DUA PRAJURIT DIPECAT KARENA LGBT

Sumber Gambar: republika.co.id

Pengadilan militer menjatuhkan hukuman pemecatan terhadap dua anggota TNI, yaitu Sersan Dua AP dan Prajurit Dua T. Kedua prajurit itu dinyatakan bersalah karena terbukti melakukan aktivitas lesbian, gay, transgender, dan biseksual (LGBT). Pemecatan itu tertuang dalam putusan pengadilan militer yang dilansir di situs web Mahkamah Agung (MA) pada Senin, 6 Juni 2022. Perkara Serda AP disidangkan di Jakarta dan perkara Prada T di Medan.

Dalam perkara ini, majelis hakim di dua pengadilan militer tersebut sama-sama menggunakan Pasal 103 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) tentang pidana bagi prajurit dengan sengaja tak menaati perintah dinas. Adapun perintah dinas yang dirujuk oleh oditur militer adalah Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/398/2009 yang diperbarui dengan Telegram Nomor ST/1648/2019.

Dalam telegram tersebut ditegaskan bahwa LGBT merupakan perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh anggota TNI. Sebab, aktivitas LGBT bertentangan dengan disiplin militer dan merupakan pelanggaran berat yang tidak boleh terjadi di lingkungan TNI. Tak hanya dipecat, Serda AP dan Prada T juga dikenai hukuman masing-masing 9 dan 8 bulan penjara sebagai pidana pokok.

Peneliti dari Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya, mengatakan TNI nyaris selalu menggunakan aturan itu untuk menghukum prajurit yang terlibat aktivitas LGBT. Dari penelitian terakhir pada 2020, Amnesty menemukan setidaknya 15 anggota TNI yang dipecat karena kasus serupa. “Hampir semua dasar hukumnya menggunakan surat telegram Panglima TNI ini,” kata Ari, kemarin, 7 Juni. “Dengan aturan tersebut, mereka menyebutkan prajurit itu telah melanggar perintah atasan.”

Dasar hukum yang digunakan TNI itu, kata Ari, memunculkan perilaku diskriminatif dan berpotensi memperuncing kebencian terhadap kelompok minoritas, seperti LGBT. Padahal, secara umum, tak aturan dasar yang mengatur tentang orientasi seksual seseorang dalam sebuah kelembagaan.

Ari mencontohkan Pasal 2 huruf D Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur jati diri anggota TNI. Dalam aturan itu disebutkan bahwa tentara profesional adalah yang mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia. “Jadi, sebenarnya unsur-unsur hak asasi manusia ini sudah diatur dalam peraturan Undang-Undang TNI sendiri,” kata Ari.

Direktur Eksekutif The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, sependapat dengan Ari. Ia mengatakan surat telegram Panglima TNI itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Padahal konstitusi Indonesia telah menegaskan beberapa hak yang dimiliki warga negara. Di dalamnya termasuk hak atas privasi, ekspresi, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Erasmus tidak mengesampingkan adanya pengaturan yang memberikan pembedaan dalam kondisi tertentu. Namun bentuk pengaturan ini diperbolehkan selama tindakan-tindakan tersebut bersifat affirmative action, yaitu diskriminasi positif untuk suatu tujuan dan bersifat sementara. Affirmative action, misalnya, dapat digunakan untuk mendorong kelompok masyarakat tertentu dalam mengatasi ketertinggalan sehingga tercapai kesetaraan antarkelompok. “Sedangkan pembedaan yang dilakukan oleh TNI ini jelas bukan affirmative action,” kata Erasmus.

Karena itu, Erasmus mendorong TNI segera menghapus semua kebijakan internal yang memberikan stigma negatif terhadap kelompok minoritas, termasuk yang berbasis orientasi seksual. Erasmus juga berharap ada rehabilitasi hukum bagi prajurit yang telanjur divonis bersalah.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan persoalan ini tidak bisa dilepas dari persepsi masyarakat yang salah tentang LGBT. Dengan demikian, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok LGBT pada akhirnya tidak hanya terjadi di lingkungan militer, tapi juga pada masyarakat secara umum. “Jika mencermati pernyataan para petinggi militer, keluarnya surat telegram tersebut tidak bisa dilepaskan dari sikap institusi militer yang menolak LGBT,” kata Gufron.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyatakan belum bisa memberi tanggapan karena tidak mengikuti proses hukum terhadap Serda AP dan Prada T. “Saya harus telusuri dulu,” kata Andika kepada wartawan di gedung DPR, Senin, 6 Juni lalu.

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Dudung Abdurachman; dan Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Prantara Santosa, tidak menjawab pesan pendek yang dikirim Tempo melalui aplikasi WhatsApp. Adapun Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Tatang Subarna, menjawab singkat, “Tunggu, ya, masih kami rapatkan.”

Isu tentang LGBT kembali menjadi sorotan setelah pemerintah berencana memberlakukan sanksi pidana bagi pelaku LGBT dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pasal ini akan muncul setelah melewati pembahasan. “Tadi saya tanya Pak Yasonna (Menteri Hukum dan HAM), RUU itu sudah di DPR,” kata Mahfud pada 20 Mei 2022.

 

Oleh:

Egi Adyatama

Wartawan Koran Tempo

KORAN TEMPO, 8 Juni 2022

Sumber : https://koran.tempo.co/read/nasional/474300/surat-telegram-digunakan-untuk-bersihkan-tni-dari-lgbt?

You may also like...