Menggugat Partai Politik
Pada kenyataannya, ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Entah untuk memilih calon anggota legislatif (DPR, DPRD), Calon eksekutif (seperti Bupati, Gubernur, Presiden) adalah bukan kewajiban. Tetapi hak konstitusional sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Artinya kalau rakyat itu tidak mau menggunakan hak pilihnya. Secara sepintas lalu bukan permasalahan. Karena tidak akan mengancam stabilitas konsep Negara hukum dan Negara demokrasi secara langsung
Tesis tersebut, tidaklah benar sepenuhnya. Karena bagaimana mungkin, berjalan tujuan dari pada Negara hukum. Terutama pada tujuan Negara hukum materil yang berdimensi pelayanan publik. Kalau rakyat tidak memiliki ”kesadaran politik” untuk ikut menyumbangkan hak-hak konstitusionalnya. Bukankah demokrasi yang akan mengantar pada perwujudan Negara hukum tersebut. Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana amanat pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam konteks ini, kiranya lebih awal perlu ditelaah. Penyebabnya, mengapa sehingga rakyat sebagai entitas yang penting dalam perwujudan demokrasi. Kadang mengabaikan hak politiknya ?
Pertama, rakyat menganggap bahwa sekalipun itu ikut dalam pemilu. Untuk memilih calon-calon tertentu. Tidak akan memberi harapan dan perubahan terhadap nasibnya ke depan. Rakyat terlanjur menempelkan stigma pada ranah demokrasi. Semua calon-calon yang akan mewakili mereka. Boleh jadi adalah politisi busuk, politisi murahan semua. Dalam kacamata politik tipe ini diklasifikasikan sebagai pemilih yang “pragmatis.”
Kedua, kemungkinan besar rakyat tidak akan menggunakan hak politiknya, untuk memilih.. Jika calon-calon yang disodorkan oleh Partai Politik dianggap tidak berintegritas, kurang bermoral, tidak bersih dari korupsi dan tidak bersih dari kejahatan HAM misalnya. Maka rakyat akan mengoreksi dan menilai calon-calon tersebut tidak layak untuk dipilih. Sekalipun itu kalau datang untuk menggunakan hak politiknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika tidak memilih untuk Golput, minimal akan memilih yang masih ada “baiknya” dari sekian calon-calon yang terburuk. Golongan ini dihuni oleh tipe pemilih rasional dan tipe pemilih kritis. Dalam kategori yang kedua ini, riset Lingkar Survey Indonesia disepanjang tahun 2012 patut menjadi renungan bersama untuk sepuluh partai politik saat ini yang sudah “melenggang kangkung” sebagai peserta pemilu 2014 oleh KPU. Yakni ketika elektabilitas Capres masih berada dalam kisaran di bawah 18 % .
Ketiga, munculnya tokoh-tokoh, para elit politik. Baik di istana maupun di Parlemen yang menghianati suara rakyat. Dengan praktik dan “budaya” korupsi sepnjang tahun 2012. Merupakan kegagalan demokrasi dalam mewujudkan harapan rakyat agar diutamakan hak-hak dan kesejahteraannya. Rakyat pada saatnya merasa “berdosa” telah memilih orang yang tidak tepat. Yang dapat mewakili dirinya. Dalam kasus ini tidak mungkin rakyat ingin melakukan dosa berulang kali. Pemilih tidak akan datang, dan sengaja memang Golput. Karena pertimbangan-pertimbangan menghukum semua calon-calon yang berada dalam barisan partai korup. Gejala ini disebut deparpolisasi, suatu sindrom, memudarnya kepercayaan pemilih terhadap Partai Politik.
Negara Hukum Vs Demokrasi
Berbicara tentang Negara hukum. Melalui hasil mekanisme demokrasi. Dari pabrik-pabriknya demokrasi itu. Ternyata output yang dihasilkannya adalah produk tak berkualitas. Tidak berkualitas karena pada akhirnya demokrasi banyak menghasilkan politisi dan pejabat korup.
Hari ini yang terjadi, dengan munculnya “borok” para politisi korup. Hasil dari perwujudan demokrasi yang panjang. Pada akhirnya memecundangi gagasan mulia pembentukan Negara hukum untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Fenomena Golput (tidak menggunakan hak pilih) dan kegagalan demokrasi untuk menuju perwujudan Negara kesejahteraan (welfare state). Tidak dapat disematkan kesalahan pada terminologi demokrasi. Karena pada intinya demokrasi tetap baik. Tidak ada jalan yang lain dapat merepresentasi kepentingan rakyat itu. Kalau tidak ada demokrasi. Dan konsep Negara hukumlah yang membalut demokrasi itu. Sehingga proses demokrasi dapat berjalan secara proporsional. Demokrasi dan Negara hukum ibarat dua kepnig mata uang logam.
Menggugat Parpol
Agar demokrasi dan Negara hukum dapat berjalan beriringan. Bahkan saling merangkul “mesra”. Maka yang perlu dibenahi adalah kendaraan yang menggerakkan demokrasi itu. Kendaraan itu adalah partai politik.
Partai Politik-lah yang menjadi main stream demokrasi. Partai politik yang memiliki wewenang untuk mendorong kadernya, menjadi calon-calon wakil rakyat. Untuk Menjadi anggota legislatif (DPR, DPRD) dan eksekutif (Presiden, Gubernur, Walikota/ Bupati). Hal ini secara implisit ditegaskan dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, “bahwa partai politik melakukan rekrutmen terhadap warga Negara Indonesia untuk memilih anggota partai politik, bakal calon anggota DPR, DPRD, bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan bakal calon Presiden dan wakil Presiden.”
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Partai Politik tersebut. Yang melakukan perekrutan terhadap pejabat-pejabat dalam lembaga Negara. Berarti partai politik merupakan akar utama dari bawah sebagai penentu berhasil tidaknya konsep demokrasi dan Negara hukum. Saatnya sekarang menggugat partai politik. Karena partai politik rupanya yang menyebabkan demokrasi dan Negara hukum tidak berjalan. Namun menggugat partai politik tidak berarti harus meniadakannya. Melainkan hanya dengan penataan kembali Undang-Undang Partai Politik.
Pertama, Partai Politik harus melakukan rekrutmen dan system kaderisasi yang baik. Upaya rekrutmen mestinya jangan diserahkan kepada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Kedua, Seyogiamya sudah ada ketentuan tersendiri dalam Undang-Undang partai politik itu mengenai mekanisme perekrutan, syarat perekrutan dan system kaderisasi yang dituangkan dalam Undang-Undang Partai Politik. Terutama system kaderisasi harus diatur, seperti berapa kali Parpol tersebut dalam kenggotaannya melakukan arena komunikasi, pemaparan ideology, visi/ misi Partai dan debat politik terhadap kader-kadernya.
Ketiga, di dalam Undang-undang Partai Politik perlu juga membatasi politisi “instan”. Politisi “kacang goreng.” Seperti munculnya bakal calon usungan partai politik dari bukan kader partai. Hanya karena gara-gara punya modal, usaha, figur dadakan. Dianggap dapat membesarkan financial partai kemudian direkrut. Hal ini perlu dilakukan pembatasan karena “politisi instan” dapat menghancurkan platform dan ideology suatu partai politik. Sangat nihil bagi “politisi instan” dapat menjalankan kebijakan partai. Kalau ia sendiri tidak matang dalam ideologi partai politik tersebut. Politisi instan jelas, akan semakin menyusahkan berjalannya konsep Negara hukum. Karena tidak menguasai kebijakan dan kemasan ideologi partainya.
Di atas segalanya. Kita semua menginginkan tema sentral Negara hukum berjalan selayaknya. Dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Meskipun hak politik untuk memilih bukanlah kewajiban. Namun tanggung jawab Negara ini beserta para pemangku kebijakannya. Harus berani Mengembalikan hak rakyat itu sehingga merasa wajib untuk menggunakan hak politiknya. Harus Berani menggugat partai politik dengan menciptakan kader-kader terbaik serta rekrutmen calon-calon yang akseptabel ke depannya.***