Kebatilan Aparat Hukum dalam Perkara Kekerasan Seksual

Sumber Gambar: gunyam.com

Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang membebaskan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Riau (nonaktif), Syafri Harto, melukai para penyintas kekerasan seksual di mana pun. Vonis tersebut juga menjadi preseden buruk bagi proses hukum kasus serupa.

Syafri didakwa mencabuli mahasiswinya. Korban yang awalnya memilih diam akhirnya membawa kasus ini ke jalur hukum. Sayangnya, hakim menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tak terbukti. Putusan tersebut semakin menguatkan anggapan bahwa tak ada ruang yang aman bagi penyintas kekerasan seksual di Indonesia, sekalipun itu di ruang pengadilan.

Putusan itu juga menunjukkan aparat hukum masih berpandangan sempit dalam menangani kasus kekerasan seksual. Mereka selalu menuntut adanya bukti fisik ataupun saksi. Dalam perkara lain, polisi bahkan kerap mempersulit laporan dengan alasan kurang bukti. Padahal, dalam banyak kasus, kekerasan seksual sering terjadi di ruang-ruang tertutup, tanpa saksi mata.

Aparat juga masih mengabaikan perspektif gender dalam menangani kasus kekerasan seksual. Banyak cerita bahwa aparat ikut memojokkan korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang melukai perasaan mereka. Polisi, jaksa, dan hakim seharusnya paham bahwa, untuk berbicara saja, korban sering kali masih takut. Aparat harus melihat adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban yang menyebabkan korban kerap enggan melapor atau sekadar berbicara dengan orang-orang terdekatnya.

Dalam kasus di Universitas Negeri Riau, Syafri Harto adalah pembimbing skripsi korban. Lalu, ketika pihak fakultas mengajak korban berdamai, sulit untuk tidak mengaitkan ajakan tak melanjutkan ke proses hukum itu dengan posisi Syafri sebagai dekan. Dicoretnya nama korban dari daftar peserta wisuda setelah kejadian ini kian menunjukkan lemahnya posisi dia. Relasi kuasa seperti ini seharusnya menjadi pertimbangan aparat penegak hukum agar tak hanya terpaku pada bukti-bukti fisik.

Di Indonesia, banyak juga aparat hukum yang menggunakan kacamata moral dalam menangani kasus kekerasan seksual. Dengan sudut pandang tersebut, korban akan selalu terpojok. Bahkan dalam beberapa kejadian, korban dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan seksual. Misalnya, perempuan yang menjadi korban catcalling—siulan, panggilan, atau komentar seksual—dituduh menyebabkan peristiwa tersebut karena pilihan busananya. Atau perempuan yang menjadi korban dianggap bersalah karena berada di luar rumah hingga larut malam.

Kebatilan aparat tersebut diperparah oleh minimnya aturan untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Di tengah maraknya kejadian, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Padahal undang-undang ini bisa memberikan perlindungan kepada korban sekaligus menjerat pelaku yang sebelumnya bisa melenggang karena perbuatannya dianggap bukan tindak pidana.

Sembari menunggu nurani DPR dan pemerintah tergerak, jaksa semestinya mengajukan kasasi atas putusan terhadap Syafri Harto agar korban mendapat keadilan. Kelak, hakim kasasi harus menyadari bahwa putusan yang mereka jatuhkan bisa berdampak besar: mendorong keberanian korban lain bicara karena ada harapan di pengadilan atau membuat mereka bungkam karena membawa kasus ke persidangan akan berakhir percuma.

 

 

EDITORIAL Dewan Redaksi Koran Tempo

KORAN TEMPO, 4 April 2022

 

Sumber  https://koran.tempo.co/read/editorial/472919/kebatilan-aparat-hukum-di-perkara-kekerasan-seksual-universitas-negeri-riau?

You may also like...