita terhadap perlakuan tersangka bersandarkan pada batasan haknya yang harus dilindungi melalui Undang-Undang. Dan lebih lanjut sebagai konsekuensi logis untuk menerapkan due process of law secara totalitas dalam hukum pidana formil kita saat ini.
Due process of law diartikan sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar yang berlaku secara universal. Krakteristik utama dari pemberlakuan due process of law adalah menolak efesiensi, mengutamakan kualitas dan praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Oleh karena itu sangat berdasar kalaupun kemudian penetapan tersangka harus dilaksanakan secara hati-hati. Bukankah penetapan tersangka tanpa dua alat bukti, tanpa ada konfrontasi dengan calon tersangka, dan kesahihan cara memperolah alat bukti, merupakan tindakan sewenang-wenang sekaligus memungkinkan terjadinya persangkaan tidak wajar (unfair prejudice) yang harus disediakan pranata hukum untuk mengujinya. Dan secara doelmatigheid, hanya melalui ikhtiar praperadilan-lah tepat sebagai pranatanya.
Lagi pula memang praperadilan pada awalnya sengaja dibentuk untuk melakukan pengawasan secara vertikal maupun secara horizontal terhadap kewenangan penyidik dan/atau penuntut umum. Dikatakan pengawasan secara vertikal, kalau mereka yang telah ditetapkan dalam status tersangka dapat mempertanyakan kewenangan penyidik atau penuntut yang melampaui batas, karena tidak sesuai dengan Undang-Undang ketika hak-haknya dibatasi. Sedangkan praperadilan berfungsi sebagai pengawasan secara horizontal manakalah antara penyidik dan penuntut umum dapat saling melakukan check and balance atas kewenangannya masing-masing untuk menghentikan atau melanjutkan perkara yang sedang ditanganinya.
Dengan demikian, tak ada salahnya bagi MK ketika dalam menjalankan fungsinya sebagai guardian of constitution, lalu menambah klausula Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981. Sebab di situlah posisinya hakim MK melakukan “moral reading” berdasarkan alas hak konstitusi orang perseorangan yang melekat dalam UUD NRI 1945. Hakim konstitusi dapat saja menciptakan hukum, karena dalam menjalankan kewenangannya dituntun oleh payung hukum “constitutional norm” terhadap kaidah-kaidah general lainnya —- lex superior derogate legi inferiori.
Kali ini, “moral reading” yang dituangkan oleh MK berdasarkan putusannya telah memancarkan sinar keadilan hingga menyebabkan wajah praperadilan kita makin bercahaya dalam fungsinya untuk menguji sahi/tidaknya penetapan tersangka.
Bewijsvoering
Satu lagi menjadi catatan terhadap wajah praperadilan kita saat ini. Bisa dikatakan terdapat pemuatan hak-hak tersangka yang baru, juga sudah terakomodasi dalam objek praperadilan. Yakni, penetapan tersangka bisa saja menjadi tidak sah setelah melalui pemeriksaan di praperadilan, jika satu atau lebih bewijs minimum ternyata didapatkan dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence).
Selama ini dalam praktik tat kala terjadi unlawful legal evidence (tidak sahnya pemerolehan alat bukti) baik melalui praperadilan maupun sidang untuk mengadili pokok perkara seringkali hakim tidak pernah menjadikannya sebagai “racio decidendi” untuk menguji terjadinya kesewenang-wenangan.
Parameter pembuktian yang berkenaan dengan cara memperoleh alat bukti dalam hukum acara pidana diistilahkan “bewijsvoering”. Tepatnya bewijsvoering diartikan sebagai penguraian cara bagaimana menyampaikan alat bukti kepada hakim di pengadilan.
Dalam Sifatnya yang kongruen dengan due process of law principle terhadap bewijs minimum, in qasu penetapan tersangka. Hal demikian juga diberlakukan terhadap bewijsvoering. Buktinya, di negara yang sudah totalitas menerapkan due process of law/model seperti Amerika pada prinsipnya bewijsvoering berlaku mutlak, agar alat bukti diperoleh dengan cara yang sah. Sehingga acap kali seorang tersangka dalam praperadilan, lantaran alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka tersangka dibebaskan oleh pengadilan bersangkutan.
Akhirnya, apapun penilaian kita saat ini terhadap hasil putusan MK a quo. Tidak perlu dicurigai dengan sesumbar “kalau kondisi wajah praperadilan pasca putusan MK menjadi kemenangan besar bagi koruptor di negeri ini.” MK sudah jauh hari mengantisipasi kecurigaan demikian. Tidak sahnya penetapan tersangka seseorang berdasarkan putusan praperadilan, tidak berarti tersangka tersebut bersalah dan serta merta gugur tindak pidananya. Tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar.*